Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 35 ~ Hanya Satu Macam
“Mas, lepas ih!” Dara berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Pandu.
“Nggak bisa, udah lengket. Coba aja kalau nggak percaya.” Pandu mengangkat tangan kirinya yang menggenggam erat jemari Dara.
“Jangan pake tenaga dalam dong, tenaga biasa aja,” ejek Dara masih berusaha melepaskan tangan Pandu.
Sudah berada di beranda kediaman Jaya, tidak ingin masuk rumah masih dengan kondisi begitu dan dilihat oleh yang lain. Ia belum siap menjadi cecaran pertanyaan atau disudutkan karena kedekatan bersama putra kedua keluarga Mahendra.
Pandu hanya tersenyum simpul melihat usaha Dara, hampir tergelak saat gadis itu mengingatkan kalau ia pernah kalah tidak bisa mengelak dari pukulan di hidung.
“Mas, lepas!”
“Kalau dilepas, aku dikasih apa?”
“Ucapan terima kasih.”
“Aku tidak butuh itu. Yang lain dong,” ujar Pandu lagi sengaja menggoda dan mengulur waktu.
Dara menatap sekeliling, sebagian lampu pekarangan dan carport sudah dimatikan. Hanya ada suara dan aktivitas dari pos petugas keamanan di dekat gerbang utama. Penghuni rumah yang lain pasti sudah tidur, apalagi saat ini hampir tengah malam.
“Ck, cepat lepas. Aku sudah ngantuk banget ini.”
“Ya ayo, kita ke kamar kamu.” Pandu sudah melangkah, tapi dihentikan oleh Dara.
“Jangan ngaco Mas, ngapain juga ke kamar aku.” Tidak berhasil melepaskan tangan Pandu, Dara memilih pinggang pria itu dan menggelitiknya. Tidak berhasil, malah Pandu menarik tangannya membuat tubuh Dara ikut tertarik dan menabrak tubuh Pandu.
“Apa balasannya kalau aku lepaskan?”
“Potong rambut gratis, gimana?”
Pandu berdecak pelan, lalu mengalungkan tangan satunya pada pinggang Dara. Wajahnya agak menunduk menatap wajah Dara. Fokus tatapannya, tentu saja bibir yang tampak selalu menggoda. Usaha untuk menghilangkan pikiran dewasa bersama gadis itu sepertinya tidak berhasil, bahkan membangkitkan sesuatu di bawah sana.
Menelan saliva lalu memejamkan matanya dan menjauhkan tubuh Dara. Jika ia nekat memagut bibir gadis itu, tentu saja jadi masalah. Ada CCTV. Interaksi mereka disaksikan oleh seseorang, lewat jendela utama. Bahkan kedua tangannya mencengkram teralis dan gorden yang disingkap.
“Si4lan.”
Melihat Pandu dan Dara sudah ancang-ancang akan ke dalam, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
“Jangan lupa, pintu kamarnya dikunci,” titah Pandu ketika ia menutup pintu depan dan Dara sudah berjalan menjauh.
“Pastilah, disini berbahaya ada pria yang suka menyelinap ke kamar anak gadis.” Dara mengejek Pandu yang menjawab dengan kekehan pelan.
Pandu memastikan keamanan Dara, ia mengikuti tanpa disadari gadis itu. memastikan masuk kamar tanpa ada halangan dan gangguan. Entah mengapa perasaannya tidak enak, kedekatannya dengan Dara akan menimbulkan konflik. Bukan konflik terkait restu, tapi hal lain. Dia tidak khawatir dengan Jaya yang akan menolak atau mendukung hubungannya dengan Dara, karena sudah menjadi kesepakatan kalau Jaya tidak akan mengganggu urusan pribadinya. Termasuk juga keterlibatan di perusahaan, tanpa ada paksaan meskipun harapan Jaya sudah sangat lama agar tidak dikuasai semua oleh Surya dan Harsa.
Ceklek.
Dara memastikan pintu kamarnya terkunci lalu menatap sekeliling kamar mencari sesuatu untuk menahan pintu. Mendorong kursi meja rias dan sofa tunggal untuk menahan agar pintu tidak mudah dibuka meski tidak terkunci.
Pandangan Dara tertuju pada sapu di depan toilet. Sepertinya asisten rumah tangga lupa membawa kembali waktu membersihkan kamar itu. Gagang sapu digunakan untuk menahan handle pintu.
“Ah, ini baru aman,” gumam Dara lalu menuju toilet.
Seteleh membersihkan diri dan mengenakan piyamanya, ia pun berbaring di ranjang dan mengganti lampu kamar dengan lampu tidur yang lebih temaram.
Sedangkan di kamar Pandu, pria itu berada di bawah guyuran shower. Mendinginkan tubuh dan kepalanya karena gair*h yang sempat muncul.
“Bahaya,” ucap Pandu dengan kepala menunduk dan kedua tangan bertumpu pada dinding. Air masih mengalir di atas kepalanya. “Dara bisa buat aku gil4.”
***
Sudah lewat pukul satu pagi, tapi Pandu belum ada rasa kantuk sedikitpun. Sudah berkali-kali merubah posisi tidur, tapi tidak berguna. Ia menghela nafas setelah beranjak duduk lalu mengacak rambutnya frustasi.
Beranjak turun dari ranjang dan mengambil kunci dari laci nakas. Dengan senyum smirk ia berjalan menuju pintu, kemudian berhenti. Tujuannya adalah kamar Dara, tapi mengingat ucapannya tadi bisa jadi Dara sudah memikirkan cara agar ia tidak bisa menyelinap.
Tidak habis akal, Pandu menuju ruang kerja Jaya mengambil kunci lainnya. jika rumah bagian depan terdiri dari dua lantai, termasuk kamar Pandu yang berada di lantai dua. Dara tinggal di area rumah belakang milik Surya. Hanya satu lantai, tapi cukup luas dan ada koridor penghubung agar tidak perlu keluar rumah untuk menuju rumah bagian depan dan belakang.
Sempat memastikan tidak ada yang melihatnya berada di depan kamar Dara, Pandu memutar kunci dan menekan handle pintu. Namun, berkali-kali ditekan, gagang pintu terasa keras.
“Shitt, dia apakan pintu ini.”
Tidak ingin rencananya gagal, Pandu pun keluar rumah dan memutar. Tujuannya adalah pintu teras kamar Dara. Merasa dirinya cerdas karena sudah menduga akan hal itu, Pandu dengan mudah membuka pintu teras dengan kunci yang dibawanya.
“Ha-ha, aku lebih cerdas, sayang,” gumam Pandu lalu kembali menutup pintu kaca tersebut dan menguncinya. Pandangannya tertuju ke arah pintu, pantas saja susah dibuka karena ada penghalang dan gagang sapu.
Meski pencahayaan temaram, Pandu bisa melihat wajah Dara yang terlelap damai. Pria itu mendekat dan berjongkok di sisi ranjang di mana Dara berada. mengusap pelan wajah itu lalu mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Dara.
Rencana hanya itu. Memastikan Dara sudah tidur dan mencium sekilas sebagai penghantarnya untuk tidur, Pandu tergoda untuk mengulang kembali tidur bersama Dara. Ia menaiki ranjang dan berbaring di sebelah Dara dengan pelan agar tidak membuat gadis itu terjaga.
“Hanya tidur sayang, hanya tidur,” ucapnya lalu merebah dan menguap, tidak lama ia pun terlelap.
Entah jam berapa, alarm ponsel Dara cukup mengganggu.
“Ra, ponselmu.”
“Hm.” Dara hanya bergumam merasakan tangan di wajahnya dan suara memanggilnya.
“Ra!”
“Iya Bu, sebentar lagi. Masih ngantuk.” Alarm masih terus berbunyi, juga gumaman kesal. Dahi Dara mengernyit, lalu mengerjap pelan. kedua bola matanya membola menyadari ada tangan di wajahnya.
Ia pun beranjak duduk dan berteriak, sontak Pandu ikut bangun lalu membekap mulut Dara.
“Jangan teriak!”
Dara mendorong tubuh Pandu. “Mas Pandu, kenapa bisa masuk. Pintunya ‘kan diganjal,” seru Dara dan menoleh ke arah pintu. Barang yang digunakan untuk menahan pintu, masih ada di sana.
“Cinta, akan menemukan jalannya,” ujar Pandu lalu menguap.
“Jalan kepalamu,” sahut Dara lalu memukuli Pandu dengan bantal. “Pasti sudah macam-macam ‘kan?”
“Hanya satu macam, sayang.”
“Aaaa.”
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Panda oh Panda 🥰🥰🥰🐼
bener 2 meresahkanb dara fdan pandu
terbucin bucinlah kamu..
pegalan katacdisetiap kalimatmya teratur dan ini udah penulis profeaional banget , aku suka npvel seperti ini simple yo the point dan tak bertele tele..aku suka🥰🥰💪