Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - Pantas Dihajar
"Jawab!!"
"Hanya Nadin, Dad," jawab Zain tanpa keraguan, sebagaimana kenyataannya memang benar hanya Nadin. "Aku tidak pernah melakukannya sebelum itu, sumpah!!"
"Diam!!"
Dada Syakil naik turun, tidak pernah Syakil semarah ini pada putranya. Bertahun-tahun Zain hidup, dia tidak pernah melakukan kesalahan fatal, putranya lurus-lurus saja sebagaimana dirinya sewaktu muda.
Namun, begitu melihat rekaman CCTV terkait kejadian malam itu, dia merasa kehilangan sosok putranya. Putranya bukan pemabuk, Syakil tahu hal itu, tapi yang Syakil lihat justru berbeda.
Kecewa sudah pasti, Zain dapat menangkap hal itu dari mata tajam sang papa. Walau memang percuma, Zain tetap melontarkaan kata maaf sebelum menjelaskan lebih lanjut. "Maafkan aku, Dad."
"Maaf katamu? Maaf?!!" Alih-alih luluh, nyatanya Syakil semakin emosi begitu mendengar permintaan maaf Zain. "Kau kira dengan kata maaf semua akan baik-baik saja?! Hah?!!"
Tak hanya sekadar bicara, Syakil kembali menghajar putranya. Tanpa ampun dan dirinya memang benar-benar marah. Bagaimana tidak? Sejak remaja Syakil mendidiknya untuk memuliakan wanita.
Pergaulan Zain begitu diperhatikan, Syakil sangat takut ketika dewasa Zain merusak anak gadis orang. Bahkan, terhadap Jessica juga Syakil tetap ambil peran, dia selalu mengingatkan Zain untuk membatasi diri terhadap wanita yang belum sah sebagai miliknya.
Jelas saja begitu melihat seberapa brutal Zain merenggut kehormatan Nadin dia marah. Syakil memposisikan diri sebagai keluarga dari Nadin, alangkah dalam luka hatinya andai putri atau orang yang dia sayangi mengalami hal sama.
Sejak muda Syakil tidak berubah, dia paling benci dengan pria yang tidak menjaga kehormatan wanita. Dalam keadaan mata yang mengembun, emosi Syakil masih tak terkendali hingga dia tidak sadar jika Zain sudah sengsara akibat serangannya.
"Dad please ... buk_"
Sedikit saja dia tidak memberikan kesempatan untuk Zain bicara, Syakil terus membabi-buta dan meluapkan amarahnya. Tidak hanya sekadar pukulan, tapi juga menendang hingga Zain hanya mampu meringis di sana.
Dia terima semua itu, andai saja Nadin masih memiliki ayah, mungkin yang dia terima lebih dari ini. Pukulan demi pukulan Zain terima, dia tidak melawan dan menunggu kapan Daddy-nya puas saja.
Zain yang meringis kesakitan tidak membuat hati Syakil terketuk untuk berhenti. Padahal, Zain sudah memejamkan mata demi menahan sakitnya. "Badjingan sepertimu perlu dihajar ... terlalu mulus jalan hidupmu jika tid_"
"Daddy stop!!"
Bersamaan dengan itu, pintu yang tadi sudah dikunci rapat-rapat kini terbuka bersamaan dengan Zeshan yang turut masuk dengan langkah terburu-buru.
"Kenapa harus dihajar, Dad? Zain bisa mati," lirih Zeshan menatap sendu saudaranya yang sudah terkapar dengan darrah di hidung dan sudut bibirnya.
Itu juga karena baru, jika besok pagi besar kemungkinan memarnya semakin terlihat. Napas Zain terlihat sulit, dia kesakitan seraya menahan perutnya yang tadi sempat Syakil tendang.
Baru setelah itu Syakil sadar jika tindakannya sudah terlalu jauh. Sungguh, dia terbawa emosi dan perlakuan Zain pada Nadin terlalu sulit Syakil terima, hatinya terluka walau gadis itu tidak ada hubungan darah dengannya.
"Dia pantas mendapatkannya ...." Syakil menatap Zain tanpa iba, jika tidak dihentikan mungkin pria itu benar-benar akan berakhir di rumah sakit setelahnya.
Zeshan tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Dia juga baru pulang dan tidak sengaja mendengar keributan di ruang kerja papanya, alasan pulang malam ini juga karena Mommy Amara mengabarkan jika Zain punya kejutan.
Sama sekali tidak dia duga jika kejutannya adalah kekacauan semacam ini. Zeshan belum berani bertanya banyak hal, melihat raut wajah Daddy-nya saja menggambarkan seberapa besar amarahnya. "Dan kau ... jangan coba-coba melakukan kesalahan yang sama jika tidak ingin Daddy hajar seperti Zain, paham?!"
.
.
Zain yang membuat masalah, tapi Zeshan juga turut kena getahnya. Sudah lama mereka tidak berada di posisi ini, terakhir mungkin sewaktu SMP, tepat kala Zain bertengkar dan membuat temannya pingsan hingga dikeluarkan dari pihak sekolah, tentu Zeshan juga menjadi pelampiasan amarah Daddy-nya.
"Apa lagi yang kau lakukan? Kenapa Daddy semarah itu?"
Sejak tadi mereka masih sama-sama diam, barulah ketika Syakil pergi Zeshan berani bertanya. "Mabukkah?" tanya Zeshan lagi, demi apapun dia penasaran.
Zain tak segera menjawab, dia mengusap sudut bibir yang berdarah seraya memaksakan untuk berdiri walau lemas sebenarnya. "Kau pulang?"
"Ck, jawab dulu pertanyaanku ... kenapa Daddy semarah itu?"
"Bukan urusanmu," balas Zain datar, dia sedang tidak ingin bercerita saat ini, tepatnya malas.
"Katakan saja apa, aku tidak mau dihajar Daddy sepertimu juga, Zain."
Agaknya Zeshan benar-benar penasaran sampai sesabar itu menunggu jawaban. Dia menunggu jawaban penuh kesabaran, sementara Zain sedikit malas-malasan. "Aku ...."
"Hem? Kenapa kau?"
"Aku menodai mahasiswiku," jawab Zain jujur, mata keduanya sempat terkunci beberapa saat dengan mulut Zeshan yang kini menganga.
"Lalu?"
"Lalu ... aku menikahinya sebagai bentuk pertanggung jawaban." Tanpa ditutup-tutupi, Zain menjelaskan apa yang terjadi secara singkat.
Zeshan mengangguk pelan, dia menatap Zain tak terbaca. Agaknya masih berusaha memahami apa yang tengah terjadi saat ini. "Aku sudah melakukan hal yang benar, 'kan, Shan?"
"Hm, benar ... benar-benar pantas dihajar!!"
Bugh
"Eeeeuuggh," desis Zain kembali membungkuk lantaran Zeshan turut mendaratkan pukulan tepat di perutnya. "Saaaakit, Settan!!!"
Dia berteriak, ingin membalas, tapi Zeshan sudah menghilang dengan jurus seribu bayangan. Memang salah besar dia mengira jika Zeshan akan ada di posisinya, ternyata sama gilanya bahkan lebih parah.
"Awas saja kau!!"
Jangankan membantu Zain ke kamar, saudaranya juga turut menambah penderitaan. Dalam keadaan lelah dan tubuhnya seolah remuk semua, Zain berlalu keluar dengan langkah pelan.
Daddy-nya tidak main-main, lutut Zain bahkan terasa lemas hingga dia hampir kehilangan keseimbangan. Beruntungnya, seseorang datang dan menopang tubuh Zain dengan begitu sigapnya.
"Sayang?" Betapa terkejutnya Zain begitu sadar jika Nadin yang kini membantunya. "Sejak kapan kamu di sini?"
.
.
- To Be Continued -