Hera membaca novel Fantasi yang tengah trending berjudul "Love for Ressa", novel klasik tentang Dante, seorang Duke muda yang mengejar cinta seorang gadis bernama Ressa.
Tentunya kisah ini dilengkapi oleh antagonis, Pangeran Mahkota kerajaan juga menyukai Ressa, padahal ia telah bertunangan dengan gadis bernama Thea, membuat Thea selalu berusaha menyakiti Ressa karena merebut atensi tunangannya. Tentunya Altair, Sang Putra Mahkota tak terima saat Anthea menyakiti Ressa bahkan meracuninya, Ia menyiksa tunangannya habis-habisan hingga meregang nyawa.
Bagi Hera yang telah membaca ratusan novel dengan alur seperti itu, tanggapannya tentu biasa saja, sudah takdir antagonis menderita dan fl bahagia.
Ya, biasa saja sampai ketika Hera membuka mata ia terbangun di tubuh Anthea yang masih Bayi, BAYANGKAN BAYI?!
Ia mencoba bersikap tenang, menghindari kematiannya, tapi kenapa sikap Putra Mahkota tak seperti di novel dan terus mengejarnya???
#LapakBucin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
...****************...
Di kelasnya, Anthea beberapa kali menguap mendengarkan penjelasan guru akademinya. Aru yang duduk di sebelah Anthea pun menyadari.
“Apa kau tidur larut malam?” Bisik Aru bertanya.
Ya, “Tidak, hanya saja mendengar Viscountess Dena menerangkan membuatku mengantuk,” alibi Anthea.
Semalam cukup sulit untuk mengusir Altair pergi, ada saja yang ingin laki-laki itu bahas agar berlama-lama di asrama Anthea. Bahkan, pertanyaan yang menurut Anthea tidak penting, seperti
“Apa ada yang mengganggu Anthea selama di sini?”
“Anthea makan dengan baik, kan?”
“Apa perlu aku belikan gaun baru? Anthea kan semakin dewasa.”
“Sepertinya kamar Anthea terlalu kecil,”
“Tinggi Anthea bertambah ya? Atau hanya perasaan ku saja.”
Dan lain sebagainya, barulah ketika Anthea mengeluh mengatakan ia begitu mengantuk Altair mau kembali ke asramanya.
Selesai Viscountess Dena menerangkan, kini Anthea dan Aru keluar kelas mereka. Waktu istirahat telah tiba.
“Kita ke Rotter?” Tanya Aru.
“Ya,” walau sedikit malas, Anthea sudah berjanji pada Altair akan bertemu di Paviliun Rotter.
Di tangannya, Anthea membawa buku yang cukup tebal. Novel yang semalam ia baca akan Anthea kembalikan pada pemiliknya, Dexter.
Tiba di Paviliun Rotter, Anthea dan Aru memesan makanan dan duduk di meja yang sudah hampir setahun ini mereka tempati di sini.
Sebenarnya Anthea tak pernah menyiarkan kalau meja itu miliknya, Paviliun Rotter adalah tempat umum. Tapi, sepertinya karena Anthea dan teman-teman nya sering duduk di sana, orang-orang tak ada yang menempati walau seisi Paviliun begitu ramai.
Sama seperti milik Clarissa di salah satu pojok, bedanya gadis itu mengancam akan membuat perhitungan jika ada yang duduk di kursi yang ia hak patenkan.
“Mana ya, Shenina. Kenapa belum kemari,” ujar Aru, biasanya mereka akan makan bersama walau Shenina berbeda kelas, gadis itu akan menyusul.
“Entah, mungkin kelasnya selesai lama,” Jawab Anthea.
Baru mengambil makannya, Anthea melihat sosok yang tak asing memasuki Paviliun Rotter.
“Dexter!” Panggil Anthea agak keras, untungnya laki-laki yang ia panggil menoleh.
Dexter mendekati meja yang Anthea dan Aru tempati, “Ada apa, Tuan Putri?”
Itu bukan panggilan formal, Dexter ataupun teman Anthea yang lain memang sesekali sengaja saja memanggilnya seperti itu.
“Ini, bukumu.” Anthea menyodorkan buku tebal yang tadi ia bawa.
“Sudah selesai membacanya? Cepat sekali.” Dexter menerimanya.
“Anthea membacanya tiga malam berturut-turut.” Suara itu dari Shenina yang baru datang.
“Ternyata kau benar-benar menyukai Novel fiksi seperti ini ya.” Ujar Dexter, ini kesekian kalinya Dexter merekomendasikan buku pada Anthea.
Anthea mengangguk, “Apa di perpustakaan akademi ada karya dari penulis yang sama?” Tanya Anthea.
“Entahlah, aku belum lihat. Tapi jika kau mau aku bisa mencarikannya nanti,” Ujar Dexter.
Anthea mengangguk, tentu saja tak menolak. Anthea selalu mengisi waktu luangnya dengan membaca di dunia ini, karena tak ada handphone yang dapat ia gunakan seperti di kehidupan lalu.
“Aku hanya mau mengembalikan itu, sana kembali ke teman-teman mu.” Ujar Anthea terang-terangan mengusir.
Bukan sekali dua kali Anthea seperti itu pada Dexter, dulu ia pikir jika bersikap seenaknya Dexter tak akan dekat-dekat dengannya. Tapi, laki-laki itu tetap bebal, sehingga lama-kelamaan ia dapat menjadi teman Anthea seperti sekarang.
“Baiklah, Tuan Putri,” Sebelum pergi, Dexter mendapati sedikit noda makanan di ujung bibir gadis itu.
Karena posisinya yang dekat dengan Anthea, tangannya terulur hendak membantu membersihkan.
Srek
“Berani-beraninya ingin menyentuh tunanganku,” Suara dingin itu dari Altair, ia menahan tangan Dexter dan langsung menghempaskannya.
Anthea dan teman-teman nya cukup terkejut, mendapati kehadiran Altair yang tiba-tiba.
Dexter tak bereaksi lebih, ia sedikit menundukkan kepala tanda memberi hormat pada keluarga kerajaan, “Maaf, Pangeran.” Ujarnya.
Ia beralih menatap Anthea, "Aku pergi dulu, Anthea." Ujarnya dan berlalu pergi.
“Pangeran Mahkota sudah kembali?”
“Astaga, bukankah ia semakin tampan”
“Aku sangat rela jika pangeran membutuhkan selir.”
Bisikan-bisikan yang dapat di dengar Anthea dengan jelas itu tak ia peduli kan, sebelumnya memang sudah banyak yang masih mengagumi Altair terang-terangan setelah mereka bertunangan-pun.
Meneguk airnya, Anthea mendapati jemari Altair yang sudah melingkar di lengannya.
“Ikut aku, Anthea.”
Suara laki-lak itu terdengar sedikit tak bersahabat, Anthea mengikut setelah bertatapan sebentar dengan Aru dan Shenina.
Di koridor akademi yang sepi, Altair menghentikan langkahnya, menatap lurus tunangannya.
“Berikan aku penjelasan, Anthea.” Ujar Altair.
Tadi, sedari memasuki Paviliun Rotter mata Altair telah melirik tajam Anthea yang berbicara pada seorang laki-laki yang Altair ketahui adalah teman seangkatannya, hanya seorang bangsawan Duke.
Sampai ketika laki-laki itu hendak menyentuh wajah Anthea, tanpa ragu Altair menjauhkan laki-laki itu.
“Namanya Dexter, dari keluarga Duke Ravogar. Kami hanya sebatas kenal, Altair.” Jelas Anthea singkat.
Apa Anthea tak menyadari wajah Altair yang sudah terbakar cemburu saat ini?
“Bukannya Anthea tak punya kenalan laki-laki? Apa aku ketinggalan sesuatu?”
“Kami sudah saling mengenal sejak aku di akademi, Altair. Dia hanya teman, kenapa reaksi mu begini?” Ujar Anthea.
Ia seolah baru saja kepergok selingkuh, padahal tadi ia dan Dexter hanya berbicara singkat. Bahkan Dexter saja tak duduk bersamanya dan yang lain tadi.
“Menjauh darinya, Anthea. Aku tidak suka kau berdekatan dengan laki-laki itu.” Ucap Altair, genggaman tangannya pada Anthea sama sekali tak ia lepas.
Selama ini Altair memang tak pernah melarang Anthea dekat-dekat dengan laki-laki lain, karena Anthea tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Ruang lingkup Anthea hanya Istana dan Kediamannya.
“Baiklah,” Anthea menjeda sebentar, “Tapi bukan berarti aku harus memusuhinya, sekedar bertegur sapa antar teman tentu tak apa bukan?”
Anthea sama sekali tak berniat membuat masalah, ia suka hidup tenangnya. Jika Altair memang tak suka ia dekat dengan laki-laki lain, itu wajar. Anthea adalah tunangannya.
Untuk saat ini.
“Tapi jangan dekat-dekat, jangan berbicara dengannya, jangan—“
“Sepertinya kau berlebihan, Altair.” Potong Anthea.
“Kita tetap harus saling bersosialisasi, menjaga hubungan baik satu sama lain. Untuk kepentingan keluarga dan kerajaan, tidak mungkin selamanya aku hanya akan mengenalmu saja, bukan?”
Altair terdiam, ingin sekali mengutarakan bahwa Anthea cukup dekat dengannya saja, tidak dengan laki-laki manapun, ia saja sudah cukup.
Tapi, Altair tak ingin Anthea menganggapnya begitu mengekang, Anthea tak akan menyukainya. Terlebih, semua ucapan Anthea benar.
Setidaknya, Anthea menurut untuk menjaga jarak. Walau Anthea semakin dewasa, Altair tak kehilangan sisi penurut gadisnya.
“Baik, maafkan aku, Anthea.” Ujar Altair menunduk, menunjukkan wajah bersalahnya. Anthea harus merasa kasihan padanya sehingga gadis itu tak marah.
Anthea tersenyum kecil, “Tak apa. Itu pun berlaku padamu, Altair. Aku tidak akan melarangmu walaupun berteman dengan seorang gadis.”
Selama ini, walau Anthea tak pernah meminta, Altair selalu berjanji ia tidak akan kenal dekat dengan perempuan manapun, sekalipun bersentuhan untuk menjaga perasaannya.
Sayangnya, ucapan itu membuat air muka Altair langsung berubah. Ia berusaha menutupinya dari Anthea.
“Tidak, hanya Anthea yang akan menjadi satu-satunya perempuan di sekitarku.” Ujarnya mutlak.
Anthea tak menjawab. Ia tau, Altair dapat berucap mudah seperti itu tanpa tau apa yang akan ia lakukan sendiri di masa depan.
***
tbc.