Berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus tak membuat Mario Ericsson Navio kewalahan. Istrinya pergi meninggalkan dirinya dengan bayi yang baru saja dilahirkan. Bayi mereka ditinggalkan sendirian di ruang rawat istrinya hingga membuat putrinya yang baru lahir mengalami kesulitan bernapas karena alergi dingin.
Tidak ada tabungan, tidak ada pilihan lain, Mario memutuskan pilihannya dengan menjual rumah tempat tinggal dia dan istrinya, lalu menggunakan uang hasil penjualan untuk memulai kehidupan baru bersama putri semata wayang dan kedua orang tuanya.
Tak disangka, perjalanannya dalam mengasuh putri semata wayangnya membuat Mario bertemu dengan Marsha, wanita yang memilih keluar dari rumah karena dipaksa menikah oleh papinya.
“ Putrimu sangat cantik, rugi sekali pabriknya menghilang tanpa jejak. Limited edition ini,” - Marsha.
“Kamu mau jadi pengganti pabrik yang hilang?”
Cinta tak terduga ! Jangan lupa mampir !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terhalang restu
Setelah mengobrol ala kadarnya, ketiga sahabat itu membicarakan tentang bisnis. Sementara keempat bocah cadel diungsi ke tempat ruangan bermain. Alaska masih bungkam akibat menjahili putranya yang sayang ibu.
Dia memberikan dua lembar uang berwarna biru untuk menutup mulut putranya hanya karena dia tak sengaja meng scroll ponsel milik asistennya.
“Gara-gara Deo nih, anak gue salah paham..”
“Leon ! Leon !” panggil Maureen.
“Ck ! Jangan ganggu ! Lagi fokus Leon !”.
“ Memang na Leon main apa ?” tanya Maureen kepo.
Reon melirik tajam Maureen. Maureen dan Flora sama-sama kepo hal itu membuat Reon memilih untuk duduk bersama Fiona yang sedang menonton film upin ipin.
“Kenapa cih ?”
“Kembalanmu sama Ilen bikin Leon kesal kali ! Kepo kali hidupna,”.
“Kayak nda tau aja. Sudah lah jangan ganggu Ona. Ona masih fokus nih,”. Reon mengangguk. Maureen yang dicuekin mencebik kesal. Dia menghampiri Flora yang melihat ikan koi di aquarium.
“Olapppppp !!!” teriak Flora membuat Reon memutar bola matanya.
“Bisa nda janan panggil Olap !! Nama ku Leon bukan Olapppp !!”.
“ Tapi citu dingin kayak Olap na elsa “ sahut Maureen tak mau kalah.
“Kamu sama Ola, sama-sama bikin kepala Leon pusing ! Cudahlah, Leon ngajak papi pulang. Di sini tellalu mengganggu !” ketus Reon dan pergi meninggalkan Maureen yang menatap Reon tak percaya.
“Dedek nda calah nanya cama manggil kok. Napa Leon yang cencitif, mama cu kalau malah nda gini kok.”
Flora menepuk pundak Maureen. Dia tersenyum sangat manis. “ Nda ucah di pikilin. Dia memang gitu, datal nda ada kehidupan !”.
“Olaaa jangan sembalangan bicala. Bica di amuk mommy nanti !” seru Fiona yang jengah dengan kembarannya.
“Apa sih, Ona ! Cewottttt naaaa..”
“Ayo, Ilen kita main lagi !” ajak Flora. Maureen mengangguk patuh. Keduanya kembali menuju area perosotan yang ada di ruangan itu.
Sedangkan di sisi lain, Marsha dan Melati izin untuk pergi ke rumah sakit. Untungnya, Asisten Kai mengizinkan mereka berdua untuk pergi ke rumah sakit. Marsha mengendarai motor milik Melati dengan kelajuan rata-rata. Sementara Melati dia masih terlihat murung.
“Sepertinya dia masih marah padaku, aku harus gimana ya ?”.
Beberapa menit kemudian keduanya tiba di rumah sakit. Setelah memarkirkan motor, keduanya bergegas masuk. Marsha masih belum menyadari raut wajah teman kerjanya. Dia fokus menggandeng Melati menuju ruang rawat abang Melati.
Ceklek !
Marsha membuka pintu tersebut. Terlihat seorang pria tampan tengah duduk menghadap luar jendela. Pria itu belum menyadari kedatangan Marsha dan Melati. Dia sibuk menatap suasana luar jendela.
“Abang….” panggilan itu membuat pria itu menoleh. Senyum di bibir pucatnya terlihat seperti dipaksakan.
“Mel…”
“Abang, lagi lihatin apa ?” tanya Melati lembut.
Pria itu menggeleng. Morgan Darmawan. Abang satu-satunya yang Melati punya, keduanya hidup sebatang kara setelah kepergian orang tua mereka yang menjadi korban kecelakaan pesawat menuju Jakarta. Perusahaan orang tua mereka sudah di ambil paksa oleh saudara-saudara ayah mereka.
Morgan memilih tidak merebut harta sehingga dia dan Melati hidup sederhana di ibu kota.
“Mel, aku ke kantin dulu ya. Mau cari makan, kamu mau nitip apa ?”.
“ Aku titip apa aja makanan di kantin, asalkan tidak tawar,” ucap Melati terkekeh.
“Iyaaa tahu. Ya udah kalau gitu, aku ke kantin ya. Mel, Bang Morgan..” Morgan mengangguk pelan.
Setelah Marsha keluar barulah Morgan berbicara serius kepada adiknya. “ Apa kamu masih sering bertemu dengannya, Mel ?”.
“Abang….”
“Abang mohon, Mel. Jauhin dia, karena keluarganya abang seperti ini !”.
“ Tapi bang…”
“Apa kamu ingin abang seperti ini, saat mereka mengetahui bahwa kamu dan putra dari keluarga kaya itu masih sering bertemu ??? Sadar posisi, Mel. Kita ini bukan orang terpandang lagi ! Jangan membuat kehidupan kita makin sulit, hanya karena kita tidak sebanding mereka !!”.
Melati menunduk. Dia akui bahwa mereka tidak bisa bersama. Apalagi keluarga itu memikirkan harta, tahta dan kuasa sementara dirinya berada sangat jauh di bawah mereka.
“Pria itu sudah dijodohkan oleh ibunya dengan keluarga terpandang. Jadi, segeralah untuk move on, Melati..”.
Degh !! Melati kaget dengan penuturan abangnya. Dia menatap nanar dirinya. Sebegitu rendahkah posisi cintanya dibandingkan harta dan kekayaan ?.
Sementara Marsha, dia sudah berada di kantin dan menunggu pesanannya selesai. Sambil memainkan ponselnya, dia melihat beberapa postingan alay Dora di laman inst*grmnya.
“Alay banget wkwk..”
Marsha juga melihat komentar yang ada di postingan tersebut. “ Terlalu tiinggi, kasihan. Kalau patah, kasihan juga nggak bisa terbang tinggi lagi.. Angsa buluk kok mau jadi angsa putih wkwk..”
“Kenapa mba, mbanya iri ya ?”
“Ha ?!” Marsha kaget mendengar celotehan ibu-ibu yang menatap layar ponsel. Marsha menjauhkan ponselnya dan menatap kesal ibu-ibu di sebelahnya.
“Ibu suka ngintip ya ?”
“Kok gitu ? Saya nggak pernah ngintip,” elak ibu itu.
“Terus barusan apa ? Hati-hati bu, kalo suka ngintipin orang matanya di ganti jadi mata gajah !” ucap Marsha menakuti ibu itu.
“Mana bisa, mata saya diganti jadi mata gajah.”
“Bisa kok bu, nih gambarannya !” ucap Marsha memperlihatkan mata seseorang yang besar dan menonjol ingin keluar.
“Kamu !!”
“Pesanan atas nama Marsha !!”
“Saya kakkkk !! Maaf ya bu, saya ambil pesanan saya. Satu lagi bu, hati-hati nanti matanya jadi mata gajah !” seru Marsha girang melihat ekspresi ibu-ibu berdandan menor itu.
Langkah kaki Marsha menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar rawat Morgan, saat dia baru saja berbelok tatapannya tak sengaja melihat sosok yang dia kenal.
“Mirip opa ? Tapi bukannya Opa di Jerman ya ? Kok bisa di indo. Aku halu atau itu beneren opa ? Tapi opa ngapain ? Siapa yang sakit ?”.
Marsha sangat ingin mengikuti sosok pria yang mirip dengan Opa namun dia juga harus mengantar makanan ini kepada temannya.
“Ikut nggak ya, kalo nggak ikut penasaran. Kalo ikut, nanti makanannya dingin sayang dong..”
“Makan dulu lah, nanti kapan-kapan aku kesini lagi.” putus Marsha. Dia kembali melangkahkan kakinya ke ruang rawat Morgan.
*
*
*
*
Setelah selesai bertemu, ketiga sahabat itu pulang ke rumah masing-masing. Mario membawa putrinya untuk pulang karena Vion dan Narel sudah menunggu mereka di rumah.
“Lama banget bawa cucu ibu pergi ! Kamu tahu tidak, susunya Iren hampir basi lupa ibu taroh di kulkas..”
“Huh, ibu. Lagian Iren masih tidur bu. Mario mau bawa Iren ke kamar..” Vion mengangguk. Dia lalu pergi menghampiri suaminya yang tertidur di kamar. Narel tidak datang ke toko sembakonya. Dia ingin meliburkan dirinya hari ini untuk sang cucu tersayang, namun dia harus mengurungkan niatnya karena Maureen di jemput Asisten Kai untuk pergi ke kantor Mario.
“Harusnya cucu kita banyak, tapi pabriknya tutup. Kasian harus berebut satu cucu huhu…” kata Narel saat dia menatap kepergian cucu satu-satunya tadi siang.
Kini pria tua itu terlihat terlelap dalam tidurnya. Vion berdoa semoga suatu saat nanti putranya mendapatkan wanita yang menerima kekurangan Mario tanpa melihat apa yang Mario punya. Menyayangi Maureen seperti anak kandungnya sendiri.
*
*
*
“Tuan, sepertinya saya melihat nona..”
“Jangan sampai dia melihat kita, kalian bergantian berjaga. Apalagi diantara kalian cucuku sudah mengenali. Jangan sampai apa yang saya sembunyikan dari orang-orang diketahui oleh cucuku. “
“Baik tuan,” pria berpakaian serba hitam pergi meninggalkan pria tua yang menatap dua brankar di hadapannya.
“Maafkan aku, “ lirihnya memandang dua orang yang sangat dirinya cintai.