Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12.
Mustafa Akmal langsung berdiri, "Apa kamu yakin?!" Serunya terkejut.
Walaupun secara medis penyakit ayahnya tidak bisa dideteksi tapi dokter spesialis penyakit dalam di Singapura, dr. Robert memang pernah mengemukakan sebuah hipotesis seperti yang dikatakan oleh Mumu barusan. Cuma karena pendapatnya tidak didukung oleh data (penyakitnya tidak bisa dideteksi oleh alat-alat medis) sehingga pada waktu itu dr. Robert akhirnya menyerah atas hipotesisnya.
Bagaimana Mustafa Akmal tidak terkejut dengan kenyataan ini. Seorang anak muda yang entah datang dari mana dan masih sangat muda bisa mendiagnosa penyakit ayahnya sesuai dengan hipotesis seorang dokter spesialis dari luar negeri.
Walaupun terkejut, Mustafa Akmal tidak langsung percaya seratus persen.
"Apakah ada kemungkinan penyakit ayah kami bisa diobati, Dik?"
Saudara-saudaranya yang lain sontak memandang ke arah Mumu. Begitu juga dengan Buk Husnalita, ibu mereka.
Ada sedikit pengharapan di sana walaupun masih banyak keraguan di hati mereka akan kemampuan Mumu.
"Kalau sekedar meringankan rasa sakit..."
"Aduuh..." Kata-kata Mumu terpotong oleh rintih kesakitan yang keluar dari bibir Pak Surya Atmaja.
Rupanya dia terbangun karena rasa sakit yang menyengat dadanya.
Serempak Mustafa Akmal, Ibu dan saudaranya mendekati kasur.
"Yah..." Buk Husnalita mencoba memegang dada suaminya berharap tindakannya bisa mengurangi sakit yang diderita suaminya.
Anak-anaknya yang lain hanya bisa memandang atau memijit sekujur tubuh ayah mereka tanpa mampu berbuat apa pun.
"Coba panggil dokter, Randi!" Perintah Mustafa Akmal kepada adiknya.
"Bang, dokter keluarga kita sudah angkat tangan atas penyakit ayah. Dipanggil pun tak bisa juga, Bang. Percuma."
Mustafa Akmal pun tahu juga.
Dia melirik saudaranya yang lain, tapi mereka hanya bisa menunduk tanpa solusi.
Pandangan Mustafa Akmal beralih ke wajah Mumu, "Tadi kamu mau bilang apa, Dik? Meringankan apa tadi?"
"Jika diizinkan Insya Allah saya bisa sedikit meringankan sakit orang tua Bapak."
"Lakukan saja Mumu! Mana tahu dengan perantaraan kamu, kondisi Ayah bisa agak baikan. Kasihan lihatnya." Ujar Randi. Di antara saudara-saudaranya, dia yang paling percaya kepada Mumu.
Mustafa Akmal memandang ibunya, setelah mendapat persetujuan ibunya, dia berkata kepada Mumu, "Lakukan saja sesuai kemampuan kamu, Dik! Apa pun hasilnya kami sekeluarga sangat berterima kasih."
"Baik, Pak."
Mumu kembali mendekati pembaringan pak Surya Atmaja. Setelah mengatur nafas dan mengembalikan tingkat konsentrasinya, Mumu menyalurkan sedikit tenaga ke jari-jarinya dan langsung melakukan semacam totokan di titik-titik syaraf Pak Surya Atmaja.
Buk Husnalita dan anak-anaknya menahan nafas. Berdebar. Mereka takut kondisi orang yang mereka sayangi bertambah parah.
Tapi untunglah kekhawatiran mereka tidak berdasar. Mereka melihat Pak Surya Atmaja tidak mengeluh lagi. Bahkan nafasnya sudah tenang.
Tak lama kemudian pak Surya membuka matanya dan melihat anak-anak dan istrinya berkumpul di sisinya. Pak Surya menarik nafas panjang-panjang.
Sakitnya sudah jauh berkurang.
Sambil menangis haru Buk Husnalita mendekati suaminya.
"Jangan menangis, Bu. Aku tidak apa-apa." Pak Surya menenangkan dirinya.
Pak Surya mengalihkan pandangannya ke arah Mumu dan berkata, "Nak siapa nama kamu? Terima kasih banyak atas bantuannya. Tanpa bantuan kamu entah apa yang akan terjadi pada diri saya." Walaupun dalam keadaan sakit Pak Surya masih menyadari apa yang dilakukan oleh Mumu.
Di hatinya selain terkejut dengan kemampuan Mumu, dia juga tak menyangka bahwa masih ada ilmu pengobatan akupuntur di zaman serba canggih ini.
Yang dia tahu ilmu pengobatan ini hanya populer di negara Cina.
Jangankan Pak Surya, sedangkan Mustafa Akmal dan saudaranya masih tercengang hingga kini.
Mereka bukanlah orang tanpa pengalaman hidup. Mereka sudah sering ke luar negeri dan bertemu banyak hal aneh. Tapi mereka masih sangat terkejut dengan semua tindakan Mumu dan tercengang dengan hasilnya. Walaupun mereka sangat gembira akan hasilnya.
Tanpa sadar mereka menoleh ke arah Randi dan menganggukkan kepalanya.
Karena Randilah yang telah membawa pemuda yang luar biasa ini ke sini.
"Saya Mumu, Pak. Saya temannya Bang Randi. Tak perlu Bapak berterima kasih, saya hanya bisa melakukan apa yang bisa saya lakukan." Jawab Mumu sopan. "Lagi pula ini hanya bersifat sementara." Lanjutnya.
"Walau cuma sementara hal ini tidak mengurangi rasa terima kasih saya kepadamu, Nak." Ujar pak Surya. "Kamu boleh meminta apa pun. Selama saya mampu pasti akan saya penuhi." Janjinya.
"Saya tidak meminta imbalan apa-apa, Pak. Sudah bisa sedikit menolong dan berkenalan dengan keluarga Bapak sudah menjadi suatu kehormatan bagi saya. Insya Allah kondisi Bapak bisa bertahan selama satu bulan ke depan. Saya mohon izin dahulu, Pak, Buk." Randi pamit mau undur diri.
"Jangan tergesa-gesa, Nak!" Cegah Buk Husnalita. "Randi bawa nak Mumu makan dulu ya!"
"Baik, Bu. Ayo Mumu!" Randi keluar bersama Mumu dan membawanya ke ruang makan.
Sepeninggal Mumu, buk Husnalita berpaling ke Mustafa Akmal dan saudaranya dan berkata, "Siapkan hadiah untuk Mumu, Nak! Walaupun Ibu melihat keikhlasan di wajahnya, tapi tak mungkin kita tidak memberikan apa-apa atas anugrah yang telah dia berikan untuk keluarga kita."
"Siap, Bu. Kalau begitu kami izin keluar dahulu." Mereka bertiga lalu ke luar dengan beriringan.
Saat ini Mumu dan Randi sedang makan.
Bermacam-macam lauk-pauk yang tersedia di meja. Membuat Mumu yang pada awalnya ingin menolak tapi tak jadi.
Ia makan dengan lahap. Baru ia menyadari bahwa ia sangat lapar.
Randi hanya tersenyum melihat tingkah Mumu.
"Tambah lauknya, Mumu. Daging angsa ini enak lho." Randi mengangsurkan daging ke piring Mumu.
"Terima kasih, Bang." Mumu melahapnya.
Memang enak. Mumu jadi ingin nambah lagi rasanya.
"Terima kasih karena kamu telah mengobati Ayah, Mumu. Ilmu pengobatan kamu sangat luar biasa. Abang salut sama kamu."
"He he bisa saja Abang memujinya. Aku jadi tambah lapar, Bang." Mereka berdua tertawa bersama.
"Walaupun hanya satu bulan itu sudah cukup mengembirakan bagi kami. Kami tak perlu lagi melihat Ayah yang menderita menahan sakit setiap kali penyakitnya kambuh."
"Sebenarnya bisa lebih dari itu, Bang. Cuma aku belum punya alatnya sehingga tak bisa mengobati orang tua Abang." Mumu menyudahi makannya. Sekarang ia sudah kenyang.
"Bagaimana caranya dan apa nama alatnya, Mumu? Mana tahu abang bisa carikan." Ujar Randi dengan penuh semangat.
"Jarum akupuntur perak, Bang. Harus dari bahan perak agar kualitasnya terjamin. Cuma masalahnya aku tak tahu apakah ada jual di Selatpanjang ini." Jawab Mumu.
Sebenarnya jika pun ada, Mumu belum bisa membelinya untuk saat ini. Jarum akupuntur perak pasti sangat mahal. Keuangan Mumu masih sangat jauh untuk bisa membelinya.
"Jarum akupuntur perak ya." Randi tampak serius memikirkannya.
Ini suatu peluang bagi kesehatan ayahnya. Dia pasti harus berusaha untuk mendapatkannya. Tak peduli di mana harus mencarinya. Harga bukan masalah bagi Randi.
Raminten