Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Bisikan Malam di Istana
Malam di Istana Eradel terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru saja terkena embun. Langit malam dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi bisu dari intrik yang terus menggelayuti penghuni istana.
Ayla berdiri di balkon kamarnya, jubah tidurnya melambai-lambai di tiupan angin. Tatapannya tertuju pada hamparan hutan gelap di kejauhan, namun pikirannya melayang ke kejadian beberapa jam lalu. Arlen, dengan mata peraknya yang seolah mampu menembus kedalamannya, telah memicu sesuatu di hatinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—sebuah kombinasi aneh antara kekaguman dan kebingungan.
Di sisi lain, bayangan Kael terus mengisi pikirannya. Senyumnya yang hangat, perhatian tulusnya, serta keberanian yang selalu ia tunjukkan tak pernah gagal membuat hatinya terasa nyaman. Namun kini, dengan kehadiran Arlen, hatinya seperti terbelah dua. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam di balik pesona Arlen yang misterius, sesuatu yang membuatnya terus ingin tahu lebih banyak.
“Kau belum tidur, Ayla?” suara lembut Kael memecah keheningan. Ayla terkejut dan menoleh ke arahnya. Kael berdiri di pintu balkon, mengenakan pakaian tidurnya yang sederhana, namun tetap memancarkan aura keteguhan yang selalu melekat padanya.
“Tidak, aku hanya… sulit memejamkan mata,” jawab Ayla sambil tersenyum kecil. Kael mendekat, berdiri di sampingnya, memandang hamparan bintang di atas mereka.
“Banyak yang terjadi akhir-akhir ini,” ujar Kael pelan. “Aku tahu semuanya tidak mudah bagimu. Tapi aku ingin kau tahu, apa pun yang terjadi, aku akan selalu berada di sini untukmu.”
Kata-kata itu, meski sederhana, menyentuh hati Ayla. Ia menoleh dan menatap wajah Kael yang diterangi cahaya bulan. Di sana, ia melihat ketulusan yang tak tergoyahkan. Namun, di saat yang sama, ia tak bisa menghilangkan bayangan mata perak Arlen dari pikirannya.
“Kael, aku...” Ayla ragu sejenak, mencari kata yang tepat. “Aku bersyukur kau ada di sini. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”
Kael tersenyum lembut, namun sebelum ia bisa membalas, suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Ayla dan Kael menoleh bersamaan, dan tak lama kemudian, Arlen muncul dari bayang-bayang lorong.
“Maaf jika aku mengganggu,” katanya dengan nada tenang, namun matanya yang berwarna perak berkilauan dalam cahaya rembulan. “Aku ingin memastikan semuanya baik-baik saja.”
Ayla merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti udara di antara ketiga mereka. Kael menatap Arlen dengan pandangan tajam, sementara Arlen tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh keberadaan Kael.
“Kami baik-baik saja,” jawab Kael dengan nada datar, seolah ingin menegaskan posisinya. “Kau tak perlu khawatir.”
Arlen mengangguk perlahan, namun tatapannya beralih ke Ayla. “Bagus kalau begitu. Tapi, Ayla, jika ada sesuatu yang mengganggumu, kau tahu kau bisa berbicara denganku kapan saja.”
Ada kehangatan dalam suaranya yang membuat Ayla terdiam. Ia hanya bisa mengangguk kecil tanpa mengatakan apa-apa. Setelah beberapa saat, Arlen melangkah mundur, meninggalkan mereka dengan senyum tipis yang sulit diartikan.
Ketika Arlen menghilang di balik lorong, Kael menghela napas berat. “Aku tidak mempercayainya,” katanya dengan nada pelan, namun jelas terdengar penuh peringatan. “Dia mungkin terlihat ramah, tapi aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya.”
Ayla menatap Kael, merasakan konflik yang tumbuh di antara mereka. Ia tahu Kael hanya ingin melindunginya, namun ia juga tak bisa mengabaikan bahwa ada sisi lain dari Arlen yang membuatnya ingin mendekat. Malam itu, dengan perasaan yang bercampur aduk, Ayla kembali ke kamarnya, meninggalkan Kael di balkon, masih memandang ke arah di mana Arlen tadi berdiri.
Di dalam kamarnya, Ayla menatap cermin besar di sudut ruangan. Di pantulan itu, ia melihat dirinya sendiri—seorang gadis yang terjebak di antara dua dunia, dua hati, dan dua takdir yang mungkin saling bertentangan. Malam semakin larut, namun pikiran Ayla semakin gelisah. Ia tahu, apa pun pilihan yang akan ia buat, itu akan membawa konsekuensi besar bagi dirinya dan juga dunia sekitarnya.
Malam semakin larut, dan istana seolah tertelan oleh keheningan. Namun, bagi Ayla, keheningan ini terasa seperti jerat yang mengintai. Di balkon kamarnya, ia berdiri menatap langit berbintang. Ada sesuatu yang mengusik batinnya, seolah bisikan tak kasat mata menyelinap melalui udara malam.
Kael mengetuk pintu dengan pelan, dan ketika Ayla mempersilahkannya masuk, ia membawa secangkir teh hangat. "Kau tampak cemas," ujar Kael sambil menyerahkan cangkir itu. Matanya yang tajam menangkap kegelisahan di wajah Ayla.
Ayla menyesap teh itu perlahan, mencoba menenangkan diri. "Aku merasa... ada sesuatu yang tidak beres," jawabnya akhirnya. "Seolah ada yang mengawasi, meski aku tidak tahu dari mana."
Kael mengerutkan kening. "Aku juga merasakannya. Selama beberapa hari terakhir, bayangan Noir sepertinya semakin nyata. Kita harus lebih berhati-hati."
Sebelum Ayla sempat menjawab, ketukan lain terdengar di pintu. Kali ini Arlen muncul, wajahnya serius. "Maaf mengganggu, tapi aku punya sesuatu yang penting," katanya sambil melangkah masuk tanpa menunggu izin lebih jauh.
"Ada apa, Arlen?" tanya Ayla.
Arlen menatap mereka dengan tegas. "Aku mendengar percakapan aneh dari salah satu pelayan. Mereka menyebutkan nama Noir, dan sepertinya ada seseorang di istana yang berhubungan dengannya."
Hati Ayla berdebar kencang. "Bagaimana mungkin? Siapa yang bisa mengkhianati kita di sini?"
Kael mengepalkan tangan, matanya menyala penuh kemarahan. "Jika Noir memiliki kaki tangan di istana, itu berarti kita dalam bahaya besar. Kita harus menemukan siapa orang itu sebelum terlambat."
Arlen melangkah lebih dekat, menatap Kael dengan sorot mata tajam. "Aku sudah mulai mencari petunjuk, tapi aku butuh bantuanmu, Ayla. Aku tahu kau bisa merasakan hal-hal yang tidak bisa kami rasakan."
Ayla menatap mereka berdua dengan kebingungan. "Tapi bagaimana aku bisa melakukannya?"
Kael meletakkan tangannya di bahu Ayla, memberinya dorongan. "Kekuatanmu terhubung dengan energi sekitar. Jika ada sesuatu yang jahat di sini, aku yakin kau bisa merasakannya."
Ayla mengangguk pelan. "Baiklah. Kita lakukan ini bersama."
Ketiganya memutuskan untuk menyelidiki istana malam itu, dimulai dari lorong-lorong sunyi yang jarang dilalui. Ketegangan di udara semakin terasa, seolah ada sesuatu yang mengintai di balik bayangan. Di salah satu lorong sempit, Ayla tiba-tiba berhenti.
"Ada sesuatu di sini," bisiknya.
Kael dan Arlen menoleh, mengikuti pandangan Ayla yang tertuju pada dinding di ujung lorong. Arlen mendekat lebih dulu, mengetuk dinding dengan hati-hati. "Ini dinding palsu," gumamnya.
Kael segera mencari tuas tersembunyi, dan tak lama kemudian, sebuah pintu rahasia terbuka. Aroma lembap dan gelap menyergap mereka saat mereka melangkah masuk. Di dalam, mereka menemukan ruang kecil yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh dan sebuah peta yang menampilkan kota Eradel dengan tanda-tanda merah di beberapa lokasi.
"Apa ini?" tanya Ayla dengan suara bergetar.
Arlen mengambil salah satu dokumen di meja kecil dan membacanya cepat. "Ini adalah jaringan Noir. Mereka sudah menyusup lebih dalam daripada yang kita kira."
Kael mengepalkan tinjunya, menahan kemarahan. "Kita harus menghentikan mereka sebelum mereka bergerak lebih jauh."
Namun, sebelum mereka bisa menganalisis lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat. Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak sendirian.
Langkah kaki itu semakin dekat, menggema di lorong sempit. Ayla, Kael, dan Arlen segera mundur ke sudut gelap ruangan, tubuh mereka menegang. Dalam remang-remang cahaya obor, sosok seorang pria muncul di pintu rahasia. Tubuhnya kurus, dengan mata tajam yang menyapu ruangan seolah mencari sesuatu.
"Aku yakin aku mendengar sesuatu di sini," gumam pria itu dengan nada curiga.
Kael memberi isyarat kepada Arlen dan Ayla untuk tetap diam. Perlahan, Kael meraih gagang pedangnya, bersiap menghadapi apapun yang terjadi. Namun, sebelum pria itu melangkah lebih jauh, Ayla merasakan energi asing di sekelilingnya.
"Ada yang aneh dengan pria itu," bisik Ayla kepada Kael, nyaris tanpa suara. "Dia bukan manusia biasa."
Pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, seolah mendengar sesuatu. Dia berbalik dengan cepat, matanya menyipit ke arah sudut ruangan tempat mereka bersembunyi. "Siapa di sana?!" serunya dengan nada tajam.
Arlen bergerak lebih dulu. Dengan gesit, dia melemparkan sebuah belati kecil ke arah pria itu. Namun, sebelum belati itu mencapai sasarannya, pria itu mengangkat tangannya, dan belati tersebut berhenti di udara, melayang seolah-olah ditahan oleh kekuatan tak terlihat.
"Seperti dugaanku," gumam pria itu sambil menyeringai. "Kalian memang di sini."
Kael segera melompat maju, pedangnya terhunus, menebas udara dengan kekuatan penuh. Namun, pria itu bergerak lebih cepat dari yang bisa diduga. Dengan gerakan tangan, dia menciptakan gelombang energi yang menghantam Kael, membuatnya terlempar ke dinding.
"Kael!" teriak Ayla, berlari mendekatinya.
Arlen segera mengambil posisi di depan Ayla, melindunginya dari serangan selanjutnya. "Ayla, kau harus pergi sekarang! Aku dan Kael akan menghadapinya!"
"Tidak! Aku bisa membantu!" seru Ayla.
Pria itu tertawa, suaranya menggema di ruangan kecil itu. "Kalian semua tidak tahu dengan siapa kalian berurusan. Noir sudah mempersiapkan ini selama bertahun-tahun. Kalian hanya penghalang kecil."
Ayla mengulurkan tangannya, mencoba menggunakan energi dalam dirinya untuk melindungi mereka. Namun, kekuatannya tampak terpental saat bertemu dengan aura pria itu. Dia terlalu kuat.
Kael, meskipun terluka, bangkit kembali dengan pedangnya. "Kita tidak akan membiarkan Noir menang," katanya dengan nada tegas. "Siapa pun kau, kau akan jatuh malam ini."
Pria itu menyeringai, tetapi sebelum dia bisa membalas, Arlen melompat dengan kecepatan luar biasa, serangannya begitu tiba-tiba sehingga pria itu terpaksa mundur. Dalam kesempatan itu, Ayla merasakan sesuatu dalam dirinya—sebuah dorongan kuat untuk bertindak.
Dia memusatkan energinya, mengabaikan rasa takut, dan mengarahkan tangannya ke pria itu. Sebuah cahaya keemasan meledak dari telapak tangannya, menerangi ruangan kecil itu. Pria itu memekik, tangannya menutupi wajahnya saat dia terdorong mundur.
"Bagaimana mungkin...?" gumamnya, tubuhnya bergetar karena energi Ayla.
Kael dan Arlen memanfaatkan momen itu. Dengan serangan gabungan, mereka berhasil melukai pria itu. Namun, sebelum mereka bisa menyelesaikan pertarungan, pria itu menghilang dalam semburan bayangan hitam, meninggalkan suara tawa yang menyeramkan.
Ruangan itu kembali sunyi, tetapi ketiganya tahu ini baru permulaan.
"Kita harus memberitahu yang lain," kata Arlen sambil mengatur napasnya.
Ayla mengangguk, tubuhnya masih gemetar karena pengalaman itu. "Dan kita harus mencari tahu siapa saja yang terlibat di dalam istana ini."
Kael menatap mereka dengan tekad membara. "Malam ini, kita menang kecil. Tapi Noir tidak akan berhenti. Kita harus bersiap menghadapi serangan yang lebih besar."