“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari pernikahan
Keesokan hari, di kediaman orang tua Jihan.
Ada uang Neng sayang, tapi untuk hari ini ada uang maka rumah Jihan sudah di sulap dengan cantik untuk acara akad nikah Jihan dan Fathi nanti siang.
Tidak begitu banyak yang diundang oleh orang tua Jihan, hanya tetangga dekat rumah, RT, RW lalu beberapa saudara yang kediamannya masih di wilayah Jakarta. Sedangkan Jihan hanya mengundang sohib dekatnya bernama Syifa, yang sekarang sedang menemani Jihan yang lagi di make-over.
“Mbak, tolong jangan dibuat wajah Jihan sangat cantik ya, soalnya percuma saja terlihat cantik, pengantin prianya rada butek matanya,” celoteh Jihan pada MUA yang dikirim oleh mertua kakaknya yang beberapa jam lagi bakal jadi mertuanya.
Si MUA jadi tercenung mendengar pemintaan calon penganti, dimana-mana penganti wanita pasti pengen terlihat cantik di depan pangerannya tapi ini malah gak kepengen, tapi pada dasarnya Jihan sudah memiliki paras yang ayu dan cantik, dipoles tipis aja udah kinclong wajahnya kayak porselen.
“Ji, lo gak ada niatan mau kabur gitu. Mumpung belum mulai akad nikahnya?” tanya Syifa yang sejak tadi duduk dekat Jihan.
“Tadinya gue udah niat tuh kabur loncat dari balkon, tapi dipikir-pikir gue takut emak gue kena serangan jantung lagi, bisa berabeh nantinya, yang ada nanti malah bendera kuning berkibar di depan rumah ... duh amit-amit jabang bayi,” jawab Jihan dengan bahunya yang melorot.
“Iya juga ya, nasib lo jadi malang begini. Mane baru lulus sekolah, tapi lo jadi lanjut kuliahkan?”
“Wah harus itu, sudah perjanjian di atas kain putih dan kain merah sama calon mertua, kalau Jihan harus tetap lanjut kuliah, gak pakai alasan apa pun. Kalau enggak Jihan tolak lagi jadi istrinya tuh dokter galak,” jawab Jihan agak menggebu-ngebu.
Pasrah menerima lamaran dari orang tua Fathi untuk putranya, bukan berarti memasrah keseluruhan hidupnya pada pria itu. Jihan bisa membaca maksud dari ucapan iya dari mulut Fathi, dan pasti ada maksud-maksud tertentu selain menjadikan dia sebagai ibu sambung untuk keponakannya sendiri. Kalau urusan cinta di antara mereka itu amatlah sangat jauh, kalau sejak dulu salah satu ada yang sudah suka berarti sejak dulu sudah main hati dong.
Dua jam kemudian ...
“Saya nikahkan engkau dan kawinkan engkau dengan putri saya Jihan Aisha dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dan uang sebesar 50 juta dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Aisha binti Iqbal Pramono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dengan sekali tarikan napas Fathi mengucapkan ijab kabul.
“Bagaimana SAH?” tanya penghulu kepada semua yang hadir.
“SAH!”
“SAH!”
Jihan yang masih berada di kamarnya yang ada di lantai atas mendengar jelas kata SAH tersebut, berkaca-kacalah netra Jihan statusnya dalam sekejap berubah menjadi seorang istri dokter bukan single lagi. Gadis itu pun menyunggingkan senyum getirnya, bukan senyuman kebahagiaan.
Syifa menangkup tangan Jihan, mau mengucapkan selamat menempuh hidup baru pada sahabatnya rasanya tidak enak, karena tahu sahabatnya sangat terpaksa menerima pernikahan dadakan tersebut. “Ji, apa pun yang nanti terjadi dalam pernikahan lo, ingat ada gue tempat lo curhat,” ucap Syifa.
Jihan hanya mengangguk saja, dan bersamaan itu Ibu Kaila dan Mama Erina datang ke kamarnya untuk menjemput dirinya. Mama Erina tersenyum pada istri barunya Fathi. “Masya Allah cantik sekali istrinya Fathi,” puji Mama Erina begitu senang melihatnya.
“Makasih Mah,” jawab Jihan datar, lalu bangkit dari duduknya karena akan digiring menemui suaminya. Dengan tubuhnya dibalut kebaya berwarna putih gading kombinasi kain jarik sebagai bawahannya, lalu tatanan sanggul modern dihiasi juntaian bunga melati, terkesan sederhana tapi justru wajah Jihan semakin cantik, harapan Jihan untuk tidak terlihat cantik justru membuat orang tercenung melihatnya.
Namun, etts tunggu dulu jangan harap Fathi terpesona melihat kedatangan istri barunya, melirik saja pun tidak, menyambutnya dengan senyumannya juga tidak. Tapi no problemlah buat Jihan, gak mau ambil pusing.
Acara selanjutnya setibanya Jihan datang, gadis itu duduk bersama-sama dengan Fathi, Pak Penghulu meminta mereka berdua menandatangani kelengkapan surat-surat untuk mendapatkan buku nikah. Setelah itu mereka berdua menyelesaikan acara berikutnya, Fathi dan Jihan sama-sama terpaksa menerbitkan senyuman penuh kepalsuan kepada tamu yang turut menyaksikan hingga acara akad nikah selesai.
Sekitar jam 3 siang menjelang sore, akhirnya Jihan bernapas lega, acara sederhana tersebut sudah selesai dan ingin rasanya dia merebahkan dirinya di atas ranjangnya.
“Sore ini juga kita pulang ke rumah,” ucap Fathi agak memiringkan tubuhnya saat duduk dekat Jihan di tempat yang menjadi saksi mereka menikah.
“HAH! Pulang! Sekarang! Gak salah dengar!” celetuk Jihan, nalarnya lagi gak kepikiran ke sana. Masa iya baru nikah langsung dibawa pulang.
“Gak usah banyak cincong! Patuhi perintahku!” tegas Fathi
Bibir Jihan agak mencebik, “Kok bisa ya Kak Embun jatuh cinta ama nih Dokter, jangan-jangan waktu itu Kak Embun dipelet sama nih Dokter,” gerutu Jihan, bicaranya sih pelan tapi tetap saja terdengar di telinga suaminya, sampai-sampai netra Fathi melotot pada Jihan.
“Issh,” desis Jihan, tergidiklah kedua bahunya, lalu dia beringsut dari duduknya dan Ezra yang saat ini digendong oleh baby sitternya langsung merentangkan kedua tangannya seakan minta diambil oleh jihan.
Kain jarik yang dikenakan oleh Jihan agak dia naikkan ke atas sampai kedua betisnya mulusnya terlihat, maklumlah dia bukan putri Solo yang bisa melangkahkan kakinya dengan anggun, dengan cara seperti itu dia bisa melangkah dengan lebar dan tak perlu belaga kemayu. Fathi yang melihatnya hanya bisa menarik napas kecewa.
“Ulu ... ulu anak Tante minta gendong ya,” sambut Jihan langsung ambil alih Ezra dan membawanya ke kamarnya di atas.
...----------------...
Rumah Fathi
Penuh drama sekali sore ini, kedua orang tua Jihan dan Fathi lumayan terkejut melihat Fathi langsung mengajak Jihan dan Ezra pulang ke rumah, dengan begitu banyak alasan dari Fathi yang akhirnya membuat kedua orang tua mereka menyetujuinya.
Ya, pulang ke rumah Fathi dan Embun. Rumah mewah yang cukup luas di salah satu komplek perumahan elit di tengah kota Jakarta. Jihan dulu juga sering menginap di sana ketika Embun masih hidup, jadi sudah tidak terlalu wah.
Potret kebahagiaan Fathi bersama Embun masih terpampang nyata di setiap sudut ruangan, Jihan hanya bisa tersenyum hambar. Dua Asisten rumah tangga Fathi langsung menyambut kedatangan mereka, Ezra yang masih digendong oleh Jihan tampak terlelap, diberikannya pada baby sitternya untuk dipindahkan ke kamarnya yang ada di sebelah kamar Fathi dan Embun.
“Kamar kamu di bawah, sudah tahu, kan?” tanya Fathi sebelum dia naik ke lantai dua.
“Oke udah tahu kok,” jawab Jihan datar, hatinya sangat lega ternyata dia akan tidur di kamar yang biasa dia tempati ketika menginap di sini. Gadis itu juga gak akan mau sekamar dengan suami bekas kakaknya.
“Rapikan barangmu, setelah itu temui aku di ruang kerja!” perintah Fathi, cara bicaranya seakan Jihan anak buahnya.
Jihan melirik koper kecil yang dia bawa dari rumahnya, tidak banyak baju yang dia bawa, pikirnya juga nanti sesekali dia akan menginap di rumah orang tuanya.
Bersambung ... ✍🏻