Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Sebulan berlalu.
Di senggang banyak waktu, Shana masih berharap sosok yang dirindukannya itu pulang. Meski benar-benar sudah tidak ada harapan lagi.
Shana berusaha kuat. Terlihat tegar di hadapan banyak orang. Setidaknya tidak ada air mata lagi yang berderai-derai ketika dia merasa rindu. Sekarang, hatinya benar-benar dilapangkan. Dia berdamai dengan keadaan.
Embusan nafas panjang keluar dari bibir manisnya. Setelah mengeringkan rambut, dia segera memakai dress yang telah dibelinya kemarin malam. Dress berwarna abu-abu tanpa lengan sangat cocok untuk kulitnya yang putih.
Cermin membingkai tampilan Shana. Perfect. Meski perutnya semakin terlihat besar, tidak menghalangi kecantikannya. Shana tersenyum manis, tangannya mengusap pelan perutnya yang terasa kram.
Kata Dokter, perut kram itu adalah hal yang wajar. Apalagi janin sudah aktif bergerak. Jadi, Shana tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia menikmatinya. Meski Kaivan benar-benar tidak ada lagi untuk memeluknya.
Shana sudah siap. Dia tinggal memakai flatshoes senada yang sudah disiapkan dari pagi tadi. Namun, saat dia baru saja keluar kamar. Ponsel yang berada di tasnya bergetar. Shana merogoh. Menatap layar. Ibu?
Lalu, “Halo?”
“Kamu hari ini jadi ke outlet?”
“Iya, Bu. Ini tinggal mau jalan aja. Ada apa, Bu?”
“Hari ini ibu nggak ke sana. Pekerjaan ibu nggak bisa ditinggal.”
“Nggak apa-apa kok, Bu.”
Hening sesaat. Shana hampir saja berpikir untuk memutus panggilan secara sepihak. Namun, “Shana? Ibu tidak memaksa kamu. Tapi … ini sudah sebulan lebih dan Kaivan masih tidak ada kabar …”
Shana terdiam. Sepertinya mulai mengetahui arah pembicaraan ini.
“Kalau bulan depan dia nggak datang juga. Kamu bisa kok untuk ajukan gugatan cerai. Jangan terlalu banyak memendam semuanya sendiri. Kamu juga berhak bahagia. Meski tanpa dia.”
Kamu juga berhak bahagia. Meski tanpa dia.
Meski tanpa dia…
Kalimat itu menjadi pengantar langkah kaki Shana di bawah pelataran outlet. Rintikan hujan yang mengenai naungan di atas Shana, sebagai teman yang menemani berisiknya kepala Shana. Tidak mengindahkan pemandangan di sekitar.
Langkah kakinya terus terayun dengan pandangan kosong. Tatap matanya yang sendu, melukiskan perasaannya yang dia tahan sesaknya sedari tadi. Namun, benar-benar sudah tidak ada air mata lagi yang akan menemaninya. Hanya saja, mungkin dia menyalurkannya dengan embusan nafas yang lelah keluar berkali-kali.
Tangan Shana menggapai gagang pintu dan mendorongnya. Dia tidak melihat Nana dan Lila yang biasanya mondar-mandir untuk mengerjakan sesuatu. Tapi, apa pedulinya? Shana benar-benar tidak bisa memikirkan hal lain lagi. Hingga dia tidak sadar bahwa ada seseorang yang telah datang sedari tadi. Menunggunya.
Shana meletakkan tas kecilnya di gantungan stainless yang disediakan dekat dengannya. Lalu, dia duduk di salah satu stool. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja.
Kamu juga berhak bahagia.
Meski tanpa dia.
Shana berdecih. Dia menggeleng pelan dengan terkekeh. Apa maksud kalimat itu? Apa memang ibunya masih mengharapkan Shana berpisah dengan Kaivan? Setelah yang ibunya lihat bagaimana hancurnya Shana kemarin? Bisa-bisanya beliau berkata seperti itu.
Shana mengembuskan nafas pelan. Tatapnya berpendar mencari keberadaan Nana dan Lila yang biasanya akan menghampirinya. Namun, mereka tidak terlihat. Tidak biasanya.
Kening Shana mengernyit. “Nana? Lila?”panggilnya sambil melongok ke belakang. Tepat di bagian pantry. Namun, tidak ada jawaban.
Mungkin saja kedua perempuan itu belum datang karena terjebak hujan. Jadi, Shana segera bangkit dari duduknya untuk ke pantry dan membuat teh.
Dia benar-benar tidak mencurigai pintu office kecil yang berada di dekat pantry. Padahal jika menoleh sebentar saja, Shana pasti tahu ada orang di dalam. Yang di mana memang sengaja membuka sedikit pintu itu.
Tubuh Shana kaku. Tangannya yang tadinya sedang mengaduk teh, tiba-tiba terhenti. Matanya membulat dengan desir nafas terengah saat sebuah tangan asing tengah memegang tangan kanannya.
Otak Shana mendadak buntu. Dia bisa merasakan seseorang itu tengah menghembuskan nafasnya di tengkuk Shana. Membuat otak Shana memutar rekaman beberapa tahun lalu yang menimpanya. Tidak. Dia tidak akan berdiam diri seperti waktu itu. Kali ini Shana harus melawan.
Dengan gerak cepat Shana berbalik dan melayangkan tamparannya. Telapak tangannya terasa kebas. Namun, dia puas. Setidaknya bisa memberikan sebuah perlawanan pada laki-laki tidak tahu diri itu. Pada laki-laki tua yang tengah memegang sebelah pipinya dan menatap nanar pada Shana.
“Om … jangan pernah lakukan itu lagi.” Pelan. Namun, Shana mengatakannya dengan penuh penekanan. Bahkan, telunjuknya sampai mengacung menandakan omongannya tidak main-main.
Om Vito tertawa kecil. Sedikit menyeringai sebelum memegang salah satu tangan Shana. “Mau apa kamu? Hah? Melawan? Lawan saja. Setidaknya dengan keadaan kamu seperti ini, saya akan memuaskan nafsu birahi yang telah lama saya tahan,”balasnya, setelah melihat ke arah perut Shana.
“Lepas!”pekik Shana. Tubuhnya berontak saat Om Vito menariknya kuat untuk masuk ke dalam office yang telah dia sediakan. “LEPAS! TOLOOONG!!!”
Di sela-sela langkahnya, Om Vito tertawa. “Berteriak, Shana! Lakukan! Karena tidak ada yang bisa menolongmu kali ini! Kaivan sudah tidak ada!” Tangannya terus menarik Shana yang lumayan bisa menahan diri agar tidak masuk ke dalam office. Dia berdecak saat tangan Shana memegang erat ujung pintu agar tubuhnya tidak masuk.
“TOLOOOOONG!!!!” Shana tidak putus asa. Meski tubuhnya gemetar ketakutan. Dia tetap mengerahkan sisa-sisa energi yang ada. “TOLOOOOOONG!!!”
“Ayolah, Shana! Jangan buang-buang waktu Om. Lagian, kalau kamu mau tahu, tenaga Om lebih kuat daripada Kaivan. Kaivan mah cetek!”
“TOLOOONG!!!! TOLONG!! OM, LEPAS!!!”Shana berontak lagi. Meski sebelah kakinya sudah masuk ke dalam Office. Namun, Shana berusaha agar sebelahnya lagi tidak masuk dan membuatnya bisa berlama-lama di luar. “TOLOOOONG!!!!”
Rupanya Om Vito sudah kehabisan sabar. Dia menggeram sampai akhirnya memutuskan menarik paksa Shana dengan kuat. Tidak lagi menariknya dengan setengah tenaga. Kali ini, dia benar-benar menariknya seperti menarik binatang.
Sampai tubuh Shana jatuh dengan posisi merangkak. Om Vito menarik rambutnya. Membuat Shana menangis hebat. “Om, tolong lepaskan saya,”lirih Shana. Dia meringis kesakitan. Apalagi, saat Om Vito berhasil menutup pintu dan membawa Shana ke sudut ruangan. Di mana dia sudah menyiapkan satu sofa empuk yang berukuran besar untuk Shana.
Shana menggeleng. Dia melihat Om Vito duduk di sana dengan mengusap organ intimnya. Dia pikir, Shana akan tergoda. Namun, tidak.
Shana bangkit dari posisinya. Dia berbalik cepat dan hendak menggapai pintu. Namun, lagi-lagi, gerak Om Vito lebih cepat.
Om Vito memeluk Shana dari belakang. Mengusap bagian tubuh Shana meski perempuan itu menangis meraung-raung. Om Vito tidak memperdulikannya.
Dengan satu hentakan, Om Vito membalik tubuh Shana. Dia meremas kedua pipi Shana dengan satu tangannya. Menatap tajam pada kedua mata indah yang dia puja sedari dulu. “Kenapa, sih? Kenapa kamu takut? Bukannya kamu juga sudah merasakannya? Sudah, kan? Kaivan sudah memberikannya. Sekarang, giliran Om!”
Shana menggeleng pelan. Sisa tangisnya masih terdengar pilu. “Sampai kapanpun. Aku nggak sudi!”
Mendengarnya dari mulut manis Shana, membuat Om Vito menangkup wajah Shana. Mendekatkan wajah. Bibirnya berusaha menggapai bibir manis itu. Meski Shana memberontak. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri untuk melepaskan diri. Om Vito masih memegang erat wajah Shana. Memaksa Shana untuk memberikan bibir manisnya pada Om Vito.
Keduanya tidak menyadari ada suara-suara yang berbisik di dekat pintu. Dan, saat bibir Om Vito nyaris bertemu dengan bibir Shana. Pintu terbuka setelah menghasilkan gebrak kencang.
Brak!!!
Kedua pasang mata itu terbelalak saat melihat kejadian itu. Dan saat tangan Om Vito terlepas dari wajah Shana. Tubuh Shana jatuh ke lantai. Terperenyak di atas dinginnya keramik.