Dijual Suami, Dinikahi Kakak Ipar (Mafia Dan Perawat Muslimah)

Ketika sang suami membuka pintu, Emelia yang memakai piyama lengan panjang warna putih mengejutkannya dari balik pintu. Emelia yang tak memakai hijab tersenyum manis dengan rambut lurus panjang agak berantakan menutupi sebagian wajahnya.

Kenzo balas tersenyum kecil, tapi ketika ia masuk agak melipir lantaran pintu kamar hanya sedikit dibuka, ia refleks meringis menahan sakit di punggung maupun bok.ongnya. Kenyataan tersebut juga yang membuat Emelia kehilangan senyumnya.

“Kakak luka lagi? Sebelah mana?” lirih Emelia terdengar menyedihkan bahkan di telinganya sendiri. Ia merangkul pinggang Kenzo untuk beberapa saat, tapi kemudian segera memutarinya dan memastikannya.

“Aku baik-baik saja. Aku mandi dulu. Asap rokok bahkan alkohol menempel di tubuhku,” sergah Kenzo bergegas meninggalkan Emelia.

Kenzo melangkah lebar sekaligus cepat layaknya biasa. Namun kali ini, ia melakukannya sambil agak meringis menahan sakit bekas tabrakan Endah.

“Kak, ... memangnya beneran enggak bisa? Memangnya enggak ada cara lain biar Kakak bisa keluar dari dunia mafia? Pelan-pelan lah Kak,” lembut Emelia sambil menyusul Kenzo.

Kenzo yang sudah ada di depan pintu kamar mandi di dalam kamar mereka berangsur berhenti melangkah. Ia menghela napas pelan sekaligus dalam. “Berani kamu mencampuri urusan pribadiku, ... aku tak segan untuk membunuhmu! Tak peduli meski aku pernah menolongmu bahkan sekarang aku sudah menjadi suamimu!” ucapnya.

Detik itu juga Emelia berhenti melangkah. Ia tak menyusul Kenzo lagi, dan Kenzo menyadarinya. Alasan yang juga membuat Kenzo masuk ke dalam kamar mandi. Tepat ketika Kenzo balik badan untuk menutup pintu kamar mandi. Selain Emelia yang kesakitan sambil meremas perut menggunakan kedua tangan, Kenzo yang kebetulan masih menghadap ke Emelia juga menyaksikannya.

“Sakit banget!” rengek Emelia membiarkan tubuhnya dibopong oleh sang suami.

Kenzo yang panik dan sangat khawatir, berangsur merebahkan tubuh Emelia ke tempat tidur. “Kamu salah makan apa bagaimana? Aku ambil alat medis bentar—” Kenzo tak jadi pergi. Karena kedua tangan Emelia meraih kemudian membingkai wajahnya.

“Ini bibi,” lirih Emelia sambil mengusap-usap gemas bibir Kenzo. “Ngomongnya mulai disaring. Mau bunuh aku gimana kalau aku diem saja, Kakak sudah khawatir?” lembutnya sambil menatap heran sang suami. Kemudian ia sengaja agak duduk dan mellumat bibir bawah Kenzo yang sampai ia sesap. Kenzo sempat langsung membalasnya, tapi itu hanya sementara.

“Jadi, kamu enggak sakit?” lirih Kenzo menyikapi Emelia penuh keseriusan.

Emelia yang masih membingkai wajah Kenzo berangsur menggeleng. Detik itu juga Kenzo tampak sangat lega. Kemudian, Emelia sengaja mendekap erat tengkuk Kenzo menggunakan kedua tangannya. Emelia sengaja membuat Kenzo menindih tubuhnya sambil terus memeluk gemas sang suami.

“Jangan pura-pura sakit seperti tadi lagi. Jantungku seperti langsung copot,” ucap Kenzo marah tapi lirih khas orang yang sangat khawatir.

“Ya makanya, Kakak pelan-pelan. Dibiasakan biar bisa. Soalnya kalau sudah dibiasakan bengis seperti tadi, ke Alesha pun, Kakak bisa kasar,” lembut Emelia sambil mengusap-usap kedua lengan Kenzo. Kenzo mengungkungnya dan tak lagi menindihnya. Karena andai Kenzo masih menindih Emelia pun, Emelianya yang pasti tidak kuat.

Seperti biasa, Kenzo akan mengalihkan perhatian di setiap Emelia mengajaknya bicara serius mengenai pekerjaannya sebagai mafia.

Namun seperti niatnya, Emelia sengaja merengkuh hati Kenzo. Ia menyirami suaminya itu dengan banyak kasih sayang.

“Jadi, awal mula Kakak bisa jadi mafia bagaimana?” lembut Emelia penasaran.

Kedua tangan Emelia memang melepas setiap kancing kemeja hitam Kenzo. Namun kedua matanya terus menatap Kenzo penuh cinta. Bahkan meski Kenzo cenderung terus membatasi interaksi mata mereka.

“Investasi. Aku kena tipu. Miliaran. Jangan menyayangkan kenapa aku enggak minta bantuan polisi saja ketimbang jadi seperti sekarang. Lagu lawas pihak hukum di negara kita bisa bikin rakyatnya kena mental,” ucap Kenzo masih belum berani menatap kedua mata Emelia secara terang-terangan.

“Sudah bisa nutup kan?” lembut Emelia.

Karena Kenzo akan meninggalkannya, Emelia sengaja merengkuh tengkuk sekaligus punggung Kenzo. Emelia benar-benar tak membiarkan Kenzo pergi. Kemudian, Emelia sengaja mengecup bahkan menyesap kuat leher kiri Kenzo. Kenzo refleks memejamkan kuat kedua matanya. Merasakan sensasi layaknya disetrum dan memang membuatnya ketagihan hingga ia buru-buru ingin pulang.

Jantung Kenzo yang sempat dikatakan seperti copot gara-gara Emelia kesakitan, jadi makin tak karuan. “Jangan menggodaku terus-menerus! Sudah, ayo langsung saja!” sebal Kenzo yang buru-buru membalas Emelia. Ia membuat Emelia kembali berbaring kemudian menciuminya, tapi istrinya itu jadi sibuk menahan senyum dan terkesan akan menertawakannya.

••••

“Jadi, memang enggak bisa benar-benar keluar, ya?” lembut Emelia sambil menyuapi Kenzo makan menggunakan tangan tanpa sendok maupun sejenisnya.

Sampai besoknya, Emelia sengaja terus mendekati Kenzo. Ia mencoba membuat Kenzo menceritakan semuanya kepadanya. Agar Kenzo tak membutuhkan orang lain untuk berkeluh kesah, selain kepadanya.

“Enggak. Justru bahaya buat aku maupun orang-orangku,” balas Kenzo masih cuek, tapi ia sengaja membantu sang istri minum. Karena selain menyuapinya nasi liwet kepadanya, Emelia juga sambil makan sendiri. Mereka makan sepiring berdua menggunakan menu nasi liwet buatan Emelia.

Untuk urusan rasa masakan dan segala racikan buatan Emelia, tentu jangan ditanya. Karena berbeda dengan Bella yang tak bisa masak bahkan sekadar mengenal perbumbuan dapur, Emelia sangat pintar memasak. Terlebih sejak kecil, Emelia yang dididik dengan kejam oleh ibu Latifah, sudah terbiasa beberes rumah maupun memasak. Boleh dibilang, Emelia merasakan derita anak kedua hanya karena dianggap tidak seistimewa anak pertama. Padahal, setiap anak bahkan kehidupan selalu memiliki keistimewaan.

Mungkin, dulu bahkan beberapa hari lalu Emelia mengutuk ulah sang ibu yang memperlakukannya layaknya pembantu. Namun kini, ada sisi lain yang Emelia petik. Karena berkat terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga, ia juga bisa memanjakan suaminya dengan aneka olahan lezat hingga kenyang.

“Kakak bilang kan, kalau jadi mafia yang biasa, kurang menonjol, bakalan sepi job dan itu sama saja enggak menghasilkan. Namun yang begini, biasanya jauh lebih aman ketimbang jadi pimpinan. Pimpinan selalu dijadikan target pen.yerangan, meski dia punya banyak keuntungan.” Emelia menjelaskan seperti yang dini hari tadi, sudah sempat Kenzo jelaskan.

Meski hanya diam, Kenzo yang menyimak kemudian kembali menerima suapan dari Emelia, berangsur mengangguk. Kedua matanya tidak bisa untuk benar-benar berpaling dari wajah cantik tanpa rias milik Emelia. Rias tipis yang sempat mempermanis di sana sudah luntur akibat keringat dari kesibukan Emelia memasak. Termasuk juga dengan hijab kuning yang Emelia pakai dan sampai agak basah karena keringat.

“Kenapa enggak dari dulu, ya? Aku sama Emelia saja. Khalisa langsung dengan Kenan saja. Kalau kayak gini, kasihan Alesha. Alesha pasti merasa berat buat menerima kenyataan ketika kami sedang enggak bareng-bareng!” pikir Kenzo yang merasa mendadak jadi bayi karena terus dimanjakan bahkan diuwel-uwel oleh Emelia.

“Hari ini, Kakak enggak pergi?” tanya Emelia akhirnya beres menyuapi Kenzo. Ia mencuci tangan kanannya di mangkuk berisi air khusus.

Kenzo yang meminum air putih berisi es batu berkata, “Gimana mau pergi kalau kamu nempel terus?”

Nada suara Kenzo yang lirih dan terdengar sangat putus asa, membuat Emelia tidak bisa untuk tidak tertawa. Saking gelinya, tawa Emelia sampai tak disertai suara.

“Iya ah ... aku bakalan nempel ke Kakak terus biar Kakak betah di rumah!” ucap Emelia di sela tawanya. Ia dapati, sang suami yang memalingkan wajah hanya karena tersipu malu.

“Jangan pergi dulu,” rengek Emelia langsung meraih sebelah tangan Kenzo menggunakan tangan kirinya. Ia membuat sela jemari mereka saling mengisi. “Kita telepon Alesha. Harusnya jam segini sudah pulang sekolah. Kita telepon ya.” Emelia segera menggunakan ponselnya untuk menghubungi sang anak sambung.

“Rugi sih kalau punya istri yang bikin adem kayak Emelia, tapi hanya didiemin,” batin Kenzo berangsur memangku Emelia tapi ia buru-buru menurunkan Emelia lagi ke tempat duduk. Sebab dari seberang, Alesha sudah menyapa dengan heboh ceria layaknya ketika bocah itu berkomunikasi dengan Emelia.