Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memanfaatkan situasi
Malam semakin larut, dan Arini serta Chandra sudah larut dalam percakapan mereka yang panjang. Gelas demi gelas minuman di atas meja mereka sudah kosong, membuat keduanya tampak semakin mabuk. Tawa mereka terdengar keras di antara suasana klub yang mulai sepi. Dari kejauhan, Mirna mengamati dengan senyum penuh arti.
"Ini kesempatan emas," gumam Mirna pada dirinya sendiri. "Aku harus memanfaatkan situasi ini."
Mirna lalu memanggil salah satu pelayan pria yang sedang membersihkan meja di dekatnya. "Hei, bisa bantu aku sebentar?"
Pelayan itu mendekat dengan sopan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
Mirna melirik ke arah Arini dan Chandra yang terlihat hampir kehilangan kesadaran. "Aku butuh bantuanmu membawa dua orang itu ke kamar hotel di lantai atas. Mereka terlalu mabuk untuk pulang sendiri."
Pelayan tersebut tampak ragu. "Tapi, Bu, apakah mereka setuju?"
Mirna tersenyum meyakinkan. "Tentu saja. Mereka teman saya. Aku hanya ingin memastikan mereka istirahat dengan aman. Jangan khawatir, saya akan bertanggung jawab."
Pelayan akhirnya mengangguk, meski masih tampak canggung. "Baik, Bu. Saya akan memanggil rekan saya untuk membantu."
Tidak lama kemudian, dua karyawan pria datang menghampiri. Mereka membantu Mirna mengangkat Chandra yang setengah tertidur di kursinya, sementara Mirna sendiri menopang Arini.
"Ayo, kita bawa mereka ke kamar di lantai atas," kata Mirna dengan tegas. "Jangan sampai mereka jatuh."
"Baik, Bu," jawab salah satu karyawan.
Saat mereka berjalan menuju lift, Arini sempat menggumamkan sesuatu dalam keadaan setengah sadar. "Mirna... ini di mana? Aku masih mau... minum..."
"Sudah cukup untuk malam ini, Arini," sahut Mirna sambil tersenyum kecil. "Kita ke kamar untuk istirahat."
Chandra tidak berkata apa-apa, hanya tertunduk dengan mata yang hampir tertutup. Keduanya terlihat benar-benar lemas.
Setelah tiba di lantai atas, Mirna meminta kunci kamar yang sudah disiapkan sebelumnya. Pelayan membantu membuka pintu, dan mereka membawa Chandra dan Arini masuk ke dalam kamar hotel yang luas dan mewah.
"Letakkan dia di sofa," kata Mirna sambil menunjuk ke arah Chandra. "Dan Arini di tempat tidur."
Para karyawan melaksanakan permintaan itu dengan hati-hati. Setelah selesai, salah satu dari mereka bertanya, "Ada lagi yang bisa kami bantu, Bu?"
Mirna menggeleng. "Tidak, terima kasih. Kalian boleh kembali ke bawah."
Setelah para karyawan pergi, Mirna menutup pintu dan memandang kedua orang itu dengan senyum puas. Dalam pikirannya, rencana baru mulai terbentuk.
"Kalau aku bisa membuat Chandra terpikat pada Arini, mungkin aku juga akan mendapatkan bagian keuntungan. Uang Haryo terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan ku," gumamnya pelan sambil merapikan rambutnya di depan cermin kamar hotel.
...----------------...
Keesokan harinya, Haryo tampak ceria saat mengajak Kirana menuju gedung pernikahan mereka. Ia berbicara panjang lebar tentang konsep dekorasi, makanan, hingga tema acara yang sudah direncanakannya. Namun, Kirana hanya menanggapi dengan senyuman kecil atau anggukan singkat. Pikirannya masih berkutat pada pertanyaan yang sama: Apakah keputusan ini benar? Apakah aku selamanya harus menjalani kehidupan seperti ini hanya demi menyelamatkan Ayah?
Setelah selesai mengecek gedung, Haryo mengarahkan Kirana menuju sebuah studio foto terkenal di kota itu. "Ini adalah salah satu studio terbaik," ujar Haryo dengan penuh semangat. "Kita akan memulai sesi foto pre-wedding hari ini. Aku ingin semua orang tahu betapa sempurnanya pasangan kita."
Kirana ingin menolak, namun ia tahu tidak ada gunanya. Ia mengikuti Haryo masuk ke studio, di mana mereka sudah disambut oleh tim fotografer, MUA (make-up artist), dan desainer busana. Tim tersebut dengan cepat mempersiapkan Kirana dan Haryo. Kirana mengenakan gaun putih anggun dengan sentuhan modern, sementara Haryo tampil gagah dalam setelan jas hitam.
“Baik, kalian berdua sudah siap,” kata sang fotografer, seorang pria paruh baya dengan senyum profesional. “Kita mulai dengan pose-pose sederhana dulu, ya.”
Kirana berdiri di depan latar belakang bunga yang megah, sementara Haryo merangkul pinggangnya dengan percaya diri. “Kirana, coba lebih santai, ya,” ujar fotografer itu. “Jangan terlalu kaku, biarkan tubuhmu mengikuti irama Haryo.”
Namun, meski ia mencoba, tubuh Kirana tetap tegang. Ia merasa tidak nyaman dengan sentuhan Haryo yang terasa terlalu intim. Haryo, yang menyadari kekakuan Kirana, berbisik pelan, “Kirana, tenang saja. Ini hanya foto. Semua ini untuk memperlihatkan kebahagiaan kita.”
Kirana hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Sesi berlanjut dengan arahan-arahan fotografer yang semakin membuat Kirana risih. “Sekarang coba tatap matanya, Kirana. Tunjukkan cinta kalian. Haryo, angkat wajah Kirana, sentuh pipinya dengan lembut, seperti ini,” ucap fotografer sambil memberi contoh.
Haryo menuruti arahan itu, mengangkat wajah Kirana dengan tangannya dan menatapnya penuh intensitas. “Ayo, lebih dekat. Sekarang, cium pipinya, Haryo,” lanjut fotografer.
Kirana mencoba menarik diri, namun Haryo tetap mengikuti arahan dengan penuh semangat. Bibirnya menyentuh pipi Kirana, dan fotografer terus memotret. “Bagus sekali. Sekarang, ini puncaknya. Kalian ciuman, ya. Akan jadi momen yang sangat romantis.”
Mendengar itu, Kirana langsung menggeleng. “Tidak! Aku tidak mau!” serunya spontan.
Fotografer terdiam, begitu juga Haryo. Semua orang di studio menoleh ke arahnya. Haryo tampak terkejut, tapi ia berusaha tetap tenang. “Kirana, ini hanya bagian dari foto. Tidak perlu berlebihan,” ujarnya dengan nada lembut namun tegas.
Namun, Kirana tetap pada pendiriannya. Ia mundur beberapa langkah, memandang Haryo dengan penuh kebencian yang ia coba sembunyikan. “Aku... aku butuh waktu sebentar,” katanya, lalu berjalan keluar dari studio untuk menenangkan diri.
Haryo hanya berdiri di tempatnya, tampak kesal namun mencoba menjaga sikap di depan tim fotografer. “Maafkan dia. Dia hanya sedikit gugup,” ujar Haryo sambil tersenyum tipis, meski jelas terlihat ada ketegangan di wajahnya.
Di luar studio, Kirana berdiri di balkon kecil, mencoba mengendalikan emosinya. Di satu sisi, ia merasa bersalah karena menghentikan sesi foto, namun di sisi lain, ia tidak bisa memaksa dirinya untuk berpura-pura mencintai pria yang ia benci. Sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini? pikirnya dengan mata yang berkaca-kaca.