"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Damar
Damar tampak melamun di salah satu kursi taman kampus. Dia terus memikirkan Liana. Gadis yang dia cintai secara diam-diam sukses membuatnya stres, sejak tinggal bersama kakek Sudibyo. Bahkan setelah kabar pernikahan Liana, Damar seolah menjadi patung hidup.
Nunik mendekati pemuda itu sambil geleng kepala. Dia merasa kasihan melihat temannya itu.
"Mar..., masih mikirin Liana?" tanya Nunik sambil menyerahkan segelas kopi yang biasa Damar minum.
"Menurutmu apa Liana bahagia dengan pernikahannya?" tanya Damar dengan tatapan kosong.
"Kita do'akan saja yang terbaik, Mar..." ujar Nunik, lalu duduk di samping Damar.
"Apa dia menghubungimu?" tanya Damar lagi.
"Iya, kemarin sore kami teleponan. Dan dia bilang kami akan segera bertemu. Dia bawa oleh-oleh buat kita dari Labuan Bajo." ucap Nunik yang sangat kegirangan.
Damar tersenyum miring setelah mendengar ucapan dari Nunik.
"Katanya tidak saling cinta. Tapi nyatanya mereka benar-benar pergi bulan madu." batin Damar.
Ada rasa sesak di dada Damar. Terakhir mereka ngobrol panjang sebelum Liana menikah dengan Haris. Setelahnya mereka hanya bertukar kabar sesempatnya.
"Damar..., aku tahu kamu menyukai Liana. Tapi kamu juga harus tahu, sekarang dia sudah jadi istri orang. Berhentilah terlalu memikirkannya." tutur Nunik saat melihat Damar melamun sembari memainkan sedotan kopinya.
"Kamu tidak akan mengerti." sahut Damar pelan.
"Aku mencintai Liana melebihi diriku sendiri." Damar kembali bersuara dalam hati.
"Ya, aku memang tidak pernah mengerti." jawab Nunik sekenanya.
Nunik mengalihkan pandangannya ke sekitar taman.
"Damar..., bukankah itu Rosa?" ujar Nunik kemudian, sambil menunjuk segerombolan murid berseragam putih abu-abu.
"Em. Dia peserta olimpiade." jawab Damar.
"Ya ampun..., setahu itu dirimu, Mar...!!" goda Nunik.
"Dia yang memberitahuku." balasnya dengan malas.
"Kak Damar...!!!" Rosa tampak melambaikan tangan sambil berlari kecil mendekati Damar.
"Hai, kak Nunik..." sapa Rosa setelah mendekat.
Rosa duduk di samping Damar juga, jadilah Damar diapit oleh dua gadis saat ini.
"Kalian sedang apa?" tanya Rosa.
"Sedang ngomongin kakak kamu." jawab Damar dengan sengaja, agar Rosa tahu kalau hanya ada Liana di hatinya.
Tapi namanya juga Rosa, anak dari bu Ratih. Tentu saja sifatnya tak jauh beda. Dia tidak akan mundur sampai benar-benar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Ngapain coba mikirin dia. Dia saja sudah melupakan kita, mentang-mentang sudah kaya." kata Rosa.
"Kita...?!!" sahut Nunik. "Kamu saja kali..., orang aku dan Damar masih sering komunikasi..." katanya.
Rosa tampak memanyunkan bibirnya.
"Aku nggak peduli." kata Rosa lagi.
"Kak Damar tadi kenapa nggak hadir di aula. Padahal aku menunggu, lho. Aku masuk 10 besar tahu, kak...!!" celoteh Rosa yang hanya kedengaran di telinga Damar, tapi Damar tak ada niatan merespon.
"Kak Damaaar...!!" Rosa menyenggol bahu Damar. "Kakak, iiih...!!!" rengek Rosa.
"Aku duluan!!!" bukannya membalas Rosa, dia malah beranjak dari tempat itu dan mengabaikan Rosa.
"Kak Damar...!!!" seru Rosa.
Nunik hanya menahan tawanya.
"Apa senyum-senyum...?!!" bentak Rosa.
"Lagi ibadah juga..." sahut Nunik.
"Ibadah..., ibadah...!!" Rosa pun pergi dengan hentakan kaki yang cukup keras, mengungkapkan rasa kesalnya.
"Cinta..., cinta...!!" gumam Nunik.
___
Sementara di rumah kakek Sudibyo...
"Jadi menemui teman-temanmu?" tanya Haris.
"Harusnya iya, sore ini." jawab Liana sambil mengerjakan tugas dari dosennya.
"Sudah memberi kabar pada mereka?" tanya Haris lagi.
"Em. Sudah, mas." balas Liana. Kemudian Liana menoleh pada Haris.
"Mas..., aku boleh berangkat lebih awal? Aku kok rindu ayah dan bunda, ya..." ujar Liana.
Hati Haris tiba-tiba bergetar, saat Liana menyebut mendiang kedua orang tuanya. Yang berarti mertuanya juga.
"Mau berangkat sekarang? Aku antar." kata Haris.
"Serius...?!!"
Tak dapat dipungkiri, Liana sangat bahagia karena dia mendapatkan izin dari suaminya itu. Apalagi Haris juga berkeinginan mengantarnya.
"Mau kemana?" tanya kakek saat melihat mereka keluar.
"Haris dan Lian mau ke makam ayah dan bunda, kek." jawab Haris.
Liana menatap Haris penuh haru. Dia tidak menyangka, Haris tak hanya bersedia menjadi temannya, tapi dia juga memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan ayah dan bunda.
"Ya sudah, kalian hati-hati ya..." begitu pesan kakek.
"Iya, kek..." jawab keduanya.
Kakek melihat cucu-cucunya hingga mobil mereka tak tampak lagi. Kemudian menghembuskan nafas gusar.
"Apa Liana menceritakan sesuatu padamu?" kakek menatap Anisa yang sedang mengupas jeruk untuk kakek.
"Tidak, tuan." jawabnya.
"Menurutmu, hubungan mereka benar-benar sebaik itu? Atau mereka hanya berpura-pura?" tanya kakek lagi.
"Saya rasa memang mereka sudah akur, tuan. Layaknya sepasang kekasih." ujar Anisa.
"Benarkah?" sahut kakek Sudibyo yang masih diliputi keraguan.
___
Liana terdiam cukup lama di depan makan kedua orang tuanya yang memang berdampingan. Selain mendo'akan, dia juga mengutarakan segala isi hatinya. Yang tentunya hanya dalam batinnya, karena Haris ada di sampingnya.
"Semoga semua selalu berjalan baik ayah, bunda..." begitulah akhir dari curahan hatinya.
Liana kemudian bangkit dari duduknya. Dia merasa tak enak dengan Haris karena menunggu terlalu lama.
"Sudah?" tanya Haris.
"Sudah, mas." balas Liana sambil mengangguk.
Keduanya beriringan keluar dari lokasi pemakaman. Tak ada percakapan apapun di antaranya keduanya. Sampai mereka kembali memasuki mobil.
"Terimakasih, mas Haris sudah bersedia menemaniku." ujar Liana.
"Em." Haris hanya membalas dengan deheman.
Setelah dari pemakaman, mereka menuju ke sebuah kos-kosan tempat Nunik tinggal. Di sana sudah ada Damar juga. Damar mendapatkan kabar dari Nunik, kalau Liana akan datang ke kosannya. Namun siapa sangka, kalau Liana datang bersama sang suami.
"Mas, ini Nunik. Dan ini Damar. Mereka teman-teman baikku." ujar Liana memperkenalkan temannya.
Mereka bersalaman seperti biasa. Tapi Haris menangkap sesuatu yang berbeda dari tatapan mata Damar.
Tak lama setelah mereka berkenalan, handphone Haris berbunyi. Haris pun izin untuk mengangkat telepon.
"Ya ampun..., ternyata suamimu lebih ganteng dari yang di foto..." gumam Nunik yang terkagum-kagum dengan ketampanan Haris.
"Sudah, jangan bahas itu." balas Liana sambil melirik Haris yang semakin menjauh.
"Penting banget, sampai terima telepon saja sejauh itu..." cibir Damar.
"Biarin kenapa...!" sahut Nunik. "Kalau itu telepon rahasia, sebaiknya memang tidak ada yang boleh dengar." katanya lagi.
"Sudah..., sudah...!" Liana kemudian menaruh sebuah tas belanja di atas meja. "Aku bawa oleh-oleh buat kalian." katanya.
"Aaah..., baiknya teman akyuuu...!!!" Nunik memeluk Liana.
"Nggak usah lebay...!!" balas Liana sambil melepaskan pelukan Nunik.
"Eh..., sampai lupa. Aku ambilkan minum dulu, ya." Nunik pun pergi untuk mengambil minuman.
"Bagaimana kabar kamu?" tanya Damar.
Damar menatap wajah gadis yang sangat dia rindukan itu. Cukup lama mereka tidak bertemu, dan Damar merasa kalau Liana semakin cantik saja. Membuat Damar semakin menyukainya.
"Alhamdulillah, baik. Kamu gimana?" tanya Liana balik.
"Ya beginilah..." balas Damar. "Apa mereka bersikap baik padamu?" tanya Damar lagi.
"Iya, mereka baik-baik." jawab Liana.
"Suamimu?" tanya Damar lagi.
"Mas Haris juga baik." jawab Liana lagi.
Sesungguhnya Damar tak yakin dengan semua jawaban Liana. Hanya saja dia tidak ingin bertanya lebih jauh lagi.
"Kalau butuh sesuatu, jangan segan menghubungiku ya. Aku akan selalu ada untukmu, Na. Tidak akan berubah. Damar masih sama seperti yang dulu. Yang selalu peduli sama kamu." tutur Damar bersungguh-sungguh.
"Terimakasih, Mar. Kamu memang teman yang baik." balas Kirana.
"Kapan mulai kuliah, Na...?" tanya Nunik yang sudah kembali dengan membawa empat botol minuman siap saji.
"Mungkin setelah dari Singapura." jawab Liana.
"Kamu mau ke Singapura...?!!!" seru Nunik. "Ya ampun...! Enaknya kamu jalan-jalan terus ya..., kan aku jadinya pengen...!!"
"Norak..." gumam Damar.
"Biarin!" sahut Nunik.
"Bukan jalan-jalan, mas Haris ada urusan pekerjaan di sana. Dia minta aku menemaninya." jawab Liana.
"Tahu deh..., yang sudah jadi istri pengusaha..." goda Nunik.
"Lebay sekali, kerja minta ditemani segala...!!" umpat Damar.
Damar menatap Haris yang sedang menuju ke arah mereka dengan tatapan tak bersahabat. Haris pun menyadari kalau Damar tidak menyukainya. Tapi Haris memilih untuk diam. Dia juga tidak mau pusing dengan teman-teman Liana, ataupun orang-orang terdekatnya.
"Mas Haris, silahkan diminum." ujar Nunik.
"Terimakasih." balas Haris.
Haris hanya melihat minuman itu sekilas. Kemudian beralih pada Liana.
"Masih lama tidak? Aku ada yang harus dikerjakan. Atau kamu mau di sini dulu, nanti aku jemput." ujar Haris.
"Aku pulang sama mas saja." balas Liana.
Setelah itu Liana dan Haris pamit pada Nunik dan Damar.
"Matanya biasa saja, Mar...!!" cibir Nunik.
"Aku balik juga ya, Nik. Bye...!!" Damar meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja.
"Eh, oleh-olehnya...!!" seru Nunik.
"Ambil saja...!" balas Damar.
Damar pun bergegas meninggalkan kosan Nunik. Sementara Nunik sedang senyum-senyum sendiri karena kegirangan dapat oleh-oleh dobel.
"Rejeki anak shalihah...!!" Nunik kemudian mengangkut semuanya ke dalam kamar kosnya.
......................