Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 17
Tiba di dalam mobil, rasa penasaran Adya tidak bisa ia bendung lagi. Dia pun langsung melontarkan pertanyaan pada tuan mudanya tanpa pikir panjang.
"Tuan muda benar-benar akan mencari di mana keberadaan mantan istri tuan muda?"
Angga yang awalnya santai, langsung menoleh ke arah Adya yang ada di sampingnya. Tatapan tajam pun tak lupa ia lontarkan sekarang.
"Kenapa? Apakah ada yang salah dengan niat yang aku sampaikan tadi?"
"Anu, tidak ada, tuan muda. Hanya saja, saya merasa sedikit penasaran," ucap Adya dengan nyengir kuda tidak enak.
"Aku akan mencari di mana dia berada sekarang. Juga akan aku cari tahu apa saja yang telah ia lakukan selama tiga tahun setelah kami bercerai. Semua itu hanya untuk nama baikku saja. Aku tidak ingin dibeberkan dalam masalah jika kelak dia ketahuan bersalah."
Pusing juga kepala Adya memikirkan apa yang baru saja Angga ucapkan. Namun, bagaimanapun, dia tetap akan menerima apa yang Angga katakan dengan cara seolah-olah apa yang Angga katakan itu benar adanya.
'Dasar tuan muda. Alasan yang ia berikan cukup membingungkan. Dan, sangat tidak masuk akal. Hm .... ' Adya bicara dalam hati.
"Adya."
"Ya, Tuan muda."
"Aku ingin kamu menyelidiki latar belakang Zura. Apa saja yang telah ia lakukan selama tiga tahun terakhir. Pokoknya, aku ingin tahu semua tentang dia."
"Baik, tuan muda."
"Cari tahu dengan cepat, Adya. Aku ingin semua informasi secepatnya."
"Iya, tuan muda. Akan saya lakukan sesuai perintah dari tuan muda."
....
"Otakmu kamu ke mana kan, Mirna? Bisa-bisanya kamu ingin mengejar Angga dari yah. Apa kamu tidak berpikir, kamu itu adalah tunangan Reno Sanjaya. Jangan cari gara-gara kamu." Kesal mama Mirna saat mereka berjalan pulang ke rumah.
"Ya ... namanya juga usaha, Ma. Kalau bisa dapat perhatian dari kak Angga, bukankah itu sama dengan dapat kehidupan yang paling layak?"
"Gila ya? Usaha itu sudah kamu lakukan sejak lama, Mirna. Sejak Angga belum menikah dengan Zura, tahu tidak? Jangan lupa kalau Angga itu bukan pria gampangan yang bisa kamu raih. Zura aja dipermalukan. Apa kamu ingin hidup lebih miris dari Zura."
"Terus, jika Reno tahu apa yang kamu lakukan, apa semua usahamu tidak akan sia-sia? Bukannya hidup lebih baik, hidup semakin buruk ada kamu nanti."
Seketika, Mirna langsung memasang wajah cemberut. "Mama ih ... apa-apaan sih? Anak kok di doa kan yang jelek-jelek. Doain yang baik-baik kenapa sih?"
"Bosan ngedoain yang baik-baik. Pikiranmu itu mampet ya tetap aja mampet. Gak ngerti-ngerti juga."
"Sudah! Mulai sekarang, jangan cari gara-gara lagi kamu. Fokus noh sama Reno. Hanya Reno yang bisa bantu kita sekarang. Senjata untuk melawan Zura sudah tidak ada lagi. Kalau dia beneran datang minggu depan, kita bisa bahaya."
"Alah. Mama tenang aja. Zura gak akan berani datang buat nagih rumah peninggalan orang tuanya itu. Karena jika ia berani datang, aku sudah minta kak Reno buat menghalanginya."
Ibu dan anak itupun terus memikirkan rencana untuk melawan Zura. Tentu saja, mereka tidak akan menyerahkan rumah peninggalan orang tua Zura yang sudah mereka jual sejak dua bulan yang lalu. Karena uang dari rumah itu sudah mereka habiskan untuk hidup mewah yang sedang mereka jalani.
Sebaliknya, Zura juga sudah yakin akan perlawanan yang akan Mirna dan tantenya lakukan. Dia sudah meminta Lula untuk menyelidiki prihal rumah peninggalan orang tuanya itu.
Setelah tiba di bandara, Lula langsung menyambut kedatangan Zura dengan penuh semangat. Gadis yang berusia lebih muda dua tahun dari Zura itu memang bisa dihandalkan. Semua yang Zura perintahkan, sudah pun ia siapkan dengan sangat matang. Termasuk, rumah sakit yang akan merawat pamannya pun sudah Lula atur.
"Terima kasih banyak, La. Kamu memang adik terbaikku."
Dengan sangat bahagia Lula membalas senyum yang Zura perlihatkan.
"Mbak bisa aja. Aku hanya melakukan tugasku dengan sebaik mungkin aja kok, mbak. Jangan terlalu memujiku seperti itu juga dong."
"Kamu ini yah ... hm ... dasar Lula."
"Ya sudah. Nanti malam kita bicarakan soal kerjaan lagi, La. Sekarang, santai aja dulu."
"Oke, mbak." Lula berucap sambil mengangkat tangannya sejajar wajah. Dua dari membulat, tiga jari tegak lurus. Dan tak lupa, senyum indah membingkai di wajahnya.
....
Karena rumah sakit kota S mengatakan bahwa paman Zura tidak perlu di rawat inap di rumah sakit, si paman di rawat di rumah sekarang. Kondisi pamannya yang semakin membaik itu membuat Zura semakin bahagia. Hatinya pun merasa sangat tenang sekarang.
Karena urusan pribadi berjalan sesuai yang ia harapkan, kini tinggal menata urusan kerja agar semakin baik. Zura dan Lula pun kini sedang fokus membahas prihal pekerjaan yang sudah ia diamkan sejak ia datang ke tanah air.
"Perusahaan dan butik yang ada di luar negeri tetap berjalan dengan mbak. Tidak ada masalah sedikitpun sejak mbak tinggalkan. Sementara untuk masalah pertemuan kemarin, saya menerima sedikitnya lima tawaran kerja sama dari perusahaan yang ingin bekerja sama dengan mbak. Selebihnya, saya tolak dengan alasan harus dipertimbangkan lagi latar belakang dari perusahaan tersebut."
"Ini, mbak. Semua laporan perusahaan yang saya terima," ucap Lula sambil menyodorkan tablet ke hadapan Zura.
Zura menerima. tablet tersebut, lalu fokus pada data-data yang ada di depan layar tablet itu. Dari lima perusahaan, satu diantaranya adalah milik adik tiri Angga. Iyan Andika.
Bukan besar perusahaan atau besar keuntungannya yang membuat Zura tertarik untuk memperhatikan perusahaan tersebut. Melainkan, data diri pribadi dari si pemilik perusahaan. Zura sedikitnya tahu siapa keluarga Angga. Karenanya, latar belakang Iyan sangat menarik perhatiannya.
"Iyan Andika."
"Dika's Fashion grup."
"Iya, mbak. Saya menerima tawaran kerja sama dari mereka karena perusahaan itu cukup bersih latar belakangnya. Keuntungan yang mereka tawarkan juga cukup besar."
"Hm, baiklah. Buat janji temu dengannya terlebih dahulu, La."
"Baik, mbak."
Namun, saat Lula ingin membuat janji temu dengan Iyan, dia malah membaca laporan dari sebuah perusahaan. Perusahaan yang sedang mengejar pertemuan dengan Yura dengan sangat sengit.
"Mbak. Saya hampir lupa mengatakan satu hal."
"Hm. Apa, La?"
"Hardian Anggara Grup sedang mengejar pertemuan dengan mbak Yura sejak dari luar negeri hingga ke tanah air. Dan sepertinya, mereka mengikuti mbak ke manapun mbak pergi sekarang."
"Hah?"
Zura terdiam beberapa saat. Benaknya mencoba mengingat nama yang sangat tidak asing lagi di pikirannya itu. Saat pikirannya sudah ingat, dia pun langsung memasang wajah kesal.
"Tutup semua kesempatan CEO perusahaan itu untuk bertemu dengan aku. Tolak juga semua tawaran yang mereka kirimkan. Jangan berikan sedikitpun peluang untuk mereka bertemu dengan aku, Lula."
Sedikit bingung, tapi Lula tetap mendengarkan apa yang Zura katakan. Karena setiap keputusan yang Zura ambil, Zura pasti sudah punya alasannya tersendiri. Sedangkan Lula, dia merasa tidak punya hak untuk bertanya. Karena bagaimanapun, jika ada masalah pribadi, dia tidak akan ikut campur dalam urusan itu.