Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34 Extra Part 2
“Zio, buka pintunya. Kakak mau bicara.” suara Anna terdengar lembut tapi tegas di depan pintu kamar adiknya.
Tidak ada jawaban.
Anna menarik napas panjang, mencoba bersabar. Sudah sejak pulang sekolah tadi, Enzio mengurung diri di dalam kamar.
Anna tahu, meskipun mereka satu sekolah, Enzio selalu menghindarinya. Bahkan saat mereka berpapasan di koridor, Enzio lebih memilih memalingkan wajah, seolah tidak mengenal kakaknya sendiri.
Anna menyadari itu. Ia tahu diri. Mungkin, Enzio malu memiliki kakak yang cacat seperti dirinya.
Tapi hari ini berbeda. Rasa khawatir membuat Anna tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Ia kembali mencoba pintu, dan kali ini gagangnya berputar. Ternyata, sejak tadi pintu tidak terkunci.
“Kakak masuk, ya?” ucap Anna dengan nada hati-hati.
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah masuk. Matanya menyapu seisi kamar mewah itu, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Enzio. Anna berjalan perlahan, tubuhnya sedikit tertatih, memastikan setiap sudut ruangan.
“Kata Bibi, Zio ada di kamarnya. Kok nggak ada?” gumamnya bingung.
Tiba-tiba, sebuah suara dingin memecah keheningan. “Siapa yang ngizinin kamu masuk kamar Zio?”
Anna tersentak, menoleh cepat. Enzio berdiri di dekat pintu kamar mandi, menatapnya dengan pandangan tajam. Suara itu begitu berbeda dari sosok manja dan polos yang selalu ia tunjukkan di depan kedua orang tua mereka.
“Astaga! Zio, wajah kamu kenapa?” Anna mendekat dengan khawatir, matanya langsung tertuju pada pipi adiknya yang lebam dan sudut bibirnya yang robek. “Kamu berantem di sekolah?”
Enzio segera menepis tangan Anna yang hendak menyentuh wajahnya.
“Nggak usah sok peduli sama Zio. Lebih baik, kamu urus diri kamu sendiri yang nggak bisa ngapa-ngapain itu!” ucapnya ketus.
Anna terdiam. Kata-kata Enzio menamparnya, tapi ia tetap berusaha menahan diri. Enzio, tanpa memperdulikan perasaan Anna, berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepiannya.
“Kenapa masih di sini? Zio bilang keluar, ya keluar!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Meski hatinya terasa sakit, Anna tetap memilih untuk menuruti permintaan adiknya. Ia keluar dari kamar tanpa berkata apa-apa.
Namun, tak lama, ia kembali masuk dengan membawa kotak P3K di tangannya. Ia berlutut di lantai, persis di depan Enzio.
“Sini, Kakak obatin, ya?” ucap Anna dengan lembut, meskipun hatinya masih perih.
“Nggak usah,” jawab Enzio dengan nada sinis, tapi raut wajahnya berubah ketika Anna membuka kotak P3K dan mulai mengambil salep.
Anna tersenyum kecil, sedikit lega melihat reaksi Enzio yang tidak lagi mendorongnya pergi. Ia tahu Enzio tidak akan pernah meminta, tapi diam-diam ia membutuhkan perhatian.
Anna sudah cukup kebal dengan sikap dingin adiknya itu.
Saat Anna mulai mengoleskan salep di luka di sudut bibir Enzio, remaja itu meringis menahan perih. Wajahnya tampak babak belur—lebih buruk daripada yang terlihat sekilas tadi.
“Kalau Papa sama Mama tahu, mereka pasti–”
“Mereka nggak akan tahu kalau kamu nggak ember,” potong Enzio cepat.
Anna tersenyum tipis. Meskipun Enzio bersikap kasar, jauh di dalam hatinya, anak laki-laki itu hanya sedang berusaha melindungi harga dirinya.
Anna menyayangi Enzio seperti adik kandungnya sendiri, meski hubungan darah mereka tidak mengikat keduanya.
“Darimana kamu belajar kata-kata nyebelin itu?” tanya Anna, mencoba mencairkan suasana.
Enzio tidak menjawab, hanya memalingkan wajahnya dengan kesal.
“Zio, jangan dekat-dekat sama teman yang ngajarin kamu hal buruk, ya?” lanjut Anna sambil menatapnya penuh perhatian.
“Bukan Zio, tapi kamu!” suara Enzio akhirnya terdengar lagi.
Anna mengernyit. “Kenapa jadi Kakak? Teman-teman Kakak semua baik kok. Mereka tulus mau berteman sama Kakak meski keadaan Kakak seperti ini.”
Anna mencoba tetap tersenyum, meski hatinya perih. Ia tahu kenyataan sebenarnya. Teman-teman di sekolah memang bersikap ramah di depannya, tetapi di belakang, ia sering mendengar bisik-bisik yang menyakitkan.
Bahkan ada yang terang-terangan mencaci kekurangannya. Namun, Anna memilih untuk berpura-pura tidak tahu, menelan rasa sakit itu sendirian.
“Jangan sok tegar! Nggak semua orang yang kamu anggap baik itu sama seperti yang mereka tunjukkan,” ucap Enzio dengan nada dingin.
Anna tersentak. Untuk pertama kalinya, ia merasa bingung harus menjawab apa.
Tapi kemudian, ia memilih untuk tersenyum tipis, meringankan suasana.
“Oh, jadi adik Kakak yang paling ganteng ini udah mulai memperhatikan Kakaknya, ya? Hum?” godanya sambil menepuk kepala Enzio pelan.
“Udah Zio bilang, Zio bukan adik kamu, ngerti!” Enzio bangkit dari tempatnya, wajahnya merah karena emosi. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras.
Anna hanya bisa menatap pintu yang tertutup rapat itu. Ia menarik napas panjang, menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Gapapa, Anna,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Zio masih labil. Kamu harus bersabar menghadapinya.”
Dengan senyum tipis yang dipaksakan, Anna membereskan kotak P3K, berusaha meyakinkan dirinya bahwa suatu hari, hubungan mereka akan membaik.
Meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu mungkin ia hanya sedang membohongi dirinya sendiri.
“Kasihan non Anna,” lirih Bi Inah yang sejak tadi menguping di depan pintu.