"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Bulan bersandar di pintu kamar setelah menutupnya. Dadanya naik turun dengan nafas yang sedikit tersenggal akibat dicium Erik secara tiba-tiba. Detak jantungnya bergemuruh, Bulan sempat merasakan getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Yang jelas perasaan itu sulit untuk di jelaskan dengan kata-kata.
Tidak bisa dipungkiri, ciuman Erik menimbulkan getaran di hati. Tapi reaksi marahnya tidak dibuat-buat, Bulan marah karna Erik terlalu lancang walaupun halal bagi mereka untuk berciuman. Memang, Bulan berencana memberikan satu kesempatan pada Erik untuk memulai rumah tangga mereka dari awal, tapi bukan berarti Erik bisa bersikap seenaknya kan?
"Tenang Bulan, tenang,,," Sebisa mungkin Bulan mengatur nafasnya agar kembali normal. Jujur dia Syok berat, karna seumur-umur tidak pernah berciuman. Ketika menjalin hubungan dengan Arlan pun, bisa di hitung hanya beberapa kali dia bersentuhan tangan, kebanyakan malah tidak di sengaja.
"Mentang-mentang sudah berpengalaman, seenaknya cium-cium bibir orang." Bulan menggerutu sembari mengusap-usap bibirnya, seakan ingin menghapus jejak bibir Erik yang tertinggal disana.
Akibat tragedi ciuman pertama itu, Bulan selalu menghindar setiap kali bertemu dengan Erik. Seperti orang yang memiliki trauma, Bulan langsung menjaga jarak beberapa meter jika berpapasan dengan Erik. Sebenarnya bukan karna trauma, tapi khawatir lama kelamaan dia akan luluh jika Erik terus mencuri-curi kesempatan.
Seperti malam ini, Bulan lebih memilih mengambil makan malam untuk di bawa ke kamar karna tidak mau satu meja dengan Erik. Melihat sikap Bulan, Erik jelas sedikit kesal, tapi bukan berarti dia akan meluapkan kekesalan pada Bulan karna tidak ingin kesempatannya hilang begitu saja.
Erik mencegah langkah Bulan dan menghadangnya di dekat tangga. "Bawa turun lagi, kita makan bareng di bawah ya?" Ajak Erik lembut. Dia bicara selembut itu karna sedang membujuk Bulan.
"Mas Erik saja, aku mau makan dikamar." Bulan mencari celah untuk melewati Erik.
"Baiklah kalau mau kamu seperti itu, kebetulan sudah lama aku ingin makan kamu di kamar,, maksudnya makan berdua sama kamu di kamar." Ujar Erik, senyum di wajahnya yang terlihat menawan di mata wanita-wanita lain, di mata Bulan malah terlihat mengerikan sampai bulu kuduknya meremang. Apalagi ucapan Erik yang menjurus ke arah sana.
"Jangan mulai deh Mas, tidak lucu sama sekali." Bulan memutar malas bola matanya. "Kalau mau makan, makan saja di bawah. Aku banyak pekerjaan, mau sekalian selesaikan kerjaan." Tuturnya sembari membuka pintu kamar. Sayangnya Bulan tidak bisa masuk begitu saja karna Erik masih berusaha menahannya.
"Ayolah Bulan, aku janji tidak akan mencium kamu tiba-tiba, lain kali aku akan ijin dulu." Ujar Erik menahan tawa. Sejak kejadian tadi sore, Erik menyadari jika Bulan sengaja menghindarinya. Entah Bulan malu atau takut, tapi sikap Bulan justru membuat Erik semakin senang menggodanya.
Bulan menghela nafas berat, dia kehilangan ketenangannya semenjak Erik mengejarnya. Ada saja gebrakan Erik yang menguji kesabaran.
"Sekali lagi mencuri ciuman, lihat akibatnya!" Bulan menggertak sembari mengepalkan satu tangannya di depan wajah Erik. Bukannya takut, Erik justru terkekeh karna dimatanya ekspresi Bulan ketika sedang marah sangat lucu. Wajahnya yang teduh dan kalem itu, tidak pantas marah sama sekali.
"Aku tidak main-main ya Mas!" Pekik Bulan serius.
Erik menghentikan tawanya dan mengangguk cepat. "Iya Sayang, Mas tau." Jawab Erik lembut.
Bulan kesal sendiri dibuatnya, bicara dengan Erik bukannya berhenti di ganggu, malah makin di ganggu.
"Awas minggir! Sana makan saja sendiri." Bulan bergegas masuk kamar, sayangnya tidak punya kesempatan untuk menahan Erik di luar kamar lantaran pria itu ikut menyelonong begitu saja dan mengunci pintunya. Parahnya lagi, Erik menyimpan kunci pintu di saku depan celananya.
"Makan sepiring berdua sepertinya romantis ya Sayang." Ucap Erik. Tiba-tiba piring berisi makanan di tangan Bulan sudah berpindah ke tangan Erik.
Bak tamu yang di undang, Erik santai saja berjalan ke arah balkon kamar sambil membawa sepiring makan malam itu.
Bulan sudah cemberut dibuatnya, bibirnya sampai maju beberapa senti. "Sepertinya dia tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak membuat gara-gara denganku!" Gerutunya kesal.
Tadinya Bulan mau menyusul Erik ke balkon kamar, tapi suara dering ponsel miliknya di atas tempat tidur membuat Bulan mengurungkan niat dan lebih dulu menerima telfon.
"Assalamu'alaikum Kak Bulan." Surat itu milik Bintang diseberang sana.
"Waalaikumsalam. Iya Bintang, ada apa?"
"Kak Bulan bisa pulang sekarang? Bapak sakit. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit." Tutur Bintang lesu.
Kabar itu membuat Bulan gemetar. Sejak merantau beberapa tahun yang lalu, kabar seperti ini yang paling Bulan takuti, mendengar orang tua sakit ataupun meninggalkannya untuk selama-lamanya.
"Innalillahi.. Ya Allah, Bapak sakit apa Bintang?" Suara Bulan bergetar saking takutnya mendengar kabar buruk itu. Jika sampai dirawat di rumah sakit, artinya sakitnya serius. Begitu pikir Bulan. Terlebih Bapaknya sangat jarang sakit sebelumnya.
"Kak Bulan pulang dulu saja, kita juga sedang menunggu kabar dari dokter." Sahut Bintang.
"Iya Bintang, Kakak akan pulang sekarang."
Bulan menutup sambungan telfonnya lalu bergegas menyiapkan beberapa baju dan perlengkapan kerjanya agar bisa mengerjakan pekerjaan selama di kampung halaman.
"Bulan, kamu mau kemana.? Kamu marah sampai ingin pergi dari rumah?" Erik bingung melihat Bulan tiba-tiba memasukan beberapa baju ke dalam tas beserta laptop.
Bulan menggeleng. "Bapak masuk rumah sakit, aku harus pulang sekarang." Jawabnya tanpa sempat menoleh karna fokus memasukan barang den mengingat apa saja yang belum di bawa.
"Biar aku antar. Sebentar, aku ambil beberapa bajuku dulu." Erik keluar dari kamar Bulan dan menyimpan pakaian beberapa setel untuk 2 hari.
...******...
Sepanjang perjalanan, Bulan tidak henti-hentinya memanjatkan doa untuk orang tuanya. Dia sudah berusaha kuat, tapi air matanya yang sulit di bendung. Dia menangis tanpa suara.
Erik sesekali mengusap tangan Bulan. "Bapak pasti baik-baik saja, kamu jangan khawatir."
Bukannya berhenti, tangis Bulan malah semakin pecah. Erik sampai susah payah berusaha menenangkan Bukan tapi tidak ada hasil. Sampai akhirnya tangis bulan berhenti sendiri lantaran ketiduran.
Erik memarkirkan mobilnya di basement rumah sakit. Dia mengirimkan pesan pada Bintang bahwa mereka sudah sampai di rumah sakit tapi tidak bisa ke atas sekarang karna Bulan baru saja tidur beberapa menit lalu. Mungkin karna kelelahan menangis.
Setelah 1 jam, barulah Erik membangunkan Bulan. Wanita itu tampak linglung beberapa detik. Begitu ingat, Bulan langsung membuka pintu mobil bersiap untuk turun, tapi Erik mencegahnya.
"Jangan lari, apapun kondisi Bapak, keselamatan kamu juga penting." Ucap Erik menasehati. Bulan mengangguk paham.
keduanya lantas jalan beriringan. Erik menggandeng tangan Bulan tanpa berniat melepaskannya. Selagi tidak ada penolakan dari Bulan, Erik akan terus menggandeng tangannya.
Entah Erik harus senang atau sedih. Mertuanya sedang sakit, tapi Erik jadi punya kesempatan menggandeng tangan Bulan lebih lama.
Lanjut thor 🙏
semoga kalian makin bahagia setelah ini ya. gak ada pengganggu lagi.