(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Syarat Pernikahan
Wira mengepalkan satu tangannya dengan rahang yang menggeram. Sorot matanya yang tajam menatap layar ponsel dengan penuh kemarahan. Seorang pria yang merupakan orang suruhannya baru saja mengirim sebuah gambar yang jelas memperlihatkan pertemuan sang ayah dengan seorang wanita. Rasanya Wira benar-benar ingin menghancurkan wanita yang diketahuinya bernama Via itu.
"Ada apa, Wira? Kenapa wajahmu sepertinya sangat kesal?" Terdengar suara Ivan yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.
"Tidak apa-apa, Van. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu." Wira mematikan ponselnya, lalu meletakkan kembali ke atas meja.
"Memikirkan Shera lagi? Sudahlah Wira, lupakan Shera. Mulai lah hidupmu yang baru."
"Sok tahu! Aku tidak sedang memikirkan wanita jahat itu. Aku tidak peduli tentangnya." Wira mengusap wajahnya kasar. Pikirannya sangat kalut mengingat foto yang baru saja dikirim orang suruhannya. "Oh, ya Van. Sore ini aku harus pulang lebih awal. Aku ada urusan."
"Urusan apa?" tanya Ivan.
"Kau akan tahu nanti. Aku belum bisa memberitahumu."
"Baiklah! Lanjutkan pekerjaanmu!" Ivan menepuk bahu sahabatnya itu, kemudian beranjak keluar dari ruangan itu. Sementara Wira kembali menghubungi seseorang dengan ponselnya.
"Selidiki alamat wanita itu!" ucap Wira pada seseorang yang baru saja dihubunginya.
****
Sore hari di sebuah cafe terjadi pertemuan antara Wira dan seorang teman sekaligus orang suruhannya.
"Namanya Alviana Andini, usianya 23tahun, tinggal di panti asuhan Kasih Bunda. Dia punya seorang anak perempuan berusia empat tahun yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit," ucap seorang pria seraya menyerahkan beberapa lembar foto.
Wira menatap dengan geram satu persatu foto yang diberikan temannya itu, salah satunya foto dimana Via duduk bersama ayahnya di sebuah restoran.
"Hanya info ini saja?" tanya Wira pada pria di depannya. "Dia punya seorang anak. Seharusnya dia punya suami kan?"
"Dia belum menikah," jawab pria itu.
Decakan diiringi seulas senyum sinis terbit di sudut bibir Wira. "Tentu saja, anaknya itu pasti hasil hubungan gelapnya dengan seorang pria."
"Entahlah! Aku belum dapat info apapun tentang itu. Tapi yang pasti Alviana Andini belum pernah menikah sebelumnya."
Wira yang sedang dikuasai emosi itu merobek foto-foto Via dan melemparkannya ke sembarang arah. Ia berusaha menahan kemarahannya. "Di rumah sakit mana anaknya dirawat? Dan sakit apa dia?"
"Rumah Sakit Cipta Harapan. Aku tidak tahu anaknya sakit apa, pihak rumah sakit tidak mau memberikan data pasiennya. Tapi yang aku dengar, dia sedang kesulitan mencari biaya rumah sakit anaknya."
Raut wajah Wira yang tadinya menggeram perlahan mulai normal kembali. Entah mengapa ada rasa iba di dalam hatinya, namun ia segera menepis perasaan itu. Kebenciannya pada Via mengalahkan segalanya.
Kenapa aku harus kasihan padanya. Dia pantas menerimanya karena semua perbuatan buruknya. Dan sepertinya aku bisa memanfaatkan keadaan ini untuk memaksa wanita itu menjauh dari ayah.
"Baiklah, terima kasih infonya. Aku akan menghubungimu secepatnya. Sekarang aku harus pergi." Buru-buru Wira meninggalkan cafe itu menuju parkiran, setelah berpamitan pada orang suruhannya itu.
****
_
_
_
_
_
_
"Mbak, ini total tagihan yang harus dibayar. Biaya rawat inap dan obat-obatan," ucap seorang petugas administrasi seraya menyerahkan secarik kertas pada Via. Kedua bola mata wanita itu pun terbelalak melihat nominal yang tertera di dalam kertas itu.
Biayanya mahal sekali. Darimana aku bisa dapat uang sebanyak ini? Aku sudah tidak punya simpanan. Sekarang aku harus bagaimana? Dalam batin Via.
"Bu, apakah aku bisa meminta keringanan waktu untuk melunasi biaya perawatannya?" tanya Via pada petugas wanita itu.
Sambil tersenyum wanita itu menjawab, "Biasanya kebijakan dari rumah sakit akan memberikan waktu tiga hari untuk pembayaran." Mendengar ucapan wanita itu membuat Via memejamkan matanya. Entah darimana ia akan mendapatkan uang sebanyak itu dalam tiga hari.
Via mundur perlahan, menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi sambil menatap lembar tagihan itu. Kedua matanya yang sayu dan lelah kembali dipenuhi cairan bening. Akan tetapi, sebisa mungkin Via menahan agar air matanya tidak terjatuh. Dalam hati masih ada keyakinan, bahwa sejatinya Tuhan tidak akan memberi manusia ujian melebihi batas kemampuannya.
Tiba-tiba sepasang sepatu berhenti tepat di hadapan wanita itu. Via mendongakkan kepalanya, hendak menatap siapa yang sedang berdiri di sana. Dan, alangkah terkejutnya Via menyadari Wira ada di sana dengan wajah datar seperti biasanya. Ia segera berdiri dari duduknya, menyembunyikan kertas yang sejak tadi digenggamnya ke belakang punggung.
"Jadi kau sedang butuh uang untuk membayar biaya rumah sakit anakmu?" tanya Wira.
Via belum sanggup berkata-kata. Tatapan mengintimidasi Wira benar-benar membuat nyalinya menciut.
"Maaf ... Aku harus segera pergi." Via buru-buru membenahi barang bawaannya dan memasukkan ke dalam tas, lalu bergegas meninggalkan Wira.
"Aku akan membantumu melunasi biaya rumah sakit anakmu," ucap Wira membuat langkah kaki Via terhenti. Wanita itu belum percaya sepenuhnya dengan ucapan Wira yang beberapa waktu lalu menghinanya habis-habisan. "Bagaimana kalau kita bicara dulu, dan aku akan membantumu," tawarnya.
****
-
-
-
-
Via mengusap setitik air mata yang jatuh membasahi wajahnya. Siang itu di suatu tempat tenang, Wira baru saja menawarkan sesuatu yang tidak pernah disangka Via sebelumnya. Sebuah tawaran pernikahan dengan imbalan uang dalam jumlah fantastis. Dan tentu saja, dengan uang itu, Via dapat membiayai pengobatan Lyla.
Dalam benaknya timbul pertanyaan, mengapa Wira sampai harus mengikatnya ke dalam sebuah pernikahan. Bukankah pernikahan adalah sebuah hubungan suci yang terjalin di antara sepasang anak manusia yang saling mencintai. Via memberanikan diri menatap mata laki-laki yang duduk di depannya itu. Ada tatapan kebencian yang terlihat jelas melalui sorot mata tajam Wira.
"Kenapa harus dengan menikah?" tanyanya penuh keraguan.
"Hanya itu syaratnya. Kalau kau setuju, aku akan membantumu membayar biaya rumah sakit anakmu."
"Tapi, pernikahan bukan sesuatu yang main-main. Aku butuh waktu untuk memikirkannya. Ma-maaf ...." Mendengar jawaban Via malah membuat kemarahan Wira semakin menjadi-jadi.
"Kau pikir siapa dirimu? Aku tidak ada waktu untuk menunggu jawabanmu. Jawab sekarang, atau aku batalkan bantuanku."
Selama beberapa menit, Via terus terdiam. Ia beberapa kali menarik napas dalam. Bayang-bayang wajah polos Lyla bermunculan di benaknya. Lyla adalah segalanya bagi wanita itu. Dan demi Lyla, Via akan sanggup melakukan apapun.
"Sepertinya kau tidak tertarik! Baiklah, tidak akan ada bantuan untukmu!" Wira berdiri dari duduknya, lalu beranjak meninggalkan Via. Namun, wanita itu segera tersadar dari lamunannya.
"Tunggu!" panggil Via menghentikan langkah kaki Wira. "Baiklah, aku setuju." Dengan sangat terpaksa, Via menyetujui tawaran Wira.
Seulas senyum penuh makna lagi-lagi terbit di wajah tampan laki-laki itu. Ia segera berbalik, lalu kembali duduk di sana.
"Aku masih ada beberapa syarat lagi," ucap Wira diikuti anggukan Via.
"Baiklah, apa itu?"
"Jauhi keluargaku dan jangan pernah kau temui kedua orang tuaku! Dan ingat, tanpa seizin ku, kau tidak boleh keluar rumah atau menginjakkan kakimu ke panti asuhan lagi. Tempatmu adalah di rumahku."
Via pun menjawab dengan anggukan pelan. Walaupun syarat yang diajukan Wira sangat berat, namun hanya itu jalan satu-satunya yang dapat ia tempuh. Via tak punya pilihan lain.
Akhirnya, setelah terjadi kesepakatan itu, Via dan Wira menikah secara sederhana. Bahkan hanya dihadiri beberapa saksi termasuk Bu Retno dan orang tua Wira.
Menjadi seorang istri yang seharusnya menjadi fitrah bagi seorang wanita, nyatanya menjadi sebuah mimpi buruk bagi Via. Dimana sang suami tak henti-hentinya menghina dirinya sebagai seorang wanita murahan.
*******
FLASHBACK OFF
Di sinilah Via sekarang, di dalam sebuah rumah dimana dirinya menjadi seorang istri pajangan. Tak ada malam yang indah, tak ada belaian kasih sayang dari seorang suami. Yang ada hanya kehampaan dan kesunyian yang menemaninya.
Pagi itu, lagi-lagi Wira pulang dengan langkah sempoyongan. Via baru saja selesai menjalankan shalat Dhuha ketika mendengar suara seperti benda terjatuh. Buru-buru ia melangkah keluar, melihat Wira sedang terbaring di lantai.
"Astagfirullah, Mas Wira ..." Via segera mendekati suaminya itu dan ingin membantunya berdiri.
"Mau apa kau? Jangan sentuh aku! Aku tidak mau disentuh olehmu! Kau hanya seorang wanita menjijikkan."
Sakit, ucapan Wira bagaikan sembilu yang menggores luka. Lagi dan lagi hinaan diterima Via dengan pasrah.
****