Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.
Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.
Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.
Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Mungkin!
🍃🍃🍃
Hafsah duduk dengan kepala tertunduk dalam perasaan merasa bersalah di tepi kasur, di mana Rashdan berjalan maju-mundur di hadapannya. Pria itu berusaha menenangkan perasaannya dari amarah kepada gadis itu karena kalimat yang tanpa sengaja diucapkan Hafsah tadi. Karena kalimat itu Rashdan mengundur rencana menjenguk Halma bersama para pengajar itu ke rumah sakit.
Kalimat itu menjadi kekhawatiran bagi Rashdan, itulah sebabnya pria itu marah karena tahu mereka yang mendengarnya tidak bisa dipercayai karena mereka juga manusia. Rashdan takut salah satu dari mereka yang tidak bertanggung jawab mengembangkan kalimat itu menjadi sebuah narasi gosip di pesantren maupun di luar pesantren.
"Kenapa mengatakan itu? Masalah apa lagi yang belum selesai?" tanya Rashdan, terdengar sedikit marah.
"Tadi di rumah sakit aku bertemu Raihan. Dia marah dan sikapnya itu membuatku merasa bersalah. Jujur, aku tidak nyaman berada di posisi ini, Ustaz." Hafsah memberanikan diri untuk berbicara lebih jelas.
"Kamu merasa bersalah padanya. Lalu, aku? Kamu tidak berpikir sebelum berucap seperti itu di hadapan mereka? Kalau mereka salah paham, bagaimana?"
"Aku benar-benar tidak menyadari keberadaan mereka. Maaf," ucap Hafsah.
Rashdan berjalan keluar dari kamar bersama kemarahannya, beranjak memasuki kamarnya bersama Halma untuk menenangkan perasaan menjauh dari istri keduanya itu untuk sesaat.
Setelah beberapa menit duduk sambil berzikir, Rashdan berdiri dan berjalan keluar dari kamar itu. Ia kembali ke kamar Hafsah dan menemukan kamar yang sudah kosong, begitu juga dengan kamar mandi setelah diperiksa olehnya. Rashdan berpindah tempat ke dapur mencari istrinya itu, tapi tidak juga menemukannya di sana.
"Ke mana dia?" Sejenak Rashdan berdiri tegak pinggang di ruang tamu.
Secara samar Rashdan mendengar suara Hafsah dari kamar Raihan. Perlahan pria itu melambangkan mendekati pintu kamar tersebut dan membukanya tanpa sepengetahuan gadis itu yang ternyata sedang duduk di lantai kamar itu menemani Husein bermain.
"Abah marah sama Kakak. Sekarang Kakak harus bagaimana?" tanya Hafsah kepada Husein, bertanya sekaligus menghibur diri bersama bocah itu.
"Ajak main." Pintarnya anak itu berbicara meskipun tidak mengerti dengan situasi yang dialami istri kedua ayahnya itu.
"Main apa?" Hafsah tersenyum dan menarik pelan hidung Husein, anak itu membuatnya geram untuk mencubit karena manisnya anak itu saat berbicara.
Tingkah mereka langsung meredakan kemarahan Rashdan. Pria itu tersenyum memperhatikan mereka dari pintu yang sedikit dibuka, membuat sedikit celah untuk mengintip di sana.
Rashdan mengetuk pintu dan mengundang pandangan mereka yang ada di kamar itu ke pintu. Kamar itu dimasuki Rashdan dengan senyuman ringan dan duduk di samping Hafsah dengan posisi kaki bersila.
“Maafkan aku,” ucap Rashdan yang tidak gengsi saat berucap, malah Hafsah yang merasa tidak enak hati mendengarnya.
“Tidak, Ustaz. Maaf,” ucap Hafsah dengan raut wajah sedikit terharu.
Husein tersenyum, seakan bocah itu mengerti dengan situasi itu. Husein merangkak dan duduk di pangkuan Rashdan, laku memberikan mainan mobil-mobilannya kepada Hafsah. Pada akhirnya sepasang suami-istri itu menemani bocah itu bermain dengan tawa terdengar di kamar itu.
***
Kekhawatiran yang berusaha dihusnuzankan Rashdan benar terjadi. Gosip mengenai perpisahan antara dirinya dan Hafsah mengambang di lingkungan pesantren, ia memendamnya dari salah satu sekumpulan santriwati yang tidak seharusnya mereka membahas hal tersebut. Mereka mendengarkan cerita itu dari salah satu guru yang mendengar perkataan Hafsah.
Para santriwati itu dihukum Rashdan berdiri di lapangan. Bukan karena dendam sudah menceritakannya dan Hafsah, sikap mereka termasuk salah satu ghibah.
Setelah itu Rashdan ke kantor majelis guru, ingin melihat situasi di sana. Kedatangannya membuat semua orang diam, seperti biasa, mereka tersenyum ramah.
“Tidak perlu menjelaskan apa pun. Mereka hanya manusia biasa,” ucap Rashdan di dalam hati.
“Mengenai rencana kemarin. Kita laksanakan hari ini setelah jam sekolah selesai,” ucap Rashdan, berdiri dengan santai seolah tidak ada masalah.
Mereka manggut-manggut menyetujui perkataan pria itu.
Usia sejenak berbaur dengan mereka yang ada di ruangan itu, Rashdan keluar dari sana, berjalan berdampingan bersama Hanafi di depan beberapa kelas dengan langkah santai sampai akhirnya langkah mereka berhenti setelah melihat Raihan bersama wajah dingin pemuda itu yang berdiri beberapa meter di hadapan mereka.
"Abah di rumah," ucap Raihan yang sejak awal tujuannya mencari Rashdan.
Rashdan menganggukkan kepala sekali, lalu menoleh ke kanan, mengarahkan pandangan ke kepada Hanafi. Caranya menatap Hanafi dimengerti oleh pria itu dan memisahkan diri meninggalkan mereka.
Rashdan mendekati Raihan, di mana pemuda itu bergegas berjalan lebih dulu, terlihat tidak ingin berjalan berdampingan dengannya dan tahu pemuda itu masih marah. Rashdan bisa memakluminya, pria itu berjalan di belakang Raihan sampai mereka berada di rumah, di mana Kahfi duduk di ruang tamu bersama Hafsah yang berbicara dengan pria paruh baya itu.
"Assalamualaikum," ucap Rashdan dan memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam," balas Kahfi dengan senyuman.
Rashdan duduk di samping Kahfi. Pria paruh baya itu langsung menepuk pelan punggung sang menantu dengan senyuman yang membuat hati Raihan sakit, merasa ayahnya itu berkhianat kepada kakaknya karena telah menyetujui hubungan Hafsah dan Rashdan.
"Kenapa Abah tidak menceritakannya padaku?" tanya Raihan, masih berdiri di tengah ruang tamu.
"Abah tidak bermaksud menyembunyikannya. Bukankah kamu sudah mendengar ceritanya dari Halma? Sudahlah ... duduk," ajak Kahfi, berbicara dengan suara pelan untuk membujuk.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Bah," balas Raihan, mulai emosi.
Hafsah hanya bisa duduk tertunduk dalam diam. Rashdan memperhatikannya dan ekspresi pria itu mulai berubah setelah menyadari sesuatu dari raut wajah gadis itu. Kulit yang biasanya terlihat cerah tampak pucat, bibir kecil milik istri keduanya itu kering, dan juga tampak berkeringat.
"Kenapa?" tanya Rashdan kepada Hafsah dengan suara kecil, kebetulan istrinya itu duduk di sisi kanannya.
Hafsah sedikit mendongak kepala dan menoleh ke kiri, menatap sang suami. Senyuman ditunjukkan sambil menggelengkan kepala.
Bergegas Hafsah berdiri, berlari menuju kamar. Perdebatan kecil antara Raihan dan Kahfi jadi terhenti melihat tingkah gadis itu, mereka mengarahkan pandangan ke pintu kamar yang tidak sempat ditutup oleh Hafsah karena ingin ke kamar mandi yang ada di di kamar itu. Rashdan berdiri, berjalan memasuki kamar tersebut dan mendengar suara Hafsah muntah-muntah.
"Kamu kenapa?" tanya Rashdan sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Kahfi dan Raihan beranjak berdiri di pintu kamar Hafsah, memperhatikan Rashdan.
"Mungkinkah Hafsah hamil?" tanya Kahfi, menduga setelah mendengar suara Hafsah muntah-muntah dari bilik kecil di kamar itu.
"Tidak mungkin," ucap Raihan dengan cepat, menolak perkataan sang ayah karena tidak rela gadis yang disukainya itu mengandung anak pria lain.
"Bagaimana tidak mungkin? Dia punya suami."
Pemuda itu mengingat adegan di mana dirinya menemukan Rashdan mandi di kamar Hafsah waktu itu. Seketika ia tidak bisa menolak kebenaran dari dugaan sang ayah. Namun, rasa tidak rela masih menyelimuti perasaannya, membuatnya merasa hancur. Raihan meninggalkan posisinya, berjalan keluar dari rumah itu.
"Ustazah Hafsah muntah-muntah sejak pagi. Mungkin Ustazah Hafsah hamil," ucap seorang santriwati kepada temannya yang kebetulan hanya berjalan melewati halaman rumah itu karena ingin ke asrama mereka.
Pembicaraan mereka terdengar di telinga Raihan dan membuat pemuda itu berhenti berjalan di teras rumah. Kedua tangan pemuda itu mencengkeram kuat karena menahan emosi.