“Ah. Jangan tuan. Lepaskan saya. Ahhh.”
“Aku akan membuatmu mendesah semalaman.”
Jasmine Putri gadis kampung yang berkerja di rumah milyarder untuk membiayai kuliahnya.
Naas, ia ternoda, terjebak satu malam panas bersama anak majikannya. Hingga berakhir dengan pernikahan bersama Devan anak majikan tampannya.
Ini gila. Niat kuliah di kota malah terikat dengan milyarder tampan. Apakah Jasmine harus bahagia?
“Aku tidak akan pernah menerima pernikahan ini,” tekan Devan frustasi menikah dengan pelayan.
“Aku harus menemukan dia.” Kenang Devan tentang gadis misterius yang menyelamatkan tiga tahun lalu membuatnya merasa berhutang nyawa.
Bagaimana pernikahan Jasmine dengan Devan anak majikannya yang dingin dan jutek namun super tampan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Wawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepi
Matahari semakin merangkak naik di sebuah kamar seorang perempuan cantik berbaring di ranjang menggeliat mengumpulkan separuh nyawanya, mengerjapkan kelopak mata perlahan. Tak lama ia terbangun dengan senyuman. Turun dari ranjang kemudian berjalan menyambar handuk.
Setelah menghabiskan beberapa saat di kamar Jasmine keluar dengan berpakaian rapi kemudian berjalan menuju dapur di mana dia melihat perempuan tua sedang duduk di meja makan.
“Pagi nek,” sapa Jasmine dengan wajah ceria memeluk manja perempuan tua itu dari belakang.
Nenek Minah menarik senyum senang melihat tingkah manja cucu kesayangannya ini.
“Pagi! Ini sudah menjelang siang Jasmine, nenek membuatkan teh untukmu pun sudah dingin,” ucap nenek terdengar menyindir.
Jasmine melepaskan pelukannya, membalas ucapan neneknya dengan cengiran.
“Tidur Jasmine sangat nyenyak nenek. Ah rasanya sudah lama tidak tidur senyenyak itu,” jelas Jasmine. Dia mana ada waktu istirahat cukup.
“Iya. Tidurlah sesuka hatimu nak. Kau pasti sangat bekerja keras disana. Dan jarang beristirahat,” ucap nenek mengerti namun miris. Karena Itulah jika Jasmine pulang dia begitu memanjakan cucunya itu.
Nenek Minah kemudian beralih berdiri di samping Jasmine.
“Sudah. Duduklah. Nenek sudah masak banyak dan ini nenek masak ayam goreng kesukaanmu,” jelas nenek Minah.
Jasmine pun duduk di kursi. Mata Jasmine berbinar menatap banyak menu yang ada di hadapannya.
"Wah. Nenek kelihatannya enak sekali!” decak Jasmine heboh.
Nenek Minah mengambil piring.
“Iya. Sini nenek ambilkan. Makan yang banyak,” ujar Nenek Minah juga tak kalah semangat melayani cucunya.
“Mau pakai sambal apa? nenek sudah buatkan sambal terasi, atau sambal bawang, atau kamu mau sambal kecap nenek akan buatkan,” jelas nenek Minah benar-benar melayani cucu kesayangannya.
Jasmine tersenyum. Ah, ini lah yang ia suka jika pulang ke kampung ia sangat di manja oleh neneknya di bak ratukan, bangun siang dengan makanan telah sedia di meja makan plus teh panas. Sedangkan di kota astaga dia bersusah payah melayani, malah di tindas dan tidak di hargai. Ahhh, rasanya ia tidak ingin kembali. Dia sangat bahagia tinggal bersama neneknya.
“Tidak perlu nenek sambal terasi saja,” ucap Jasmine.
Nenek Minah pun mengisi piring Jasmine setelahnya menaruh di hadapan cucunya.
“Ini. Makanlah.”
Jasmine pun mulai menyantap makanannya dengan lahap.
“Makan yang banyak. Oh iya nenek juga sudah membuat kue bolu gula merah untukmu,” ujar nenek.
Mendengar itu netra Jasmine kembali berbinar.
“Wah nenek terima kasih. Nenek yang terbaik,” seru Jasmine heboh.
“Nenek habis ambil pisang di kebun, mau nenek buatkan pisang goreng? Atau ubi goreng?” tawar nenek. Ya beginilah seorang nenek tak henti menawarkan cucunya makanan.
“Tidak perlu nenek. Bolu gula merah saja sudah cukup,” ujar Jasmine dengan mulut penuh makanan. Dia bak sedang dalam perbaikan gizi tinggal bersama neneknya. di jamin nanti dia pulang berat badannya akan bertambah.
Sementara Jasmine bahagia dengan kehidupannya di kampung dan terasa tak ingin pulang.
Di tempat berbeda. Malam telah menyambut seorang pemuda baru saja menginjakkan kaki masuk ke dalam kamar menyeret langkah. Tak ada semangat di wajahnya.
Perasaannya hampa ada benih rindu dalam dirinya saat menatap kamar di mana perempuan berseragam pelayan sering berdiri di samping sofa bersiap menunggu perintah.
Devan mendudukan tubuhnya di sofa memejamkan mata. Tak lama Rena masuk ke dalam kamar dengan nampan di tangan. Ya semenjak Jasmine tidak ada Rena yang menggantikan tugas perempuan itu.
Devan menghela napas berat. Selalu ada desir kecewa melihat pelayan lain masuk ke dalam kamarnya. Bukan seperti yang ia harapkan.
“Selamat malam tuan. Ini teh hangat Anda tuan,” sapa Rena.
Rena meletakkan secangkir teh di meja. Setelahnya menundukkan kepala tanda hormat akan meninggalkan kamar setelah tugasnya selesai.
Devan menegakkan tubuhnya.
“Hei tunggu!” tahan Devan.
Rena pun terhenti menatap Devan.
“Ya tuan,” ucap Rena.
“Berapa lama pelayan Mimin di kampung?” tanya Devan tak sabar.
Rena terlihat berpikir.
“Kurang lebih sepuluh hari tuan!” jawab Rena
Mendengar itu Devan tercengang. Oh astaga.
“Ha ... 10 hari! kenapa lama sekali!” pekik Devan tak terima bahkan terlihat kesal.
“Memang seperti itu tuan,” jelas Rena.
“Kau boleh keluar,” ujar Devan.
Rena menunduk memberi hormat setelahnya keluar dari kamar.
Setelah kepergian Rena. Devan merosotkan tubuhnya lemah, bersandar di punggung sofa. Menghela napas berat.
“Jadi seminggu lagi ... Lama sekali!” gerutunya lemah. Sungguh rasa rindu telah melumuri hatinya. Rasanya begitu sepi tak bersua dengan perempuan itu.
Like, Coment ...
pelabuhan terakhir cinta Nathan Wang