Aina Cecilia
Seorang gadis yatim piatu yang terpaksa menjual keperawanannya untuk membiayai pengobatan sang nenek yang tengah terbaring di rumah sakit. Tidak ada pilihan lain, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh saat ini. Gajinya sebagai penyanyi kafe tidak akan cukup meskipun mengumpulkannya selama bertahun-tahun.
Arhan Airlangga
Duda keren yang ditinggal istrinya karena sebuah penghianatan. Hal itu membuatnya kecanduan bermain perempuan untuk membalaskan sakit hatinya.
Apakah yang terjadi setelahnya.
Jangan lupa mampir ya.
Mohon dukungannya untuk novel receh ini.
Harap maklum jika ada yang salah karena ini novel pertama bagi author.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GBTD BAB 12.
Tepat pukul 10 malam, mobil yang dikendarai Hendru sudah terparkir di depan Rainbow kafe.
Entah kenapa, perasaan Arhan mengatakan kalau Aina tengah berada di kafe itu, bukan di apartemen. Jadi dia meminta Hendru mengendarai mobilnya menuju kafe lebih dulu.
Arhan melompat turun dan berlari masuk ke dalam kafe. Saat menatap arah panggung, dia menghela nafas berat. Dia tak menemukan Aina di sana, panggung itu kosong tak berpenghuni.
"Permisi, apa Aina masih bekerja di sini?" tanya Arhan kepada salah seorang pelayan.
"Maaf, memangnya Tuan ini siapa? Untuk apa mencari Aina?" tanya wanita itu dengan pertanyaan pula.
"Saya saudaranya dari Jakarta." jawab Arhan berbohong.
"Oh, jadi Tuan saudaranya Aina. Kebetulan sekali Tuan datang, satu jam lalu Aina baru saja dilarikan ke rumah sakit. Sepertinya dia akan melahirkan." jelas wanita itu.
Mata Arhan membulat mendengar itu. Perasaannya tidak salah, sesuatu terjadi pada Aina hingga membuatnya gelisah sedari tadi.
"Kalau boleh tau Aina dibawa ke rumah sakit mana?" tanya Arhan khawatir.
"Saya kurang tau, mungkin rumah sakit Permata Hati. Hanya rumah sakit itu yang paling dekat dari sini." jawab wanita itu.
Arhan meninggalkan wanita itu begitu saja, kemudian bergegas masuk ke dalam mobil.
"Cepat jalan, bawa aku ke rumah sakit Permata Hati!" perintah Arhan dengan nafas terengah-engah.
Tanpa bertanya, Hendru dengan cepat menginjak pedal gas. Raut wajah Arhan tampak kacau, Hendru bisa menebak apa yang terjadi.
Tidak butuh waktu lama, hanya dalam kurun waktu lima menit, mobil itu sudah terparkir di depan rumah sakit.
Arhan melompat turun dan meninggalkan Hendru begitu saja. Dia benar-benar cemas memikirkan keadaan Aina saat ini.
Setelah mendapatkan informasi dari seorang suster, Arhan berlari menuju ruang bersalin.
Detak jantungnya semakin tak beraturan mengingat kedatangannya yang tak diinginkan oleh Aina dan suaminya.
Di depan pintu ruangan, Bastian tampak cemas memikirkan keadaan Aina. Dia berjalan mondar-mandir layaknya setrikaan rusak.
Sudah satu jam Aina di dalam sana, tapi belum ada tanda-tanda bahwa baby nya sudah lahir. Dokter dan suster pun tidak ada yang keluar dari tadi.
"Permisi, apa kamu suaminya Aina?" tanya Arhan mendekat.
Bastian mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Arhan. Tatapan keduanya terlihat tajam memperhatikan wajah masing-masing.
"Kamu, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Bastian, dia ingat pernah berpapasan dengan Arhan di apartemen Aina beberapa bulan lalu.
"Jadi kamu suaminya Aina. Kenalkan, aku Arhan. Bagaimana keadaan istrimu?" tanya Arhan sembari mengulurkan tangannya.
Bastian meraih tangan Arhan, keduanya berjabat tangan sebagai salam perkenalan.
"Aina masih di dalam. Sudah satu jam, tapi Dokter belum juga keluar." jawab Bastian gelisah.
"Jangan panik! Aina wanita kuat, aku yakin dia dan anakmu pasti baik-baik saja."
Arhan mencoba menenangkan Bastian, tapi dia sendiri tidak bisa tenang memikirkan keadaan Aina di dalam sana.
Dia memilih duduk di kursi tunggu, sementara Bastian masih setia berdiri di depan pintu.
Bastian menatap lekat wajah Arhan, dia mencari jawaban atas pertanyaan yang sedang mengganggu di dalam benaknya.
Saat Bastian ingin bertanya, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang suster keluar dan berdiri di hadapannya.
"Apa Bapak suaminya Ibu Aina?" tanya suster kepada Bastian.
"Iya, saya suaminya. Apa yang terjadi dengan istri saya Sus, bagaimana dengan baby nya?" tanya Bastian khawatir.
"Ibu Aina mengalami sedikit kesulitan, tenaganya sudah terkuras lebih dulu. Bapak Arhan boleh masuk ke dalam, kehadiran Bapak mungkin bisa membantu." ucap suster itu.
Bastian membulatkan matanya lebar, begitupun dengan Arhan yang tak sengaja mendengar ucapan suster itu. Dia bangkit dari duduknya dan berdiri di samping Bastian.
"Saya Bastian Sus, bukan Arhan. Kenapa anda bisa salah memanggil nama?" tanya Bastian menautkan alisnya.
"Maafkan saya Pak Bastian, saya pikir nama anda Arhan. Ibu Aina dari tadi tak berhenti memanggil nama itu." jelas suster bingung.
"Saya Arhan Sus, apa suster tidak salah dengar? Bastian ini suaminya Aina, mana mungkin dia memanggil saya?" tambah Arhan menautkan alisnya.
"Maaf Pak, tapi begitulah kenyataannya."
Suster itu ikut bingung, aneh saja seorang istri memanggil nama orang lain disaat seperti ini. Sementara suaminya juga ada di tempat ini.
"Kamu masuklah Bastian! Aina pasti sangat membutuhkanmu. Jangan membuatnya lama menunggu, kasihan anak kalian." pinta Arhan.
Dari sini Bastian mulai menyadari sesuatu yang aneh. Aina memanggil Arhan, dia lah yang lebih pantas mendampingi Aina. Ada hubungan diantara keduanya yang tidak Bastian ketahui.
"Tidak Arhan, Aina tidak membutuhkanku, tapi dia membutuhkanmu. Masuklah sebelum terlambat!" pinta Bastian.
"Apa kamu sudah gila? Aina itu istrimu, kenapa harus aku...,"
Bastian tak ingin mendengar alasan Arhan, dia mendorong punggung Arhan hingga pintu. Hal itu membuat Arhan semakin kebingungan dengan mata melotot tajam.
"Masuklah, jangan menunda lagi! Anak itu harus keluar secepat mungkin." ucap Bastian, nada bicaranya terdengar tinggi.
Setelah Arhan menginjak ruangan, suster bergegas menutup pintu. Arhan melangkah pelan mendekati Aina yang sudah terkulai di atas ranjang.
"Aina," lirih Arhan dengan mata berkaca-kaca.
Aina terkejut mendengar suara itu, matanya terbelalak seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Air matanya tumpah menahan kesedihan yang sudah membaur dengan rasa sakitnya.
Arhan memberanikan diri menyentuh wajah Aina yang sudah sembab, kemudian menggenggam tangan Aina erat.
"Kenapa memanggilku? Suamimu ada di luar, dia lebih berhak menemanimu saat ini, bukan aku." ucap Arhan lirih.
Tangis Aina pecah mendengar semua itu, lidahnya kelu tak bisa berkata-kata.
Aina menarik tangan Arhan dan meletakkannya di atas perut buncitnya. Hal itu membuat Arhan tak sanggup menahan dirinya. Air matanya meluncur bebas begitu saja.
Tangan Arhan bergetar hebat saat merasakan pergerakan di permukaan perut Aina.
"Aina, apa maksud semua ini?" lirih Arhan sembari mengelus perut Aina pelan.
"A, aku...,"
Saat Aina ingin menjawab, tiba-tiba perutnya merasakan kontraksi yang begitu dahsyat. Aina menjerit menahan sakitnya dan menggenggam tangan Arhan kuat.
Arhan semakin panik melihat kondisi Aina, dia menarik tangannya dari genggaman Aina. Namun gadis itu tak mau melepaskannya.
"Jangan pergi! Aku mohon. Awwww," pinta Aina sembari menjerit menahan sakit.
Arhan terpaku mendengar kata itu. Meskipun tidak mengerti dengan apa yang terjadi, dia memilih tetap di sana mendampingi Aina.
Dokter sudah bersiap-siap di bawah sana, pembukaan Aina sudah lengkap. Tak ada halangan lagi untuk Aina melahirkan secara normal.
"Aaaaaaaaaaaaaa,"
Jeritan Aina membuat Arhan terenyuh, segitu besar kah pengorbanan seorang wanita melahirkan buah hatinya.
Tak terasa air mata Arhan mengalir tiada henti. Bahkan tubuhnya ikut merasakan sakit bak dipecut seribu cambukan.
Arhan menggenggam tangan Aina erat, kemudian mengusap pucuk kepala Aina yang sudah dipenuhi keringat.
"Kamu harus kuat, aku yakin kamu bisa."
Tanpa sadar, Arhan melabuhkan sebuah kecupan sayang di kening Aina. Hal itu membuat Aina terenyuh, tenaganya seakan kembali setelah mendapatkan sentuhan itu.
"Ayo Aina! Tarik nafas pelan, lalu buang. Coba sekali lagi!" ajak Dokter yang sudah siap menyambut kedatangan malaikat kecil itu.
Aina menghela nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia meraih lengan Arhan dan mencengkram nya kuat.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,"
Aina mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa. Dalam satu kali tarikan nafas, tangis baby mungil itu menggelegar memenuhi seisi ruangan.