Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Kena mental
Gladys merajuk saat kubentak. Menit berikutnya dia sudah terisak karena kuabaikan. Hoalah! Makin palak kurasa melihat tingkah Gladys yang seperti anak kecil. Tapi aku memang gak tegaan klo melihat wanita menangis. Gladys tau betul itu. Buyar sudah konsentrasiku untuk bekerja. Langsung kututup leptop.
"Ya sudah, ayo kita beli." dengusku kesal. Isak itu lantas terhenti, berganti senyum semringah. Dia langsung memelukku. Membuat emosiku perlahan luntur.
"Kita kemana?" ucapku saat melaju dijalan raya. Gladys menyebut sebuah tempat yang menjadi pusat perbelanjaan elit di kota ini. Setelah memarkir mobil, Gladys menggandeng lenganku naik kelantai dua. Suasana sepi karena masih jam kerja.
Kami sudah keluar masuk toko, namun gaun yang dia inginkan belum juga ada yang cocok. Aku sudah mulai habis kesabaran, belum lagi kaki yang terasa pegal.
"Kita kemana lagi?" kesahku setelah keluar dari toko yang ketujuh. Gladys memutar tubuhnya, mencari toko atau butik yang mengena di hatinya. Padahal tadi dia ngomong sudah melihat gaun itu. Berarti tinggal beli saja, bukan keliling seperti ini lagi.
"Kesana ya, Bang." dia menunjuk sebuah butik diseberang kami.
"Ini yang terakhir ya?" ringisku seraya menatap tajam.
"Iya," cebiknya manja. Akhirnya kami memasuki butik dengan desain logo yang sangat menarik. Firasatku butik yang kami masuki ini bukan sembarang butik. Penataan barang-barang yang berjejer rapi di etalase, serta hiasannya sungguh menyejukkan mata. Membuat betah berlama-lama.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Mbak?" seorang pelayan menyapa kami dengan ramah. Aku membalas senyumnya dan mengitari seisi ruangan dengan mataku.
Saat itulah aku melihat sosok yang tidak asing, sedang memeriksa beberapa pakaian yang dikenakan manekin.
"Rania," desisku tak sadar plus heran untuk apa Rania berada disini. Apakah dia sedang bekerja atau sedang memilih pakaian.
"Liat siapa, Bang?" Gladys menatapku heran lalu mengikuti arah pandanganku.
"Rania, ngapain dia disini?" ucap Gladys sinis.
"Jangan bertingkah macam-macam Dys." kuperingatkan Gladys.
"Hem, ternyata dia bekerja disini ya?" nada suara Gladys penuh ejekan. Entah apa yang melintas dibenaknya saat dia menarikku menghampiri Rania.
"Kita pulang saja, atau cari toko lain." Tepisku saat Gladys menggandeng lenganku.
"Tidak, aku ingin belanja disini saja." Bagai kerbau dicocok hidungnya aku terpaksa menuruti kemauan Gladys.
"Ahai, lihat siapa yang tengah bekerja keras. Kasihan."
"Maksud kamu apaan Dys!" sentakku. Sepertinya Gladys sengaja memanas manasi, Rania.
"Eh, Rania, ngapain kamu disini? Belanja ya?" sapaku sedikit rikuh.
"Belanja? Palingan juga nguli, Bang." Gladys menutup mulutnya sambil tertawa. Jelas sekali mencari gara-gara.
"Eh, Bang Ardi." sahut Rania kaget. Mungkin tidak menyangka pertemuan ini. Apalagi aku bersama Gladys. Tapi, kenapa reaksi Rania seperti ini cuek dan datar, tanpa emosi.
"Kamu kerja disini ya. Bukannya di Berkat Fashion?" telisikku keheranan.
"Iya, aku disuruh mencek stok barang. Kenapa?" Rania balik menatap tajam ke arah kami.
"Oh ya, ternyata kamu cuma pelayan toko toh. Dih, gayamu selama ini sombong banget."
"Emangnya ada yang salah menjadi pelayan toko!" nada suara Rania santai. Tangannya begitu lincah memeriksa setiap detil pakaian.
"Sudah Dys, kalau gak ada yang cocok kita pindah saja." Aku menarik lengan Gladys, tidak ingin Gladys berbuat onar di butik ini.
"Eh, apaan sih Bang. Aku kesini mau belanja. Ra, ambilkan gaun yang itu, Bang Arbi mau ngasih hadiah untukku," ucap Gladys pongah.
"Mitha, tolong ladeni mereka." Rania malah memanggil seorang pelayan toko.
"Eh, Rania. Aku ingin kamu yang meladeni kami. Pembeli itu adalah raja, jadi kamu harus meladeni kami." Aku mulai curiga melihat sikap santai Rania. Apa dia tidak takut kena marah Bosnya karena tidak meladeni kami.
"Maaf Bu, biar saya ambil alih saja. Bu Rania sedang ada tugas penting." Imbuh Mitha. Rania mundur dengan membawa catatan ditangannya. Aku melirik sekilas, Rania masuk kedalam sebuah ruangan. Mungkin gudang.
"Huh! Dasar pelayan toko lebay. Tidak kusangka kalau Rania kerja disini Bang. Sombong sekali tingkahnya.
"Sudah, kamu cepatlah milih gaun. Aku mau ke kantor lagi." Aku mengingatkan Gladys. Seketika moodku menemani Gladys belanja, ambyar. Aku merasa tidak enak karena ucapan Gladys yang menghina pekerjaan Rania.
"Aku milih yang itu," Gladys menunjuk gaun warna pastel di sudut ruangan. Gaun itu dipakai manekin dan dipajang dalam box kaca. Warnanya begitu lembut dan manis. Meski modelnya sederhana tapi elegant mengikuti lekuk tubuh manekin.
"Maaf Bu, itu gaun edisi limited. Produknya cuma dua, satu sudah terjual." jelas Mitha, "baiknya Ibu cari produk lain yang mirip Bu. Ada beberapa pilihan ukuran dan warna."
"Aku mau yang itu kenapa sih. Kamu pikir aku tidak mampu beli." Gladys sengaja menaikkan volume suaranya. Buat apa coba, pasti biar Rania mendengarnya.
Aku agak kesal juga dengan ucapan Mitha, seolah menilai kami tidak mampu beli gaun itu. Palingan juga ratusan ribu, batinku.
"Maaf Bu, harganya mahal." Mitha tetap bertahan dan meraih sebuah kotak dan membukannya.
"Ini Bu, model yang sama cuma berbeda bahan."
Aku melihat gaun itu tidak kalah cantik dengan yang di etalase. Sekilas memang mirip.
"Aku mau yang itu!" Gladys bersikeras. Akhirnya Mitha mengambil kunci etalase dan membukanya, " harga gaunnya mahal karena rancangan asli dari pemilik butik ini, Bu. Dan rancangan ini berhasil memenangkan event internasional dan menjadi trend setter fashion tahun ini. pruduknya cuma dua. Dan gaun ini bukan untuk dijual." Mitha kembali menjelaskan story gaun itu.
"Pokoknya aku mau gaun ini. Iya 'kan Bang?" aku menelan salivaku yang mendadak pahit. Sekarang aku paham apa maksud Gladys bertahan memilih gaun itu. Dia hanya mau memanasi hati Rania.
"Berapa harganya?!" Gladys memeriksa banner gaun itu. Kedua bola matanya membulat saat membacanya, "gila, masa segitu harganya!"
Penasaran, aku juga turut memeriksa bandrol harga yang tercantum. Seratus lima puluh juta!
'Hem, pantas saja. Dugaanku benar. Aku seperti kenal model gaun itu. Sebulan lalu putri seorang rekanan bisnisku ulang tahun. Dia memakai gaun yang mirip sekali dengan ini. Hanya beda warna saja.' guman batinku.
"Gimana, Bang, Adys pengen gaun itu." rengek Gladys membuatku keringat dingin. Bukan masalah harga barang itu. Aku tau kalau Gladys punya niat terselubung membeli gaun itu. Apalagi kalau bukan untuk membalas Rania.
"Mbak, harganya masih kurang, gak?" aku mencoba menawar gaun itu.
"Aduh, gimana ya Pak. Ini sudah harga pas. Tapi aku coba dulu ngomong sama Bos." Mitha masuk kedalam, dan muncul kembali bersama Rania.
Aku mengernyitkan dahi. Kok Rania lagi, bukankah Mitha bilang mau memanggil bosnya.
"Ada apa Pak!" ucap Rania formal seolah belum pernah mengenal kami.
"Gak usah deh sok formal begitu. Aku mau beli gaun ini." Gladys langsung ngegas.
"Oh, begitu. Bukannya Mitha bilang mau nawar harga?" Rania menatapku.
"Eh, i-iya."
"Maaf ya Pak, Bu. Harganya sudah tidak bisa kurang lagi." Gladys melongo, wajahnya memerah.
"Masak gak bisa. Tadi Mbak ini bilang mau tanya pada pemilik butik ini. Sok-sokan kamu yang jawab."
"Saya memang pemilik butik ini, Bu," ucap Rania tegas seraya tersenyum manis. Aku kaget tak kepalang. Bahkan Gladys sempat oleng, untunglah dia berpegangan ke etalase. ***
di bab sebelumnya itu pram lho thor
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor