Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Hari hari berjalan seperti biasanya, Laras harus berjuang keras untuk bisa bertahan hidup. Namun entah kenapa, hatinya jauh lebih damai meskipun hidup yang dilaluinya tidaklah mudah. Tidak adanya Bimo membuat Laras bisa menjalani harinya dengan tanpa beban. Sejak kepulangan Bimo waktu itu, sekalipun lelaki itu tak lagi ada kabarnya. Laras bertekad untuk bisa segera mengurus surat cerai di pengadilan agama.
"Ras, aku dengar kamu mau ngurus surat cerai, sudah apa belum?" Tanya mbak Dwi tetangga Laras yang baru saja bercerai dengan suaminya.
"Iya mbak, pengin nya segera mengurus perceraian. Tapi terkendala biaya, dan aku juga gak tau gimana caranya. Katanya ribet dan butuh uang banyak. Aku bingung, mbak." Sahut Laras dengan wajah sendu. Dwi tersenyum, dan menatap iba Laras, tau bagaimana rasanya suami selingkuh dan lebih memilih perempuan selingkuhannya, karena Dwi juga mengalaminya, itulah kenapa dia memilih berpisah dan mengurus perceraian.
"Gampang kok, kamu berangkat saja sendirian ke pengadilan agama. Gak mahal, kemarin aku cuma habis tujuh ratus ribu saja. Dan prosesnya juga gak ribet, nanti aku kasih tau caranya kalau kamu mau ngurus." Sahut Dwi serius, Laras menatap perempuan cantik di depannya dengan dahi dilipat.
"Beneran mbak, cuma habis segitu?" Tanya Laras yang meyakinkan dirinya kalau tidak salah dengar.
"Iya, kemarin diminta satu juta, terus setelah selesai sidang uang dikembalikan lagi tiga ratus ribu. Kamu paling juga habis segitu kira kira, asal alamat suami kamu masih satu kota. Pakai saja alamat rumah saudara kamu untuk undangan sidang suamimu, dan pastikan dia gak hadir di persidangan, biar prosesnya gak ribet dan cepat." Sambung Dwi tersenyum dan menatap Laras intens.
"Kalau memang hanya segitu, insyaallah aku punya tabungan. Insyaallah cukup, nanti aku akan coba ke pengadilan. Bismillah, semoga seperti yang mbak Dwi katakan, gak ribet dan juga gak habis biaya banyak." Sahut Laras penuh harap.
"Aamiin, insyaallah di permudah. Yang penting kamu harus pastikan suamimu tidak hadir di persidangan." Lanjut Dwi memastikan, dan Laras mengangguk paham dengan senyum mengembang.
"Dia juga gak pernah pulang ke sini kok, mbak. Dan nanti untuk tujuan alamatnya mas Bimo, biar aku tujukan di rumah bulekku." Sahut Laras yang sudah mantap untuk mengurus perceraian dengan Bimo.
"Iya, semoga lancar ya. Urus saja sendiri, insyaallah mudah kok dan nanti akan di arahkan sama pegawai di pengadilan. Kalau pakai jasa pengacara, mahal." Kembali Dwi meyakinkan Laras agar mengurus sendiri.
"Iya mbak, aku juga gak punya uang untuk bayar jasa pengacara. Bismillah, insyaallah besok aku akan ke pengadilan agama untuk mengurusnya." Sambung Laras dengan semangat dan harapan besar.
"Jangan lupa siapkan berkas berkasnya, seperti KTP, KK, buku nikah dan juga surat pengantar dari RT." Sambung Dwi serius.
"Iya mbak, terimakasih banyak ya informasi nya, kalau mbak Dwi gak kasih tau, mungkin aku akan tetap ragu karena ngira biayanya mahal." Sahut Laras dengan menatap dalam wajah cantik wanita yang ada di depannya.
Setelah berbincang bincang cukup lama, akhirnya Laras kembali meneruskan langkahnya untuk berbelanja di toko yang ada di sebelah rumahnya Dwi. Setelah selesai belanja, Laras melajukan kendaraan roda duanya menuju tempat les Luna yang terletak di desa sebelah.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Waktu terus berjalan, Laras sudah memasukkan gugatan ke pengadilan agama. Dan saat ini sudah sidang kedua. Ketidak hadiran Bimo membuat sidang berjalan mulus. Laras tidak menuntut apapun di gugatannya. Baginya, cukup memiliki status yang jelas tentang hubungannya dengan Bimo. Biarlah menjanda, asal tidak merasakan tekanan batin lagi. Bahkan sudah dua bulan lebih Bimo juga tak kunjung pulang dan kabarnya juga tidak ada sama sekali.
"Bu, ada budhe sama mas Rangga." Luna mendekati ibunya yang tengah berada di dapur, Laras sedang menggoreng pisang yang kemarin dikasih oleh Mbah Sayem tetangganya yang selalu baik terhadapnya.
"Suruh masuk, biar ibu buatkan minum dulu." Sahut Laras biasa saja, dan mengambil panci kecil untuk merebus air.
"Sudah kok, Bu. Budhe sama mas Rangga sudah duduk di dalam." Sahut Luna dengan ceria.
"Oh, yasudah. Luna temani budhe sama mas Rangga dulu ya. Setelah buat minuman ibu kesana." Sahut Laras santai, dan kebetulan hanya tinggal satu goreng lagi, pisang goreng buatannya selesai. Luna mengangguk dan kembali menemui budhe dan anaknya. Gadis remaja itu sangat bahagia menyambut kedatangan Rani, karena memang Rani selalu bersikap baik pada Luna selama ini.
"Ibu masih goreng pisang budhe, katanya sudah hampir selesai kok. Ibu juga lagi bikin teh hangat buat budhe juga mas Rangga. Nanti sebentar lagi ibu kesini." Cerocos Luna dengan polosnya.
"Iya, budhe juga capek. Mau istirahat sebentar, itu oleh oleh buat Luna, buka dan bagi sama yang lain ya." Sahut Rani yang menunjuk kardus yang dia letakkan diatas meja.
"Ini apa budhe?" Tanya Luna penasaran dengan mata berbinar.
"Yang di kardus itu kue bolu buatan budhe sendiri. Dan yang di kantong kresek putih itu jajan khusus untuk Luna, tadi budhe beli di mini market." Sahut Rani dengan sabar, meskipun sikap serakahnya menjengkelkan, tapi Rani punya rasa empati begitu besar pads Luna. Rani selalu memperlakukan Luna dengan baik.
"Ini mbak, teh nya diminum dulu. Pisang gorengnya juga masih panas, maaf gak tau kalau mau kesini, jadi gak siapin apa apa." Laras datang dengan nampan berisi dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng.
"Wah ini enak, pisang goreng kesukaanku." Rangga yang sedari tadi diam saja langsung bereaksi setelah di suguhi pisang goreng yang menjadi makanan kesukaannya.
"Habisin, Ga. Di dapur masih banyak, mau makan? Mbak Laras masak sayur asem sama goreng ayam." Sahut Laras yang bersikap ramah menjamu kedatangan Rani dan anaknya. Meskipun hatinya berdebar, karena sudah paham maksud kedatangan Rani.
"Budhe, Luna mau ke kamar dulu ya, mau nonton tivi. Ini jajannya Luna bawa ya?" Luna dengan riang membawa satu kantong kresek berisi jajanan kesukaannya ke kamarnya setelah mendapat anggukan dari Rani.
"Ras, kamu pasti sudah tau maksud kedatanganku ke sini." Rani membuka obrolan dengan wajah serius, Laras memasang wajah biasa saja untuk menutupi kegundahan hatinya. Berharap tidak ada kekacauan antar saudara nantinya, karena bagaimanapun yang akan dibicarakan adalah masalah yang sangat sensitif.
"Iya, mbak. Aku ya ngikut saja apa yang mbak putuskan, karena memang mungkin aku tidak berhak atas rumah ini. Tapi tolong, sebisa mungkin jangan ada pertengkaran masalah rumah ini dengan saudara yang lain, karena bagaimanapun kita masih keluarga." Sahut Laras yang nampak berusaha keras untuk tetap tenang. Sedangkan Rani nampak menyipitkan matanya dengan dahi dilipat sempurna.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..