meski pendiam , ternyata Clara mempunyai sejuta rahasia hidup nya, terlebih dia adalah anak dari seorang petinggi di sebuah perusahaan raksasa,
namun kejadian 18 tahun silam membuat nya menjadi seorang anak yang hidup dalam segala kekurangan,
dibalik itu semua ternyata banyak orang yang mencari Clara, namun perubahan identitas yang di lakukannya , menjadikan dia sulit untuk di temukan oleh sekelompok orang yang akan memanfaatkan nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
detektif joe
Detektif Joe duduk tegak di meja kerjanya, wajahnya terliputi oleh cahaya lampu yang berpendar samar. Berkas-berkas berserakan di sekelilingnya, di antara catatan tentang dokter yang telah menemui ajal secara brutal. Kejadian ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti meresahkan pikirannya.
Ia memegang foto autopsi dokter, menyelidiki gambar luka di bagian leher dan nadi tangan.
“Ada yang tidak beres di sini,” gumamnya, mengerutkan dahi.
Tanpa memberi indikasi akan berhenti, dia melanjutkan penyelidikan. Teleponnya berdering, mengalihkan perhatian.
"Joe," suaranya tegas saat menerima panggilan.
"Detektif, kami menemukan catatan lain," suara dari pihak berwenang di seberang sana terdengar terbata-bata, seolah enggan mengungkapkan hal menyakitkan.
“Apa itu?”
"Catatan medis pasien yang dihilangkan dari kantornya."
Kepala Joe langsung terangkat.
“Cek di ruang penyimpanan HM,” sarannya, suara lebih tinggi. “Kita butuh informasi itu. Siapa pasiennya?”
“Masih dalam penyelidikan.”
“Segera kabari kalau sudah menemukan.”
Joe menghabiskan beberapa detik hanya duduk di bangkunya, memikirkan skenario terburuk. Sebelum bisa berpikir jauh, dia teringat akan percakapan terakhirnya dengan Clara. Perasaannya terhadap gadis itu semakin mendalam, dan semakin lama, area hitam dari masa lalu semakin menantangnya.
***
Clara berusaha menenangkan diri setelah mendengar kabar buruk itu. Ria yang bersamanya duduk di bangku taman, mencoba mengalihkan perhatian Clara dari kesedihan.
“Kamu harus melanjutkan, Clara.” Ria mengusap punggung sahabatnya. “Kita tidak bisa terjebak dalam ini lagi.”
“Tapi dia berusaha membantuku,” Clara menjawab, mata berkaca-kaca. “Dia tahu tentang gelang itu.”
“Tidak ada yang tahu siapa yang membunuhnya. Bagaimana kalau kita terjebak dalam masalah lebih besar?” Ria berusaha mengingatkan.
“Tapi aku… aku merasa ada yang berhubungan. Aku tidak bisa menghentikannya.” Clara menatap ke kejauhan, berfokus pada lalu lintas yang riuh.
“Jadi, kamu akan membiarkan semua ini merusak hidupmu?”
Clara menggigit bibirnya, terdiam. Gairahnya untuk mencari tahu menjadi lebih besar dari rasa takut yang menyergapnya.
“Tunggu, ada yang datang.” Ria mendongak, menatap seseorang yang mendekat.
Laki-laki itu mengangkat tangan.
“Hey, Ria, Clara.” Peter berdiri di hadapan mereka, tersenyum, tetapi jelas terlihat sinar kecemasan di matanya. “Kamu baik-baik saja, Clara?”
“Iya, hanya… banyak yang terjadi,” jawab Clara singkat, mengelabui kegundahan yang sebenarnya.
Peter mengangguk, pandangan tajamnya berpindah dari Clara ke Ria. “Aku baru dari kantor detektif. Tentang dokter itu.”
“Jadi?” pinta Ria, sedikit tegang.
“Dia dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Luarnya terlihat seperti perampokan, tetapi ada lebih banyak lagi.” Suara Peter rendah, menahan kata-kata yang menyakitkan.
“Lebih banyak? Apa yang kamu maksud?” tanya Clara, emosinya terguncang.
“Lukanya menunjukkan bahwa pembunuhnya sangat berpengalaman. Ini bukan kesalahan biasa.”
“Artinya ada orang lain yang terlibat.” Ria mengalihkan perhatian. “Apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa kita berhubungan?”
“Masih dalam penyelidikan,” jawab Peter. “Detektif Joe bekerja keras meneliti kasus ini.”
Clara merasakan jantungnya berdebar kencang. Ulasan tentang dokter itu semakin memperdalam harapannya.
“Ketika kita mengunjungi kantor Detektif, aku rasa kita harus menanyakan lebih banyak tentang pasien-pasiennya,” jelasnya, matanya berkilau. “Mungkin kita bisa menemukan jejak yang lebih jelas.”
“Jangan terjebak dalam ini, Clara. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi,” suara Ria agak mendesak.
“Aku tahu, Ria. Tapi jika kita berdiam diri, kita tidak akan pernah tahu kebenarannya,” Clara menekankan, penuh ketegasan.
Peter mengamati Clara, keinginannya untuk melindunginya membara.
“Aku akan membantumu,” ucapnya, mantap. “Kita perlu mencarinya dengan hati-hati. Mengecek semua orang yang berhubungan dengan dokter itu.”
“Kenapa kamu mau membantu?” tanyanya, bingung.
“Karena,” Peter menatap dalam-dalam ke arah mata Clara, “aku peduli padamu.”
Clara mendecak, merasakan keraguan di hatinya beradu dengan rasa nyaman yang tumbuh.
“Baiklah, kita akan menyelidik ini, tapi kita harus hati-hati.” Akhirnya, Clara setuju, rasa percaya diri kembali tersinergi.
“Setelah selesai di sini, mari kita ke kantor Detektif Joe,” Ria mengusulkan, bersemangat.
“Mari kita lakukan!” Peter, sembari tersenyum, terlihat optimis meski bayang-bayang misteri membuntuti mereka.
Joe masih menggali informasi lebih dalam tentang catatan medis saat Clara dan Ria masuk ke kantornya. Dia menatap mereka.
“Woah, kalian tampak serius,” ucap Joe, dahi berkerut.
“Joe, kami butuh jawaban. Tentang dokter,” Clara langsung mengambil inisiatif.
“Oh, ada banyak yang tidak biasa mengenai itu,” jawab Joe, menggeleng. “Kali ini bukan perampokan biasa.”
“Di mana catatan medis pasien?” tanya Clara, templokan kebingungan menumpuk di tambah ketertarikan.
“Belum bisa didapat. Semua bukti diambil oleh seseorang yang berwenang.” Joe terlihat gelisah.
“Siapa?” tanya Ria, matanya menyala akan rasa ingin tahu.
“Masih bisa memasukkanmu sebagai saksi jika kamu tidak menjaga jarak.” Suara Joe mantap, menekankan pentingnya situasi saat ini.
“Setidaknya kami tidak tahu tentang informasi lebih lanjut,” Clara mencengkeram tangan Ria. “Kami bisa membantu.”
“Perlu kalian tahu risiko yang kalian ambil.” Joe memperingatkan, keningnya berkerut.
“Risiko. Sebuah kado untuk masa depan,” sahut Clara, tersenyum getir. “Kami tidak takut.”
Joe mengerutkan bibirnya, mengingatkan mereka akan bahaya. “Baiklah, jika kalian mau menyelidiki lebih jauh, tetap berhubungan denganku.”
“Bisa kami dapatkan detil tentang pasien yang hilang tersebut?” tanya Ria ingin tahu.
“Belum saatnya. Informasi yang kami miliki sangat sedikit,” Joe merespons dengan nada datar.
Clara merasa putus asa, tetapi semangat untuk menyelidiki meningkat. Setiap detik yang berlalu memberikan pendorong baru, membuatnya merasa lebih dekat untuk menemukan kebenaran.
“Berikan kami petunjuk untuk menyelidiki lebih lanjut,” pinta Clara, intens.
Detektif Joe terdiam, menimbang setiap kata. “Kalau begitu, periksa informasi di luar. Jangan asal, kita tidak punya banyak waktu.”
Clara dan Ria saling pandang, saling menguatkan semangat.
“Terima kasih, Joe. Kita akan berusaha sebaik mungkin,” ucap Ria merendah.
“Mewakili ikatan ini, aku berjanji akan tetap melindungi kalian,” Joe berjanji.
Keduanya pun melangkah keluar, dengan pikiran yang penuh akan misteri baru tetapi dengan harapan baru untuk diselidiki.
Saat petang menjelang, mereka siap menuju petualangan yang lebih berbahaya dari sebelumnya, tanpa kesadaran bahwa langkah mereka diikuti oleh bayang-bayang gelap masa lalu.
Sinar mentari mulai surut, menyisakan warna oranye kemerahan di langit. Clara dan Ria melangkah cepat menuju lokasi yang dimaksud Detektif Joe. Mereka tahu, setiap detik yang berlalu adalah langkah lebih dekat pada kebenaran—atau, sebaliknya, pada bahaya yang mengintai.
“Di mana kita mulai?” tanya Ria, mengamati sekeliling dengan cermat. Pajangan toko-toko kecil di sepanjang jalan seakan menyaksikan langkah penuh ketegangan mereka.
“Mulai dari mana dokter itu biasa berkumpul dengan pasiennya,” jawab Clara, yakin. “Ada kabin medis di dekat rumah sakit lama. Mungkin kita bisa mencari catatan di sana.”
Ria mengangguk, meskipun raut wajahnya memperlihatkan keraguan. “Kalau ada orang di sana, bagaimana? Kita tidak bisa berurusan dengan masalah lebih besar.”
“Aku tahu, tapi kita harus mengambil risiko untuk mendapatkan jawaban,” Clara bersikeras, mengatur napasnya. “Dokter itu sudah menunjukkan keinginan untuk membantu kita, sekarang gilirannya kita.”
Ketika mereka tiba di depan rumah sakit lama, gedung itu berdiri megah meskipun sudah banyak terlupakan. Cat tembok yang mengelupas menunjukkan bahwa waktu telah banyak mengambil alih. Clara menghirup dalam-dalam, berusaha menepis rasa takutnya.
“Clara, ingat—hati-hati.” Ria menaruh tangan di bahu Clara, memberi dorongan semangat.
“Ya, kita masuk,” Clara membalas. Dia menyeret napas dan mendorong pintu kayu tua yang bergetar saat terbuka. Suara berderak dinding yang berusia puluhan tahun menggema di dalam.
Ruangan itu gelap dan berdebu. Barang-barang berceceran di sana-sini, seolah kisah masa lalu terjebak dalam setiap sudut. Mereka mulai mencari, menjelajahi lemari, dokumen, dan segala yang bisa ditemukan.
“Lihat ini,” seru Ria, menarik keluar sebuah kotak tua dari rak yang tinggi. “Apa ini?”
Clara mendekat, memeriksa kotak itu. “Ini mungkin catatan,” ucapnya dengan penuh harap.
Ria membuka kotak tersebut, dan aroma lama menyergap mereka. Di dalamnya, banyak dokumen dan foto. Clara mengamati satu foto dengan saksama.