NovelToon NovelToon
Agent UnMasked

Agent UnMasked

Status: tamat
Genre:Misteri / Tamat / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Roman-Angst Mafia
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: mommy JF

“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.

Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.

“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.

“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”

“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.

Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”

Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.

Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27: Terpaksa Menyerah Aksara

Langkah kaki berat terdengar semakin mendekat, memecah keheningan di ruangan itu. Aksara berdiri mematung, matanya terus berpindah antara Miska dan lelaki yang kini berada di sisinya. Tubuhnya menegang, namun otaknya berpacu mencari solusi. Ia tidak ingin mati di sini, bukan sebelum ia tahu kebenaran. Namun, setiap rencana yang muncul terasa mustahil. Mereka telah mengepungnya, dan keluar dari sini tampak seperti mimpi belaka.

“Menyerah lah, Aksara,” kata lelaki itu dengan nada dingin yang menusuk, memperkuat kekalahan yang sudah mulai ia rasakan. “Kau tidak punya pilihan lain.”

Miska hanya diam di samping lelaki itu, tetapi tatapannya mengawasi setiap gerakan Aksara dengan penuh perhitungan. Sementara itu, Aksara mencoba membaca situasi. Ia tahu, jika ia menyerang sekarang, itu sama saja dengan bunuh diri. Namun, jika ia tetap di sini, maka mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan—darahnya.

Namun, pandangan Aksara tiba-tiba teralihkan oleh sesuatu di ujung ruangan. Samar-samar, di balik tabung kaca besar yang memancarkan cahaya redup, ia melihat dua sosok. Awalnya ia mengira itu hanya bagian dari eksperimen gila di tempat ini, tetapi semakin ia memperhatikan, semakin jelas bahwa kedua sosok itu bukan sekadar bayangan. Tubuhnya membeku, dan napasnya tercekat saat ia mengenali ciri-ciri wajah mereka.

“Tidak... ini tidak mungkin,” gumamnya dengan suara bergetar.

Lelaki itu, Paulus, menyadari perubahan ekspresi Aksara dan melangkah maju, menghentikan langkahnya tepat di depannya. “Oh, kau baru menyadarinya?” katanya, suaranya sarat dengan ironi. “Kau akhirnya melihat mereka, ya? Orang tuamu.”

Darah Aksara seperti berhenti mengalir. Matanya menatap kedua tabung itu tanpa berkedip. Di dalam tabung kaca yang penuh dengan cairan kehijauan, ia melihat dua tubuh yang diam tak bergerak. Wajah mereka yang pucat dan seolah tak bernyawa begitu akrab di matanya. Meski sudah bertahun-tahun tak bertemu, ia tak mungkin salah mengenali mereka. Wajah itu adalah wajah yang selalu ia rindukan—ayah dan ibunya.

“Tidak... ini tidak mungkin,” katanya lagi, kali ini lebih keras, suaranya pecah oleh emosi yang tak terkendali.

Paulus tersenyum kecil, senyum yang sama sekali tidak membawa kehangatan. “Kami hanya menyelamatkan mereka. Lebih baik kau pikirkan mereka sebagai... bagian dari eksperimen yang luar biasa ini.”

Aksara mengepalkan tangannya, tubuhnya gemetar. “Kau bohong! Mereka sudah lama hilang! Mereka sudah mati!”

“Belum mati, Aksara,” potong Paulus dengan nada dingin. “Setidaknya belum. Tapi kau benar, mereka telah hilang. Kami membawa mereka ke sini, jauh sebelum kau menyadari keberadaan kami. Dan sekarang, mereka adalah bukti keberhasilan Proyek Genesis.”

Kata-kata itu seperti pukulan keras ke dada Aksara. Ia menatap kedua tabung itu dengan mata yang mulai memanas. Sosok di dalamnya tidak bergerak, tetapi wajah-wajah itu adalah wajah yang ia ingat dengan jelas dari masa kecilnya. Wajah yang sama yang ia lihat dalam mimpi-mimpi buruknya selama bertahun-tahun.

“Kau... kau tidak punya hak untuk melakukan ini,” bisiknya dengan suara penuh emosi.

Paulus tertawa kecil. “Hak? Hak itu hanya dimiliki oleh mereka yang kuat. Dan kau, Aksara, adalah kunci untuk memastikan kekuatan itu tetap ada di tangan kami. Jadi, berhentilah melawan. Kau hanya akan memperburuk keadaan.”

Aksara menggelengkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia mendekati tabung kaca itu perlahan, langkahnya berat seperti diseret oleh beban emosinya. Ketika ia berdiri tepat di depan tabung, ia menyentuh permukaan kacanya dengan tangan yang gemetar.

“Ini benar-benar mereka,” gumamnya, nyaris tak terdengar. Matanya menelusuri setiap detail wajah kedua orang tuanya, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi mereka hanya diam, tubuh mereka terendam dalam cairan yang membuat mereka terlihat seperti artefak hidup yang diawetkan.

Tiba-tiba kenangan masa kecilnya menyeruak ke permukaan. Ia teringat senyuman hangat ayahnya ketika mengajarinya cara membaca, dan suara lembut ibunya yang selalu membesarkan hatinya ketika ia merasa gagal. Semua kenangan itu kini terasa seperti mimpi yang hancur berkeping-keping di hadapannya.

Paulus mendekat, berdiri di sampingnya. “Kau tahu, Aksara, mereka adalah alasan kenapa kau begitu penting bagi kami. Darahmu, yang diwariskan dari mereka, adalah elemen kunci yang kami butuhkan untuk menyelesaikan eksperimen ini.”

“Eksperimen?!” seru Aksara, suaranya penuh kemarahan. Ia berbalik menghadap Paulus, matanya membara. “Kau memperlakukan mereka seperti barang! Mereka adalah manusia! Mereka adalah keluargaku!”

Paulus tetap tenang, bahkan ketika Aksara meneriakinya. “Kau tidak mengerti, Aksara. Apa yang kami lakukan di sini adalah demi kebaikan umat manusia. Orang tuamu... mereka adalah pionir dalam proyek ini. Mereka tahu risiko yang akan mereka hadapi, dan mereka menerima nasib ini demi ilmu pengetahuan.”

“Jangan bicara seolah-olah kau tahu apa yang mereka pikirkan!” Aksara berteriak, suaranya pecah oleh emosi. Ia merasakan hatinya seperti terbakar, tetapi tubuhnya tak mampu bergerak lebih jauh.

Miska, yang berdiri di dekat pintu, akhirnya angkat bicara. “Aksara, aku tahu ini sulit. Tapi Paulus benar. Orang tuamu terlibat dalam proyek ini sejak awal. Mereka memilih jalan ini.”

“Diam, Miska!” Aksara membentak, menatap Miska dengan mata penuh kebencian. “Kau tidak tahu apa-apa tentang mereka, tentang keluargaku!”

Paulus menepuk bahu Miska, seolah-olah mencoba menguatkan loyalitasnya. “Cukup sudah, Aksara. Waktumu habis.”

Aksara menatap kedua lelaki itu, amarah dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Ia tahu bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan mereka sekarang. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah.

Namun, dalam hatinya, Aksara tahu bahwa ini belum berakhir. Ia mungkin menyerah sekarang, tetapi ia tidak akan berhenti berjuang. Ia tidak akan membiarkan mereka menang. Dan meskipun ia tidak tahu bagaimana, ia bersumpah akan menemukan cara untuk membebaskan orang tuanya dan menghancurkan lab ini.

Ketika mereka mulai membawanya keluar dari ruangan, Aksara menatap tabung kaca itu untuk terakhir kalinya, berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan kembali.

Bersambung...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.

Terima kasih.

1
Riezki Arifinsyah
met Knal Thor
Aleana~✯
hai kak aku mampir....yuk mampir juga di novel' ku jika berkenan 😊
Erik Andika: mampir di channel ku kak kalo berkenan juga
ziear: oke kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!