Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Nasihat Bijak
Damar dan Qing Qing duduk berdampingan di sofa panjang, sementara Ibu Widuri duduk di sofa tunggal. Sinta yang tadi diperintahkan untuk menyajikan teh, kembali membawa nampan dengan poci dan tiga cangkir di atasnya.
Anak itu meletakkan cangkir di depan masing-masing, dan menempatkan poci yang dibiarkan tetap di atas nampan, di tengah meja kopi di hadapan mereka.
"Terima kasih, sayang," Ibu Widuri mengelus kepalanya.
Ketiganya memerhatikan Sinta yang berjalan masuk ke dalam rumah. Saat ini, Damar dan Qing Qing baru menyadari, bahwa anak itu agak pincang.
"Dia ditemukan di lubang WC, kakinya sudah masuk ke saluran pembuangan, untunglah Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup." Ibu Widuri menjelaskan tanpa diminta. Suaranya lirih, seolah membayangkan lagi hari itu.
Damar dan Qing Qing saling berpandangan, ekspresi di mata masing-masing sukar dijabarkan. Lalu Qing Qing menunduk, meremas-remas kedua tangannya.
"Maaf, tadi kalian berkata ingin menanyakan tentang anak yang ditinggalkan di depan pintu panti, ehm... empat belas tahun yang lalu?" Ibu Widuri beralih pada mereka.
"Anak itu... apakah kamu, Nak?" Ibu Widuri menyentuh tangan Qing Qing.
"I... iya. Itu saya, Bu. Bagaimana Ibu bisa tahu?" Qing Qing mengangkat kepala dengan heran.
Ibu Widuri tersenyum, "Dari usiamu, tentu saja. Apa yang ingin kamu tanyakan? Ibu mungkin sudah lupa, tapi kalau ada informasi lebih banyak, Ibu bisa mencoba mencari data dari arsip kami."
"Sa... saya... saya... ditinggalkan di depan pintu panti ini." Qing Qing berkata gugup, hatinya masih sakit membayangkan itu. Bagaimana hari ketika ia ditinggalkan? Apakah panas terik? Apakah hujan deras? Apakah ia baru lahir atau sudah beberapa hari?
"Yang ditinggalkan di depan pintu panti ini bukan hanya satu, apalagi sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun. Maaf, Ibu tidak tahu kamu bayi yang mana." Ibu Widuri membuyarkan pikirannya.
"Katanya saya diadopsi sekitar dua belas tahun yang lalu, ketika usia saya sekitar satu setengah tahun. Saya baru mengetahui bahwa saya diadopsi. Ayah adopsi saya seolah warga asing Cina bernama Bernard, dan ibu adopsi saya seorang wanita Indonesia bernama Miranti. Saya... ingin menemukan orang tua kandung saya." Qing Qing mulai lancar berbicara.
"Dua belas tahun yang lalu. Warga asing Cina bernama Bernard... dan Miranti?" Ibu Widuri mengernyit, tampak berusaha mengingat-ingat. "Ibu harus cari dulu di arsip. Tapi karena sudah sangat lama, tentu tidak bisa langsung ditemukan. Maklum, panti ini tidak memiliki komputer. Semua dicatat secara manual."
"Tapi jangan khawatir, catatan kami rapi. Hanya saja, kami perlu waktu. Apakah kalian bisa datang kembali dua hari lagi?" Setelah hampir memadamkan harapan, Ibu Widuri membesarkan hati Qing Qing.
"Bisa, Bu. Terima kasih sudah bersedia membantu." Kali ini, Damar ikut berbicara.
"Kalau boleh tahu, kamu siapanya? Apakah kakak angkatnya?" Ibu Widuri beralih pada Damar.
"Ah... bukan. Keluarga itu tidak mengadopsi anak lain. Saya... body guard yang bertugas menjaga keselamatan Qing Qing. Ini pertama kalinya dia pergi ke luar kota, jadi... orang tuanya memerintahkan saya untuk mendampinginya." Damar berbohong, tidak ingin Ibu Widuri mengetahui keadaan sebenarnya.
"Ah... sepertinya orang tua angkatmu orang baik, Nak. Kamu juga tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan tampak terpelajar. Mereka pasti sangat menyayangimu. Lalu... mengapa kamu ingin mencari orang tua kandungmu? Apa yang ingin kamu ketahui?"
"Saya... terlalu banyak pertanyaan yang saya butuh jawabannya, Bu. Apakah mereka masih hidup? Jika masih, saya ingin bertanya mengapa mereka membuang saya. Jika sudah meninggal, saya ingin berziarah ke makamnya, untuk melihat wajah-wajah mereka. Jika..."
"Nak..." Ibu Widuri memotong kata-kata Qing Qing. "Terkadang... mendapatkan jawaban akan lebih menyakitkan. Jadi, ada pertanyaan yang harus dibiarkan tanpa mencari jawabannya." Ujarnya melanjutkan. "Tentu saja banyak pertanyaan mengapa di dunia ini, dan tidak semuanya ada jawabannya. Kita hanya bisa menerima itu sebagai takdir."
"Mungkin... kamu merasa marah, kata-katamu tadi, 'membuang', menunjukkan betapa kamu terluka. Ibu mengerti. Tapi... kita tidak tahu alasan di balik tindakan orang tuamu. Mungkin saja mereka sangat miskin dan merasa tidak sanggup membiayai, karena itu, kamu 'dititipkan' di panti ini, karena mereka ingin kamu hidup lebih baik." Ibu Widuri menekankan kata 'membuang' dan 'dititipkan'. Dua kata yang jelas berbeda konotasinya.
"Mungkin juga... maaf, ibumu korban rudapaksa. Maaf sekali lagi, jika bukan, semoga ayahmu memaafkan Ibu. Ketika ibumu mengandung, tentu dia bingung, atau bisa juga mentalnya terganggu, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk merawat kamu. Ada banyak kemungkinan. Ibu tidak bisa menyebutkan satu per satu. Tetapi intinya, kita tidak bisa menghakimi sebuah peristiwa dari satu sisi."
Qing Qing menyimak kata-kata bijak Ibu Widuri. Suaranya sangat lembut, gerak geriknya sangat halus. Kepala hingga kaki, beliau sangat anggun dan keibuan. Qing Qing bertanya-tanya, jika ia tidak diadopsi, apakah ia akan lebih bahagia tinggal di sini bersama Ibu Widuri, memanggilnya bunda, seperti Sinta?
"Namun, jangan khawatir. Informasi apa pun, jika ada, akan kamu dapatkan dua hari lagi. Oke?" Ibu Widuri tersenyum dan menepuk tangan Qing Qing.
Qing Qing mengerti, ini waktunya mereka pamit karena tidak ada lagi informasi yang bisa diperoleh saat ini. Ia baru akan mendapat informasi tambahan, jika ada, seperti kata Ibu Widuri tadi, dua hari lagi.
Qing Qing mengangguk, seraya bangkit dari tempat duduk, "Kalau begitu, kami pamit dulu, Bu. Maaf sudah merepotkan, terima kasih sebelumnya."
Damar dan Ibu Widuri ikut bangkit. Bertiga mereka berjalan ke pintu. Dan Ibu Widuri melambaikan tangan, mengantar kepergian mereka.
"Sekarang kita mau ke mana?" Tanya Damar, mereka berjalan berdampingan tanpa tujuan.
"Aku tidak tahu," Qing Qing berkata lesu. "Sebelum mendapat informasi apa-apa, kita tidak bisa pergi ke mana-mana."
"Kalau begitu... bagaimana kalau kita makan? Kamu pasti lapar, kan? Katanya batagor Bandung enak."
Qing Qing menggeleng, "Aku tidak lapar. Kita cari penginapan aja. Aku mau tidur. Kamu aja sendiri yang beli batagor."
"Gak boleh begitu. Kalau kita dapat informasi, kamu perlu tenaga untuk mencari..."
"Mar..." Qing Qing memotong ucapan Damar. "Apakah aku salah melakukan ini?"
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya begitu?"
"Aku memikirkan ucapan Ibu Widuri tadi. Bagaimana kalau aku anak hasil rudapaksa dan ibu aku gila? Atau bagaimana kalau mereka sangat miskin, bukankah seharusnya aku bersyukur sudah diadopsi Papa?"
"Mulai lagi deh mikir yang aneh-aneh. Ibu Widuri mengatakan itu supaya kamu menerima takdir dan bersyukur masih diberi kesempatan hidup." Damar menghentikan langkah.
"Entahlah. Aku cuma mau tidur dua hari, sampai waktunya datang ke panti Ibu Widuri lagi." Qing Qing tetap tidak bersemangat.
"Ya sudah, aku sudah bilang akan mendukung apa pun kata hatimu. Jadi, ayo kita cari penginapan."
Mereka menemukan penginapan di dekat panti. Memesan dua kamar, kemudian Qing Qing masuk dan langsung menguncinya tanpa berkata apa-apa. Damar hanya mematung di depan pintu itu, setelah beberapa menit tidak ada tanda-tanda Qing Qing akan keluar, ia berjalan pergi. Bagaimana pun, ia berkewajiban menjaga gadis itu, jadi ia harus membeli makan.
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author