Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pancingan, Jebakan - 02
Telepon berdering lagi dan lagi, tapi tak ada jawaban. Yubin menatap layar ponselnya dengan gelisah, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kecil di dekatnya. Sudah lebih dari lima kali ia mencoba menghubungi Emily, namun tidak satu pun panggilan diangkat.
“Ck! Emily, aku tahu kamu sudah keluar. Tapi aku gak tahu kamu kemana.” Suaranya gemetar, pikirannya berkecamuk. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri. “Gak bisa begini… apa yang harus aku lakukan?”
Wajahnya semakin tegang. Setelah berpikir keras, ia menghela napas panjang dan memutuskan untuk menghubungi Reymond. Kata-kata Reymond terngiang di kepalanya: “Aku akan melindungi setiap artis di bawah naungan Mvvo.”
Di sisi lain, di dalam kafe…
Reymond masih sedang menikmati secangkir kopi bersama Rein ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama Yubin di layar.
“Siapa?” tanya Rein, memiringkan kepala.
“Yubin. Tunggu sebentar.” Reymond berdiri, menjauh sedikit dari meja untuk menerima panggilan. “Ada apa, Yubin?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh perhatian.
“P-Pak Reymond… maaf mengganggu Anda,” jawab Yubin, suaranya terdengar gemetar dan cemas.
“Apa yang terjadi?” Reymond bertanya, kini nadanya sedikit serius.
“I-itu…”
Namun tiba-tiba terdengar suara keras dari ujung sana.
BRAK!
“Yubin?!” Reymond hampir berteriak, mendekatkan ponsel ke telinganya. “Apa yang terjadi? Yubin!”
“O-oh… P-Pak Rey…” suara Yubin terdengar terputus-putus.
“Apa yang terjadi?!” ulang Reymond dengan nada mendesak.
“Sinyalku hilang… maaf.”
“Kamu mau bilang apa tadi?”
“I-itu… s-saya gak jadi.”
“Gak jadi?” Reymond terdiam, bingung.
“Iya, Pak. Maaf… saya akhiri panggilan ini.”
Sebelum Reymond bisa bertanya lebih jauh, panggilan terputus. Ia menatap layar ponsel dengan dahi berkerut. Ada sesuatu yang tidak beres.
Di sisi lain, di tangga darurat kantor…
Yubin berdiri gemetar, tubuhnya menempel ke dinding. Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi dengan tatapan dingin yang menakutkan.
“Kau dalam pantauan, Yubin,” ucap pria itu dengan nada mengancam. “Kalau berani mengatakannya kepada Reymond, nyawamu akan hilang.”
“I-iya, Pak…” jawab Yubin dengan suara bergetar.
Pria itu melangkah menjauh, meninggalkan Yubin sendirian di tangga darurat. Ia merosot ke lantai, tangannya gemetar hebat saat mencoba menenangkan diri.
***
- Dalam Mobil -
“Saya sudah membereskannya pak. Seperti yang bapak katakan, memberikan peringatan kepadanya terlebih dahulu.”
“Mr. Tano akan tiba besok siang. Pastikan, untuk membawa Yubin bertemu dengan bawahannya. Beri pelajaran lebih untuknya. Biarkan dia menjadi santapan untuk para bawahan Mr. Tano.”
“Baik pak presedir.”
***
-Di Dalam Mobil-
Reymond mengendarai mobil dengan tenang, meskipun pikirannya melayang pada panggilan Yubin tadi. Di sampingnya, Rein memperhatikan wajahnya dengan tatapan penasaran.
“Aku lihat dari tadi kamu memperhatikan jam terus. Kenapa?” tanya Rein, memecah kesunyian.
“Saya?” Reymond menoleh sekilas.
“Iya, kamu, Sayang. Kenapa terus melihat jam?”
“Apa saya terlihat seperti itu?” Reymond tersenyum kecil.
“Iya,” jawab Rein dengan manja. “Kamu sedang menunggu sesuatu?”
“Gak juga,” balas Reymond pendek, mengalihkan perhatian ke jalan.
Rein mengelus perutnya yang mulai membesar. Tangannya bergerak perlahan, seolah mencari perhatian Reymond.
“Sayang?” panggil Rein.
“Hm?” Reymond meliriknya sekilas.
“Aku ngerasa… kamu udah lama banget gak ngelus perut aku,” ucap Rein dengan nada lembut.
Reymond tersenyum tipis dan meraih perut Rein dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap memegang kemudi. Ia mengusapnya perlahan, mencoba menenangkan Rein.
“Jangan sering berpikir yang negatif, Rein. Itu bisa mengganggu perkembangan janinmu.”
“Aku mau, tapi… itu sering terjadi,” gumam Rein.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Kamu,” jawab Rein cepat.
“Saya?” Reymond meliriknya, kali ini penuh perhatian.
“Ya, tentang kamu. Tentang kemungkinan kalau kamu gak punya perasaan untukku.”
Reymond tertegun. Ia memutuskan untuk menepikan mobil di pinggir jalan. Setelah mobil berhenti, ia menoleh sepenuhnya ke arah Rein.
“Kenapa kamu bicara seperti itu?” tanyanya dengan nada serius.
“Itu yang aku rasakan.” Rein menunduk, mengelus perutnya dengan pelan. “Aku tahu, pernikahan kita karena perjodohan. Papa memintamu menikahiku, padahal aku tahu… kamu gak pernah punya perasaan lebih. Kamu bahkan gak mencintaiku.”
“Rein…” Reymond mencoba menyela, tapi Rein sudah mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Kamu mencintaiku?” tanyanya lirih, namun penuh harap.
Reymond terdiam. Pertanyaan itu menusuknya lebih dalam daripada yang ia bayangkan. Ia membuka mulut, tapi sebelum sempat menjawab, ponselnya berbunyi.
Reymond melirik layar. “Papa.”
“Angkat saja,” ujar Rein, suaranya datar, tanpa emosi.
Reymond menarik napas panjang, mengangkat panggilan. “Iya, Pa?”
“Kamu dimana?” suara tegas Mattheo terdengar dari ujung sana.
“Saya dan Rein sedang dalam perjalanan kembali ke rumah.”
“Baik. Besok, Mr. Tano tiba. Pastikan kamu siap.”
“Iya, Pa. Saya ingat.”
“Bagus. Hati-hati di jalan.”
Panggilan itu berakhir, dan Reymond menghela napas panjang. Ia kembali menatap Rein, yang kini membuang pandangannya ke luar jendela.
“Papa sudah di rumah. Kita kembali sekarang.”
“Iya,” jawab Rein pendek, tanpa menoleh.
Reymond hanya bisa menggenggam kemudi lebih erat, rasa sesak yang tak terungkap melingkupi keduanya sepanjang perjalanan.