Untuk mengisi waktu senggang diawal kuliah, Om Raka menawari Alfath untuk menjadi tutor anak salah satu temannya. Tanpa fikir panjang, Alfath langsung mengiyakan. Dia fikir anak yang akan dia ajar adalah anak kecil, tapi dugaannya salah. Yang menjadi muridnya, adalah siswi kelas 3 SMA.
Namanya Kimmy, gadis kelas 3 SMA yang lumayan badung. Selain malas belajar, dia juga bar-bar. Sudah berkali-kali ganti guru les karena tak kuat dengannya. Apakah hal yang sama juga akan terjadi pada Alfath?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Alfath memperhatikan hujan yang bukannya makin reda, tapi malah makin deras. Kalau seperti ini, kapan dia akan pulang.
"Hujannya kok tambah deres sih, kapan sampai sampai rumahnya kalau kayak gini," gerutu Alfath.
"Aku malah seneng. Semoga aja hujannya gak berhenti sampai besok," Kimmy menatap nanar butiran air hujan yang turun. Biasanya kalau hujan seperti ini, dia ingin bergelung di dalam selimut di atas ranjangnya yang empuk, tapi tidak dengan kali ini. Semalas itu dia pulang ke rumah.
"Ngomong apaan sih?" Alfath menoleh ke arah Kimmy sambil berdecak pelan. "Kata-kata itu doa, kalau beneran gak reda sampai besok, kamu pasti nyesel."
Kimmy menggeleng, "Malah seneng. Aku gak pengen pulang."
Alfath garuk-garuk kepala. Sumpah, heran dengan isi otak gadis di depannya itu.
"Aku gak mau masuk pesantren," Kimmy tiba-tiba menangis. "Aku, aku gak mau." Bahunya mulai berguncang naik turun karena isakan.
Alfath menghela nafas, mendekati gadis itu lalu berdiri tepat di sebelahnya. Dia bisa memahami perasaan Kimmy. Saat kita dipaksa melakukan apa yang tidak kita sukai, itu pasti sangat tidak menyenangkan. Terpaksa, kata itu sangatlah menyesakkan.
"Kamu bisa bayangin gak, Al. Aku yang biasanya tidur sendiri di kamar yang luas, tiba-tiba harus berbagi dengan banyak orang. Aku yang biasanya bisa makan apapun yang aku mau, bahkan bisa request ke Bi Nana, mendadak harus makan apapun yang mereka sediakan. Selain itu, aku juga gak bisa pakai make up, gak bisa nonton drakor, gak bisa main hp, dan yang paling utama," Kimmy makin terisak. Tangisnya yang terdengar memilukan dan wajah sendunya, membuat Alfath merasa sangat kasihan. "Aku gak bisa lagi melihat orang tuaku. Aku sayang mereka meski mereka gak sayang aku."
"Mereka sayang kamu," Alfath berusaha meyakinkan.
Kimmy menggeleng, "Kalau sayang, kenapa mereka gak pernah ada waktu buat aku. Sejak aku kecil, mereka hanya sibuk bekerja, bekerja dan bekerja."
"Itu karena mereka seorang dokter, Kim. Pekerjaan mereka sangat mulia. Jam kerja mereka kadang juga gak bisa diatur. Saat rumah sakit membutuhkan, mereka harus siap."
"Tapi mereka juga orang tua, Al. Aku juga butuh mereka. Mereka itu hanya sibuk mencarikan aku tutor agar bisa jadi dokter, tapi mereka gak pernah sibuk buat menghabiskan waktu dengan aku. Sebenarnya aku ini anaknya atau cuma produk yang harus mereka jadikan dokter sebagai penerus?"
"Astaghfirullah, Kim, gak boleh ngomong gitu."
Alfath meraba kantong celananya untuk mencari ponsel, tapi semua kosong. Dia baru ingat, kalau ponselnya ada di saku jaket.
"Ambilin ponsel aku di saku jaket. Aku harus telepon mama kamu biar dia gak khawatir."
"Gak mungkin khawatir."
"Kim.. " tekan Alfath.
Kimmy menghela nafas panjang sambil merogoh saku jaket Alfath, mengambil ponsel lalu menyerahkan pada cowok itu.
Alfath berdecak kesal saat ponselnya ternyata mati, sepertinya kehabisan daya. "Kita pulang aja," putusnya karena tak mau membuat orang tua Kimmy khawatir.
Kimmy menggeleng, "Gak mau pulang."
Alfath tak peduli dengan rengekan Kimmy, dia berjalan menuju motor untuk mengambil jas hujan yang ada di dalam jok. Di daerah ini jarang ada taksi lewat, selain itu ponselnya tak bisa nyala, jadi tak bisa memesan taksi online.
"Nih pakai," Alfath memberikan jas hujan yang hanya ada satu itu pada Kimmy.
"Terus, kamu?"
"Aku ujan-ujanan aja." Pria itu memakai helmnya, lalu membantu Kimmy memakai helm karena cewek itu masih sibuk memakai jas hujan. Setelah selesai semua, mereka langsung naik ke motor dan meninggalkan tempat itu.
Ternyata, mengendarai motor sambil menerjang hujan malam-malam begini, dinginnya sangat aduhai. Tubuh Alfath menggigil saking dinginnya. Giginya sampai bergemelatuk.
"Kamu gak kedinginan, Al?" teriak Kimmy di dekat telinga Alfath. Jaket cowok itu dia pakai, begitupun dengan jas hujannya.
"Ya kedinginanlah, bego," teriak Alfath sambil menoleh sebentar.
Alfath terkejut saat sepasang lengan tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang, siapa lagi kalau bukan Kimmy. Cewek itu merapatkan tubuh padanya sambil menyandarkan kepala.
"Jangan GR, aku cuma takut kamu hipotermia aja."
"Siapa juga yang GR," sangkal Alfath. Andai saja Kimmy tahu, saat ini jantungnya berdebar sangat cepat, secepat motornya yang menerjang hujan. Pelukan Kimmy, membuat dia merasakan sedikit kehangatan, setidaknya tak sedingin tadi.
"Al, bukannya dari sini deket ya ke rumah kamu?" teriak Kimmy di dekat telinga Alfath. Suaranya teredam suara hujan sekaligus deru motor, jadi harus teriak.
"Jauh.. rumah aku di Jakarta."
Kimmy berdecak kesal. "Ke rumah Om Raka maksudnya. Aku pernah kesana, tahu rumahnya."
"Terus, kenapa kalau deket?"
"Kita ke sana aja lebih deket. Kamu kelihatannya kedinginan banget, jangan dipaksakan. Aku takut kamu kenapa-napa."
"Cie... khawatir sama aku nih," ledek Alfath.
"Iya, khawatir banget, takut kamu mati," teriak Kimmy.
"Syet dah, tuh mulut nyakitin banget."
Kimmy terkekeh pelan sembari makin mengeratkan pelukannya. Tak pelak, fikiran Alfath makin kacau. Enggak, posisi ini gak boleh terlalu lama. Mungkin benar kata Kimmy, sebaiknya mereka pulang ke rumah Om Raka saja. Selain itu, dia juga sudah sangat gak kuat menahan dingin yang sampai ke tulang-tulang.
.