Ailen kaget setengah mati saat menyadari tengah berbaring di ranjang bersama seorang pria asing. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tubuh mereka tidak mengenakan PAKAIAN! Whaatt?? Apa yang terjadi? Bukankah semalam dia sedang berpesta bersama teman-temannya? Dan ... siapakah laki-laki ini? Kenapa mereka berdua bisa terjebak di atas ranjang yang sama? Oh God, ini petaka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 35
Mengira akan pulang ke mansion milik Derren, Ailen malah diboyong ke hotel oleh pria tersebut. Rasanya jantung seperti mau copot ketika memasuki kamar yang telah dihias ala pengantin baru. Oh, faktanya mereka memang pengantin baru. Hmmm.
"Siapa dulu yang akan membersihkan badan di kamar mandi?" tanya Derren sembari melepas jam tangan. Stelan jas putih lengkap dengan dasi kupu-kupu masih terpasang rapi di tubuhnya.
"Terserah saja," setengah malas saat Ailen menjawab. Dia memilih duduk di tepi ranjang menghadap ke jendela. Merenungi nasibnya yang kini telah resmi menjadi istri orang.
Melihat Ailen begitu tak bersemangat, Derren tampak menghela napas. Sejak dalam perjalanan menuju hotel, istrinya ini lebih banyak diam. Derren jelas tahu apa sebabnya, tapi berusaha mengabaikan. Dia tak siap mengambil resiko Ailen akan meminta cerai darinya. Jadi berpura-pura tidak menyadari apapun adalah keputusan yang paling tepat. Mungkin terkesan egois, tapi ini Derren lakukan karena takut kehilangannya.
"Jangan sedih begini. Aku jadi merasa seperti seorang penjahat yang menikahi paksa anak gadis orang," ucap Derren sembari mengusap bahu Ailen dari belakang. Setelah itu dia duduk di belakangnya. "Maaf kalau pernikahan kita terlalu mengejutkanmu. Aku melakukan ini adalah demi kebaikan kita juga. Tolong jangan marah ya?"
(Faktanya kau memang penjahat, Derren. Kau menjadikan kesalahpahaman itu sebagai senjata untuk menjeratku. Padahal kau tahu betul aku tak memiliki rasa apapun kepadamu)
"Aku sangat sedih sekarang. Setiap wanita pasti bermimpi bisa menikah dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita juga. Tetapi antara kita berdua tiadalah cinta seperti itu. Hanya sepihak, dan itu terkesan dipaksakan. Maaf jika ucapanku menyakiti hatimu. Inilah aku dengan segala unek-unek yang terpendam di dalam hati," ucap Ailen dengan suara tercekat. Dia menahan diri agar tidak menangis. Percuma, karena air mata tak bisa mengembalikan statusnya seperti semula.
"Siapa bilang diantara kita tidak ada cinta?" protes Derren. "Aku mencintaimu, sayang. Teramat sangat mencintaimu sampai aku tak keberatan orang lain menganggapku gila. Seberharga itu kau di hidupku terlepas dari apa yang pernah terjadi pada kita."
"Pernikahan ini terjadi atas dasar ancaman, Derren. Kau tidak mungkin lupa 'kan?"
"Ancaman demi kebaikan. Apa yang salah?"
Ailen mend*sah panjang saat Derren keukeuh tak mau mengakui perbuatannya. Sudahlah, percuma orang gila ini didebat. Yang ada dia bisa stres meladeni sikapnya yang begitu keras kepala.
Cup
Satu kecupan lembut mendarat di rambut Ailen. Derren lalu tersenyum saat tindakannya tak mendapat respon apapun dari istrinya itu.
"Apa napsumu sudah padam? Malam itu kau begitu panas. Aku hampir kewalahan meladeni permintaanmu yang begitu menggebu-gebu."
Blusshhh
Jangan ditanya semerah apa wajah Ailen sekarang. Meski tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi, samar-samar Ailen bisa mengenang betapa panas dia dan Derren bercinta. Membayangkan hal tersebut tanpa sadar membuat tubuh menjadi gerah. Apalagi sekarang Ailen masih mengenakan gaun pengantin, semakin membuatnya merasa kepanasan.
"Buka saja bajunya kalau membuatmu merasa tak nyaman," ucap Derren menangkap adanya gelagat aneh di diri Ailen.
"Kau ada di sini. Bagaimana mungkin aku melepas gaunku?" sahut Ailen tak sengaja melupakan sesuatu.
"Aku suamimu, sayang. Salah ya jika melihat istri melepas baju? Aku bahkan tak keberatan jika diminta untuk membantu membukanya. Jangan lupa, sebelumnya aku sudah melihat setiap jengkal kulit tubuhmu. Termasuk juga dengan semua titik sensitif yang tersembunyi. Aku sudah melihat semuanya kalau kau lupa."
Aura kecemburuan menguar kuat dari tubuh Derren setelah mendengar ucapan Ailen yang seakan tak menganggap status hubungan mereka. Menyedihkan sekali. Padahal baru beberapa jam mereka menikah, tapi wanita ini sudah melupakan hal tersebut begitu saja. Miris.
"Aku ... aku akan mandi lebih dulu. Kau berbaringlah sembari menungguku selesai," ucap Ailen kemudian buru-buru masuk ke kamar mandi. Otaknya kacau setelah tersadar masih menganggap Derren sebagai orang asing dikala status mereka adalah suami istri.
Begitu pintu kamar mandi ditutup dan dikunci dari dalam, Derren langsung merebahkan diri di atas ranjang. Dia menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan kepala, kemudian melamun sambil menatap langit-langit ruangan.
"Jangan sampai malam pertama ini gagal karena Ailen yang masih menganggapku sebagai orang lain. Ayah bisa menertawakan aku besok jika hal ini benar terjadi," gumam Derren khawatir. Tak terbayangkan setersiksa apa malam ini jika juniornya gagal mampir.
Drtt drtt
Saat Derren sedang sibuk berkelana dengan pikirannya, salah satu ponsel di atas nakas bergetar. Dia menoleh. "Manusia mana yang lancang mengirim pesan pada pengantin yang baru menikah? Cari gara-gara saja."
Pesan pertama terabaikan begitu saja. Selang semenit kemudian ponsel kembali bergetar. Derren jengkel. Malas, dia berguling-guling di atas ranjang kemudian menepi guna mengambil ponsel.
"Awas saja kalau bukan pesan penting yang dikirim. Akan ku rontokkan gigi orang yang sudah berani menggangguku!" geram Derren kemudian membuka pesan.
Begitu membacanya, tatapan Derren seketika menggelap. Tampak kedua sisi rahangnya mengerat kuat, tanda dia tengah menahan amarah membara. Mencengkram ponsel dengan kuat, Derren melihat ke arah kamar mandi.
"Ailen .... "
Sementara itu di dalam kamar mandi, Ailen yang tidak tahu-menahu soal pesan yang dibaca oleh Derren, berdiri diam mematung di depan wastafel. Dia menatap kosong pantulan dirinya yang masih mengenakan gaun pengantin lengkap dengan aksesoris yang menghias rambutnya. Cantik, tapi sayang bukan menikah dengan pria yang dicintainya.
"Dokter, apa kau bisa merasakan kesedihanku saat ini? Aku ... aku sudah menjadi milik orang lain. Aku gugur sebelum sempat memperjuangkan perasaanku. Padahal aku telah sangat lama menantikan kepulanganmu, tapi sekarang takdir berkata lain," ucap Ailen lirih. Pelan tapi pasti, cairan bening mulai menetes keluar dari sudut mata. Alien sedih. Dia terjebak oleh satu perasaan yang mana berawal dari ketidaksengajaan. "Akankah mau masih mau menerimaku yang sudah tak utuh lagi? Aku ... takut."
Sambil menangis tanpa suara, Ailen mulai melucuti gaun pengantin putih beserta pernak-perniknya. Tatapannya masih tertuju pada cermin, ingin mengenang ekspresi sedih tersebut sebelum keluar menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
"Kenapa, Tuhan. Kenapa malam itu kau tidak mencegahku agar tidak pergi ke club. Andai aku diberi peringatan lebih dulu, nasibku pasti tidak akan berakhir menyedihkan. Aku tahu Derren lebih dari kata sempurna sebagai suami ideal, tapi masalahnya aku tidak mencintai pria itu. Kami asing meski dia selalu berusaha menunjukkan perasaannya." Ailen menangkup wajah. Tubuhnya telah terekspos sepenuhnya, menyisakan bekas make-up di wajah dan tatanan hiasan rambut. "Hiksss, aku harus bagaimana sekarang? Aku tidak siap dengan pernikahan ini. Aku ingin melarikan diri, tapi bagaimana jika di rahimku ada kehidupan? Bukankah akan sangat jahat bagi bayi tak berdosa itu jika aku merenggut haknya memiliki keluarga yang utuh? Tolong aku, Tuhan. Aku tak berdaya."
***