Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Arah, Satu Jalan yang Harus Dipilih
Bab 29: Dua Arah, Satu Jalan yang Harus Dipilih
Sepulang dari Pantai Selatan, Rania merasa pikirannya penuh. Buku catatan dari Bintang menjadi teman setianya selama beberapa hari terakhir. Setiap lembar yang ia baca mengungkapkan sisi lain dari Bintang yang selama ini tak ia ketahui. Tulisannya penuh dengan refleksi, keraguan, dan harapan.
Namun, di balik semua itu, ada satu pesan yang jelas: Bintang ingin menemukan dirinya sendiri sebelum benar-benar hadir untuk orang lain.
"Gue ngerti kenapa lo pergi, Bintang," gumam Rania sambil menutup buku itu. Tapi pemahaman itu tidak serta-merta menghilangkan kebingungan di hatinya.
---
Di sisi lain, Adrian tetap hadir seperti biasanya. Ia selalu ada untuk Rania, dengan cara yang sederhana tapi berarti. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, meski kini Rania merasa ada jarak kecil yang tumbuh di antara mereka—sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu malam, saat mereka duduk di kafe favorit, Adrian memecah keheningan.
"Rania, lo kelihatan beda akhir-akhir ini. Ada yang mau lo ceritain?"
Rania terdiam, menatap kopi di depannya. "Gue ketemu Bintang lagi."
Adrian mengangguk pelan, tapi ekspresinya sulit dibaca. "Gue ngerti. Dia pasti orang yang penting buat lo."
"Iya, tapi gue nggak tahu apa yang gue rasain sekarang. Gue nggak mau nyakitin lo, Adrian."
Adrian tersenyum tipis. "Rania, gue nggak mau lo ngerasa terpaksa sama gue. Gue di sini bukan buat ngambil keputusan lo. Gue cuma pengen lo bahagia, apa pun pilihan lo."
Kata-kata Adrian menenangkan, tapi juga membuat Rania semakin bingung. Ia tahu bahwa memilih antara Bintang dan Adrian bukanlah soal siapa yang lebih baik, tapi soal siapa yang benar-benar sejalan dengan hatinya.
---
Beberapa Hari Kemudian
Rania mendapat pesan dari Bintang:
"Ada acara seni di taman kota besok malam. Datang, kalau lo punya waktu."
Tanpa banyak berpikir, Rania memutuskan untuk datang. Ia tiba di taman kota yang dihiasi dengan lampu-lampu gantung dan stan-stan seni yang menampilkan berbagai karya. Di tengah keramaian, ia menemukan Bintang sedang memainkan gitar, dikelilingi oleh beberapa orang yang mendengarkan dengan khidmat.
Saat melihat Rania, Bintang tersenyum dan melanjutkan lagunya—sebuah lagu sederhana namun penuh makna tentang perjalanan dan menemukan jalan pulang.
Setelah pertunjukan selesai, Bintang menghampiri Rania. "Lo datang."
"Gue penasaran," jawab Rania sambil tersenyum. "Gue baca buku lo. Banyak hal yang gue baru tahu tentang lo."
Bintang menghela napas. "Gue nggak pernah jujur waktu itu. Gue takut ngecewain lo."
"Lo nggak perlu takut lagi. Gue cuma pengen lo jujur, apapun itu," balas Rania dengan tegas.
Mereka berjalan-jalan di sekitar taman, berbicara tentang banyak hal. Rania merasa nyaman, seperti menemukan kembali bagian dirinya yang hilang.
---
Di tengah kebingungan itu, Tara menjadi pendengar setia. "Gue nggak bisa kasih tahu lo siapa yang harus lo pilih, Ran. Tapi gue tahu satu hal: lo harus dengerin hati lo. Jangan cuma karena rasa tanggung jawab atau takut nyakitin orang."
Rania mengangguk. "Lo bener. Gue nggak bisa terus kayak gini. Gue harus bikin keputusan."
---
Malam Itu
Rania duduk di balkon kamarnya, merenung. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya tenang. Dalam keheningan malam, ia menemukan jawabannya.
Keesokan harinya, ia mengundang Adrian dan Bintang untuk bertemu di sebuah taman kecil yang tenang.
"Gue udah mutusin sesuatu," kata Rania dengan suara tenang tapi mantap.
Adrian dan Bintang saling bertukar pandang, menunggu kata-kata Rania selanjutnya.
"Gue nggak mau milih di antara kalian. Karena, sebelum gue benar-benar tahu apa yang gue butuhin, gue harus fokus sama diri gue sendiri dulu. Gue nggak mau terjebak dalam hubungan yang setengah-setengah. Kalian berdua orang yang penting buat gue, tapi sekarang, gue harus jalan sendiri dulu."
Keduanya terdiam, tapi mereka mengerti. Adrian mengangguk dengan senyum tipis. "Gue selalu dukung lo, Ran. Apapun yang lo putuskan."
Bintang menatap Rania dengan mata penuh penghargaan. "Lo orang yang kuat, Rania. Gue bangga sama lo."
---
Hari-hari berikutnya, Rania merasa lebih ringan. Ia mulai fokus kembali pada dirinya sendiri dan mimpinya. Meski Bintang dan Adrian masih menjadi bagian dari hidupnya, kini ia berjalan di jalannya sendiri, tanpa tekanan dan tanpa kebingungan.
Dan di suatu malam yang tenang, saat menatap bintang-bintang di langit, Rania tersenyum. Ia tahu, perjalanan hidupnya baru saja dimulai.
To be continued...