(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Tujuh bulan sudah Marchel berada di daerah pelosok itu dan mengabdikan dirinya sebagai seorang pelayan kesehatan.
Hari itu, dengan wajah berbinar bahagia, Marchel mengemasi barang-barangnya. Hari itu, sang dokter memutuskan untuk segera kembali ke ibu kota. Kerinduannya pada Sheila seakan membunuhnya perlahan. Marchel memasukkan pakaiannya lembar demi lembar ke dalam sebuah koper. Sejenak, Marchel membuka galeri ponselnya, kembali memandangi foto Sheila yang ada di sana.
"Sheila, aku akan kembali hari ini dan memulai semuanya dari awal denganmu. Kau pasti sudah lulus ujian sekolahmu. Tunggulah aku sebentar lagi. Aku mencintaimu." Marchel memasukkan ponselnya ke dalam tas, setelah puas memandangi wajah sang istri.
Tujuh bulan lamanya Marchel pergi tanpa bisa memberi kabar pada istri dan keluarganya, akibat daerah pelosok yang terisolasi itu. Jangankan untuk keluar dari desa itu. Untuk pergi ke kantor desa pun Marchel tak sempat akibat banyaknya pasien yang terjangkit virus berbahaya.
Kini, desa pelosok itu berangsur pulih kembali setelah tujuh bulan lamanya terisolasi akibat wabah berbahaya yang melanda.
Dengan menyeret sebuah koper, Marchel keluar dari mess tempatnya tinggal selama tujuh bulan berada di desa itu. Beberapa warga tampak sudah menunggu di depan sana. Pesona Marchel sebagai seorang dokter yang sangat tampan mampu menyihir ratusan wanita di tempat itu. Bahkan Dokter Marchel dieluh-eluhkan oleh beberapa gadis cantik di sana.
Seorang wanita paruh baya menghampiri dokter tampan itu. "Terima kasih Nak Marchel. Kapan-kapan kemari lagi."
"Iya, Bu. Aku juga berterima kasih selama aku di sini kalian sangat baik."
Setelah berpamitan, Marchel naik ke sebuah bus bersama beberapa tenaga medis relawan lain yang juga akan meninggalkan desa itu. Sebuah bus yang akan mengantarnya ke Kota Makassar dan langsung menuju bandara.
Lambaian tangan warga melepas kepergian para dokter dan perawat itu, seiring dengan bus yang sudah mulai melaju meninggalkan desa itu.
Marchel sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di rumah, rasanya begitu ingin memeluk, memohon maaf pada Sheila dan melepaskan semua kerinduannya.
Perjalanan dari desa itu menuju kota memakan waktu lima jam. Waktu yang sangat lama bagi Marchel.
****
_
_
_
_
Seorang wanita muda yang sedang hamil terlihat sedang membersihkan meja di sebuah rumah makan kecil. Dengan seulas senyum, sesekali Sheila mengusap perutnya, ketika merasakan gerakan bayi yang sangat aktif di dalam sana.
Kini usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke tujuh.
"Sheila, istirahatlah! Sejak tadi kau terus bekerja. Apa tidak lelah?" Seorang wanita paruh baya menghampirinya.
"Tidak, Bu! Aku senang melakukannya. Aku tidak lelah."
"Tapi kau harus menjaga kesehatanmu. Lihat perutmu sudah semakin membesar. Jangan terlalu lelah bekerja."
"Iya, Bu." Sheila melanjutkan pekerjaannya, membawa beberapa piring bekas makan menuju dapur.
Sejak diusir dari rumah Marchel, Sheila memutuskan untuk melupakan semua hal buruk yang terjadi padanya. Termasuk melupakan Marchel yang pergi selama berbulan-bulan tanpa memberinya kabar.
Bahkan Sheila menjual ponselnya demi memenuhi kebutuhannya. Sebuah kartu ATM yang diberikan Marchel sebelum pergi sudah dibuangnya. Dia hanya mengambil beberapa, untuk membayar sewa rumah sederhana yang ditempatinya seorang diri.
Kini, Sheila berjuang hidup sendiri, dengan bekerja di sebuah rumah makan sederhana. Beruntung, ibu pemilik rumah makan itu mengerti keadaan Sheila yang kini sedang hamil tua.
"Bu, aku sudah membersihkan dapur. Apa aku boleh pulang lebih awal?" tanya Sheila sesaat setelah pekerjaannya selesai.
"Iya, pulanglah dan istirahat. Ini sudah malam." Wanita itu kemudian mengambil sebuah amplop dari dalam laci mejanya, menyelipkan ke genggaman Sheila.
"Apa ini, Bu?"
"Itu untuk anakmu. Simpanlah, Nak!"
"Tapi aku belum waktunya gajian, Bu." Sheila hendak menyerahkan kembali amplop itu, namun wanita paruh baya itu menolaknya.
"Itu untuk anakmu, bukan untukmu. Jadi jangan menolak!"
Sheila tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Merasa beruntung, bertemu seorang wanita yang baik hati, yang mau memberinya pekerjaan dengan kondisinya yang sedang hamil.
"Terima kasih, Bu. Aku tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Ibu," ucapnya seraya mengusap setitik air matanya.
"Jangan dipikirkan. Yang penting kau dan anakmu sehat."
"Baiklah, Bu. Aku pulang dulu. Sekali lagi terima kasih."
Wanita itu mengusap rambut Sheila dengan penuh kasih sayang. Sheila segera keluar dari rumah makan itu dengan amplop di genggamannya. Tinggallah wanita paruh baya itu sendirian di dalam rumah makannya.
Kasihan anak itu. Dia menjalani kehamilannya sendirian. Pasti sangat berat baginya hidup sendirian dalam keadaan hamil tanpa seorang suami . batin wanita itu.
Dengan wajah berbinar, Sheila sedang asyik memilih makanan yang telah lama diidamkannya. Berkat uang pemberian ibu pemilik rumah makan itu, Sheila dapat membeli makanan yang membuatnya beberapa kali harus mengelus dada akibat harus berhemat.
Sheila duduk di sebuah meja yang menghadap ke jalan, melahap makanan yang baru dibelinya dari food court itu.
Rasanya sangat menyedihkan, memiliki suami seorang dokter yang terbilang cukup kaya, namun untuk memenuhi ngidam makannya saja, Sheila harus sering menahan. Kadang, dia hanya dapat menangis di malam hari, saat menginginkan sesuatu namun keadaan memaksanya untuk bersabar.
Di seberang sana, sebuah mobil melaju pelan, berusaha menerobos di tengah kemacetan jalanan. Marchel duduk di kursi penumpang belakang. Matanya berkeliling meneliti setiap jalan. Rasanya begitu lama tidak melihat keramaian ibu kota.
Hingga matanya menangkap seorang wanita hamil yang baru saja selesai makan di seberang sana.
Kenapa aku seperti melihat Sheila? Ya ampun aku pasti sudah gila. Mungkin aku terlalu merindukannya sehingga merasa melihatnya. Sheila, istriku... Aku sudah tidak sabar sampai di rumah dan memelukmu. batin Marchel.
****
BERSAMBUNG