Cinta memang gila, bahkan aku berani menikahi seorang wanita yang dianggap sebagai malaikat maut bagi setiap lelaki yang menikahinya, aku tak peduli karena aku percaya jika maut ada di tangan Tuhan. Menurut kalian apa aku akan mati setelah menikahi Marni sama seperti suami Marni sebelumnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Lebam di tangan
"Tidak ada yang terluka,"
Paijo tampak memeriksa dengan teliti seluruh tubuh putra tunggalnya. Meskipun putranya baik-baik saja, namun firasatnya berkata lain. Ia harus memastikan apakah benar dia baik-baik saja atau ada sesuatu yang terlewat olehnya. Amar hanya menurut saat sang ayah menelusuri setiap jengkal tubuhnya.
Tidak ada tanda apapun, di tubuh Amar.
"Alhamdulillah, kamu tidak apa-apa le?" ucapnya lega
Amar meremang mengingat kejadian sebelum ia berangkat ke mushola. Ia masih terdiam sambil mengamati luka memar di telapak tangannya. Luka itu terlihat begitu jelas, namun anehnya Paijo tidak bisa melihatnya.
Amar menoleh ke belakang, dilihatnya Ustadz Gani masih berdzikir. Hembusan nafas kasar membuatnya sedikit lega.
Angin semilir berhembus membuat bulu kuduknya berdiri. Reflek ia mengusap lehernya yang meremang. Ia merasakan seseorang tengah memperhatikannya. Saat ia menoleh ke samping netranya seketika membulat melihat sosok sang istri yang tiba-tiba berada di sampingnya.
"Marni???"
"Ayo pulang mas?" ajak wanita itu dengan tatapan sayu
*Deg!
Tatapan mata sayu itu begitu menusuk membuat pria itu merasa seperti tercekik. Amar berkali-kali mencoba membasahi kerongkongannya dengan menelan ludah.
Marni terus menatapnya membuat ia semakin ketakutan.
*Grep!
Amar mengerjapkan matanya saat merasakan seseorang menepuk pundaknya. Dilihatnya sesosok pria berkopiah putih tersenyum simpul menatapnya
"Ustadz??" ucap Amar tergagap
"Jangan bengong, awas ketempelan!" canda Ustadz Gani
Amar menghela nafas lega, "Astaghfirullah, ku kira siapa," ucapnya sambil mengusap dada
"Emang kamu nunggu siapa lagi selain aku?"
"Gak ada Ustad, hanya saja karena Marni menyuruhku pulang jadi kita undur saja pembicaraan kita," jawab Amar
"Marni, dimana dia?" Ustadz Gani tampak menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan Marni
"Disebelah ...." Amar seketika bengong saat tak mendapati Marni di sisinya
"Kemana dia, tadi dia benar ada di sini, tapi kenapa sekarang menghilang, jika ia benar pulang lebih dulu, cepat sekali jalannya??"
Reflek ustadz Gani mengusap wajahnya.
"Istigfar Mar,"
"Astaghfirullah," ucap Amar mengulangnya beberapa kali
Ustadz Gani kemudian mengajaknya menuju ke serambi. Bias cahaya mentari pagi mulai menerobos rimbunnya dedaunan. Amar dan ustadz Gani masih betah bercengkrama membahas kejadian semalam. Amar tak sungkan untuk memperlihatkan lebam di tangannya kepada pria itu.
"Apa ustadz melihatnya?" tanya Amar
Ustadz Gani mengangguk pelan.
"Apa aku akan mati seperti suami Marni sebelumnya?" tanya Amar dengan wajah murung
"Hmm, entahlah. Hanya Allah yang bisa menentukan kematian seseorang, jadi jangan patah semangat. Tetap semangat Amar, aku yakin kamu bisa melalui semuanya,"
"Aamiin, semoga saja ustadz,"
Setelah merasa lega Amar pun berpamitan. Selama perjalanan pulang Amar terus memikirkan istrinya.
"Marni sebenarnya siapa dirimu, selama aku mencari tahu tentang mu tak ada seorangpun yang bisa memberikan informasi tentang dirimu dan keluargamu,"
"Innalilahi wa innailaihi rojiun... Telah berpulang ke Rahmatullah dengan tenang Bapak Supardi bin Cahyono pada pukul 5 pagi, semoga almarhum diterima di sisi Allah SWT,"
Amar berhenti sejenak mendengar pengumuman dari pengeras suara Masjid.
"Pak Dhe Pardi meninggal?"
Ia mempercepat langkah kakinya. Rumah tampak begitu sepi. Bapak dan ibu mungkin sudah pergi melayat pikirnya. Saat ia hendak masuk ke kamar langkahnya seketika terhenti saat melihat sesosok wanita dengan rambut terurai berdiri membelakangi pintu masuk kamarnya.
Amar pun reflek membaca ayat kursi membuat wanita itu seketika menoleh kearahnya.
"Kamu sudah pulang Mas?"
"Astaghfirullah," ucap Amar dengan netra melotot
"Ya ampun Mas, kok ekspresi mu kaya lihat setan gitu. Apa aku begitu menyeramkan?" tanya Marni dengan wajah cemberutnya
"Maaf dek, mas hanya kaget, soalnya kan dari tadi rumah sepi, eh pas masuk ngeliat rambut panjang kamu terurai kan jadi creepy?" sahut Amar
"Hmm," jawab Marni kemudian mengikat rambutnya
"Mas...."
"Iya,"
"Aku boleh tanya sesuatu gak?"
"Boleh dong dek, kok pakai izin segala, tanya saja apa yang mau di tanyakan?" jawab Amar
"Kenapa kamar kita berantakan, sebenarnya apa yang terjadi semalam?"
Amar menarik nafas dalam-dalam. Ia menatap lekat istrinya itu.
"Apa kamu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi semalam??" jawab Amar balik bertanya
Marni reflek menggelengkan kepalanya.
Sebenarnya dia ini pura-pura tidak tahu apa memang tidak tahu beneran sih, ucap Amar dalam hati.
"Ayo dong mas jawab, harus jujur gak boleh ada yang ditutup-tutupi," ucap Marni menggenggam erat jemarinya
Kepolosan wajah Marni membuat Amar tak mampu memberitahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Semalam ada gempa dek, dan herannya kamu tuh kok ya ngebo, gak bangun-bangun padahal berisik banget loh semalam,"
Senyuman Marni seketika membuat wajah ayunya terlihat makin manis.
"Maaf ya Mas, kalau nanti aku seperti itu lagi mas tinggal kasih daun sirih saja di hidungku, aku pasti bangun," jawab marni seketika membuat Amar mengernyit
"Daun sirih??"
"Iya, karena kata nenek hanya daun sirih yang bisa membangunkan aku saat aku susah untuk dibangunkan,"
Amar hanya tampak manggut-manggut mendengar jawaban istrinya itu.
Sementara itu, para warga tampak terkejut melihat mayat Supardi yang berubah membiru. Lelaki itu tampak seperti keracunan dengan seluruh tubuh membiru.
"Sebenernya, Pak Dhe kenapa toh Bu Dhe kok mayatnya sampai biru gitu, apa dia keracunan makanan atau di gigit hewan berbisa?" tanya seorang warga
"Gak tahu, soalnya tahu-tahu ya sudah begini," jawab Kartini
Desas-desus kematian Pardi yang diluar nalar terdengar di telinga Amar. Ia yang datang melayat bersama istrinya pun penasaran dan ingin melihat jenazah Pardi sebelum di kafani. Namun Marni menolak saat Amar mengajaknya melihat jenazah Pardi.
"Aku takut Mas, aku tunggu di sini saja," ucap Marni memilih duduk di beranda rumah
Kartini menyambut kedatangan Amar dan mengantarnya saat ia hendak melihat jenazah suaminya.
"Dia meninggal setelah berusaha membantu mu semalam," ucap Marni menerawang
"Toh yang ada di dalam istrimu lebih berbahaya dari yang ku miliki. Lihat saja suamiku bahkan sampai meregang nyawa saat mencoba melawannya,"
Air mata Kartini seketika berjatuhan membasahi wajahnya.
"Maafkan saya dan istri saya karena sudah membuat Pak Dhe jadi seperti ini," ucap Amar
Ia benar-benar merasa bersalah saat mengetahui Pardi meninggal karena makhluk itu.
Seharian Amar selalu murung setelah kembali dari kediaman Kartini. Bahkan di tempat kerja Amar terlihat tak bersemangat dan lebih banyak murung. Tentu saja hal ini membuat Damar dan Ruri bertanya-tanya apa yang terjadi dengannya.
"Kamu kenapa sih Mar, dari tadi diem terus, kamu kenapa?" tanya Ruri
Wajah Amar terlihat begitu pucat membuat kedua sahabatnya itu terperanjat.
Damar bahkan menempelkan telapak tangannya di kening Amar.
"Panas sekali, sepertinya dia demam,"
"Sebaiknya kita bawa Amar ke klinik,"
Ruri dan Damar segera membawa Amar ke klinik yang tak jauh dari tempat mereka bekerja.
Namun saat tiba di klinik tiba-tiba demam Amar seketika turun. Tentu saja hal itu membuat Ruri dan Damar bingung. Apalagi saat mereka kembali ke kantor kembali tubuh Amar seketika Demam tinggi.
"Ada yang tidak beres dengannya??"