NovelToon NovelToon
Benih Pengikat Kaisar

Benih Pengikat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / CEO / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Percintaan Konglomerat
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.

Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.

"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."

Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Suasana di dalam mobil berubah drastis—bukan lagi sekadar ketegangan biasa, tetapi sesuatu yang lebih liar, lebih tak terkendali. Ciuman paksa yang dimulai oleh Kai telah menyeretnya ke dalam pusaran emosi yang bahkan tak ia mengerti. Setiap sentuhan yang ia layangkan pada Eka seolah memiliki nyawa sendiri, menuntut respons yang tak bisa ia kendalikan.

Sementara itu, Eka mulai kehilangan kendali. Napasnya tersengal saat ia mencoba menarik diri, tapi Kai tak membiarkannya pergi begitu saja. Sebagai bentuk perlawanan terakhir, ia menggigit bibir bawah pria itu, berharap bisa menghentikan permainan ini. Namun, bukannya melepaskan, Kai justru semakin mempererat cengkeraman di tengkuknya, menahannya erat seolah Eka adalah miliknya.

"Jangan main-main denganku," suara Kai rendah, penuh ancaman.

Eka menatapnya, matanya menyala dengan campuran amarah dan gairah yang membuatnya frustrasi. "Kalau begitu, jangan berpikir kamu bisa mempermainkanku juga."

Kai menyeringai kecil. Ibu jarinya menyapu bibir Eka yang kini sedikit membengkak. "Kamu sudah ada dalam genggamanku. Dan kamu tahu artinya itu, kan?"

Eka menahan napas, jantungnya berdegup liar. Namun, ia tak ingin menunjukkan kelemahan di depan pria ini. Maka, dengan suara yang ia paksakan agar terdengar tenang, ia berkata, "Kalau begitu, kamu siap menikahiku?"

Kai mengangkat alis sebelum tertawa pelan, nada suaranya mengejek. "Apa menurutmu menikah bisa menyelesaikan masalah?"

"Tentu saja," jawab Eka tanpa ragu, meski di dalam hatinya, ia tak sepenuhnya yakin. "Sudah aku bilang, calon benihmu ada di dalam rahimku."

Kai menatapnya dalam diam sebelum akhirnya kembali tertawa kecil. "Kamu yakin sekali kalau benih itu bisa jadi bayi?"

"Tentu saja," Eka menegaskan. "Aku dalam masa subur. Ah… Tunggu saja tiga sampai empat minggu. Akan kutunjukkan dua garis merah itu padamu."

Kai menatapnya tajam. "Sejak semalam dan ini sudah masuk hari kedua, bukan? Baiklah. Kalau benar kamu hamil anakku, aku akan menikahimu. Tapi setahuku, kamu masih terikat pernikahan dengan keluarga Wirawan." Matanya menyipit, tatapannya tajam bagai pisau. "Kamu pikir aku, yang memiliki status terpandang, mau berebut wanita?"

Jantung Eka berdegup lebih kencang. "Hah… Jadi kamu menyelidikiku?"

"Wanita seberani kamu, tentu saja aku akan menyelidikinya."

Eka mengepalkan tangan, pantas saja Kai berubah sikap yang tadinya menolak justru dengan penuh dominan menemuinya. Namun sebelum ia sempat membuka mulut untuk mengejeknya, suara dehaman canggung terdengar dari bangku depan.

"Pak… kita sudah sampai," ucap Rendi dengan nada was-was. Ia menelan ludah, takut salah sedikit saja tubuhnya bisa berpindah ke benua lain.

Kai hanya mengangguk singkat ke arah Rendi sebelum kembali fokus pada wanita di hadapannya. Tatapan gelapnya terkunci pada Eka, seakan ingin mengukir sesuatu dalam dirinya sebelum akhirnya bersuara. "Turun."

Eka menoleh ke luar jendela dan baru menyadari mereka telah tiba di depan sebuah rumah besar. Lampu-lampunya menyala terang, tetapi suasana di sekitarnya terasa sunyi, hampir mencekam.

"Di mana ini?" tanyanya, suaranya lebih tenang, tetapi sarat dengan kewaspadaan.

"Rumahku," jawab Kai singkat.

Eka menoleh padanya, keningnya berkerut. "Untuk apa kamu membawaku ke sini?"

Kai tak langsung menjawab. Ia keluar lebih dulu, berjalan ke sisi Eka, membuka pintu mobil, dan menatapnya dari atas.

"Ada yang harus kita selesaikan," katanya pelan, nyaris seperti bisikan yang mengancam.

Eka tetap diam di tempatnya, merasakan jantungnya berdetak keras. Ia tahu, begitu ia melangkah masuk ke rumah itu, tak akan ada jalan untuk kembali.

"Enggak, aku mau pergi ke apartemen Ita," tolak Eka, suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tegar.

Kai tersenyum miring, senyum yang tak pernah membawa kabar baik. "Kamu pikir masih punya kesempatan untuk menolak dan bernegosiasi?"

"Patkai, benar-benar kamu—"

"Sekali lagi kamu panggil aku seperti itu," potong Kai dengan suara dingin, "aku bisa bikin lidahmu tercabut."

Eka bergidik ngeri. Ia tahu ancaman itu bukan sekadar kata-kata kosong. Eka menggertakkan giginya, merasa terpojok. Namun, ia tahu tak ada gunanya melawan Kai dalam situasi ini. Dengan napas berat, ia akhirnya keluar dari mobil, tetap menjaga jarak ketika Kai menutup pintu di belakangnya.

Udara malam terasa lebih dingin dibandingkan sebelumnya, atau mungkin itu hanya efek dari ketegangan yang menyelimuti mereka. Eka menatap rumah besar di depannya—megah, tetapi memiliki aura yang menekan, seolah menandakan bahwa sekali ia masuk, tak akan mudah baginya untuk keluar.

Kai berjalan lebih dulu, tangannya terselip di saku celana, tubuhnya tegap penuh kepercayaan diri. Eka ragu sejenak, tapi ketika tatapan tajam pria itu kembali mengarah padanya, ia tahu tak ada pilihan lain.

Langkah kakinya terdengar di lantai marmer ketika mereka memasuki rumah. Interiornya tak kalah mewah, dengan dinding berwarna gelap dan pencahayaan redup yang menciptakan suasana intim sekaligus mencekam.

Kai berhenti di tengah ruangan dan berbalik menghadapnya.

"Jadi," suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya, "sekarang jelaskan, apa sebenarnya yang kamu inginkan?"

Eka mendongak menatapnya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku sudah bilang. Kalau aku hamil anakmu, aku mau kamu menikahiku."

Kai tertawa kecil, gelengan kepalanya menunjukkan ketidakpercayaan. "Dan kalau ternyata tidak?"

Eka menahan napas. Ia benci mengakui bahwa ada kemungkinan dirinya tidak hamil. Namun, ia tak bisa menunjukkan keraguannya di depan pria ini.

"Aku tidak salah hitung," jawabnya mantap. "Aku yakin."

Kai menatapnya lama. Lalu, dalam satu gerakan cepat, ia meraih pergelangan tangan Eka dan menariknya mendekat.

"Kamu benar-benar mau bertaruh nyawa dengan berhadapan denganku, ya?" bisiknya, nadanya lembut tapi mengancam.

Eka menelan ludah, tetapi ia tak membiarkan dirinya terlihat gentar. “Aku tidak takut padamu, Pat... em... Kai.”

Kai menunduk sedikit, wajahnya hanya beberapa inci dari milik Eka. “Oh ya?” Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang berbahaya. “Kalau begitu, buktikan.”

Sebelum Eka sempat bereaksi, Kai mendorongnya perlahan ke dinding. Kedua tangannya terangkat, menahan tubuhnya di antara Eka dan tembok dingin di belakangnya. Napasnya hangat di kulit Eka, membuat bulu kuduknya meremang.

Eka mencoba menghindari tatapannya, tapi Kai tidak membiarkan itu terjadi. Jemarinya yang besar mengangkat dagu Eka dengan paksa, memaksa wanita itu menatap langsung ke matanya.

“Kamu bisa mengancam dan menuntut sesukamu,” gumam Kai, ibu jarinya menyapu pelan bibir Eka yang masih sedikit bengkak akibat ciuman sebelumnya. “Tapi aku ingin tahu… apa kamu benar-benar siap dengan konsekuensinya?”

Jantung Eka berdetak liar. Ada sesuatu dalam tatapan Kai yang membuatnya sulit bernapas—seolah pria itu sedang menelanjangi setiap kepura-puraannya.

Alih-alih menjawab, Eka justru mengangkat tangannya dan menekan dada Kai, mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Tapi Kai tidak bergeming, seakan sengaja menantangnya lebih jauh.

“Aku sudah bilang,” bisik Eka, suaranya sedikit bergetar. “Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkanku.”

Kai menyeringai kecil. “Oh, Sekar…” Ia menunduk lebih dekat, bibirnya hanya beberapa milimeter dari telinga wanita itu. “Aku tidak sedang mempermainkanmu.”

Lalu, sebelum Eka sempat memproses kata-kata itu, Kai menciumnya lagi.

Namun kali ini, ciumannya berbeda—bukan sekadar dominasi atau paksaan. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih menuntut, lebih mengikat. Sesuatu yang membuat Eka kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

Tangannya, yang semula mendorong dada Kai, kini mencengkeram kerah kemeja pria itu tanpa sadar. Napasnya terhenti ketika Kai semakin dalam menelusuri bibirnya, seolah ingin mengukir kehadirannya dalam setiap inci dirinya.

Eka tahu ia seharusnya melawan. Seharusnya mendorong pria ini dan pergi. "Sial, kenapa jadi begini, apa harga dirimu sudah hilang, Ka?"

1
Dia Fitri
/Ok/
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Muslika Lika
Ya ampun patkaai..... imajinasi mu lho thor.... melanglang buana....
Muslika Lika: bener bener si eka eka itu ya.....😂
Hayurapuji: hahhaha, dia dipanggil anak buahnya Pak kai, nah si eka kepleset itu lidahnya jadi Patkai
total 2 replies
@Al🌈🌈
/Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!