Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi Bersama Gladys
Rendra melangkahkan kaki panjangnya dengan tergesa, "Aku sudah kesiangan. Ada pertemuan penting dengan klien pagi ini." Gumamnya setelah melirik pada arloji nya.
Saat berada di teras, Romi yang telah selesai memasukkan semua berkas dan dokumen yang diperlukan, kini tengah berdiri dan menyambut Rendra.
"Ini sisanya, Rom." Rendra menyerahkan berkas yang tadi sengaja ia simpan di ruang kerjanya. Romi menerimanya kemudian sekilas memeriksanya sebelum ia masukkan ke dalam tasnya.
"Baiklah, semuanya sudah lengkap, pak. Kalau begitu saya akan pergi sekarang." Ujar Romi hendak melangkah, namun tiba-tiba ia berbalik lagi pada Rendra.
"Pak?" Ucap Romi dengan ragu.
"Ada lagi yang kurang? Semua biaya operasional mu sudah ditransfer oleh bagian keuangan kan?" Sahut Rendra.
"Sudah, pak. Tapi bukan itu." Ujar Romi seraya cengar-cengir. Rendra mengerutkan dahinya melihat sikap Romi.
"Ada apalagi?"
"Pelayan baru anda, cantik." Romi cengengesan membuat Rendra jengah.
"Saya tau maksud mu, Romi. Tapi awas jangan macam-macam karena dia sudah bersuami." Ujar Rendra dengan dingin.
"Ah, yang benar saja, pak? Masa gadis belia itu sudah bersuami. Mana mungkin."
"Sudahlah kalau kau tidak percaya. Tapi jangan salahkan saya jika suaminya nanti marah dan melabrak mu." Rendra menatap Romi tajam.
"Serius, dia sudah bersuami? Yah lagi-lagi saya terlambat. Padahal saya kira dia masih single. Mau saya ajak kenalan, hehe.."
"Sudahlah, lupakan dia, cari saja yang lain. Masih banyak gadis cantik di luaran sana." Ujar Renda. "Sebaiknya kau pergi sekarang. Nanti sampai sana bisa kemalaman."
"Baiklah, pak. Saya permisi dulu."
"Hmm, kerja yang benar jika kau tak ingin kehilangan bonusmu."
"Siap, bos!" Romi kemudian pergi meninggalkan Rendra untuk menuju luar kota.
"Brengsek!" Maki Rendra kala setelah melihat Romi baru saja menaiki mobilnya. "Jangan coba-coba kamu berani mendekati Arania, jika kamu ingin selamat, Romi." Ujarnya dengan kemarahan serta sorot mata yang tajam mengiringi kepergian mobil Romi dari halaman rumah megah itu. Tak lama iapun pergi meninggalkan rumah menuju ke kantornya dengan hati yang masih terbakar.
***
Gladys bangun dari tempat tidurnya dengan hati riang. Ia dengan bersenandung menuju meja rias, mematut dirinya di cermin dengan wajah berminyaknya setelah bangun tidur. Ia menyisir rambutnya dengan lembut dengan diiringi senandung yang masih di lantunkan.
Tok... Tok..
Terdengar pintu di ketuk.
"Masuk saja..." Ujar Gladys kemudian melanjutkan kegiatannya.
Terlihat bik Erna datang mendekati Gladys. Namun kali ini bik Erna merasa hal lain pada diri Nyonya muda nya. Tidak pernah ia melihat wajah berbinar tulus dan senandungan lagu dari Nyonya cantiknya itu.
"Nyonya, apa ingin mandi sekarang? Biar bibi siapkan air hangat untuk Nyonya."
"Boleh, bik. Saya mau berendam, tapi airnya jangan kepanasan ya. Hangat-hangat kuku saja."
"Baik, nyonya." Bik Erna kemudian menuju kamar mandi dan menyiapkan keperluan mandi sang Nyonya.
"Aku hari ini ingin pergi jalan-jalan, berbelanja, ke spa, ke salon. Hm.. apa lagi ya?" Gladys senyum-senyum sendiri. Entah kenapa suasana hatinya menjadi sangat baik setelah berkirim pesan dengan Arga, tadi.
Setelah beberapa saat bik Erna keluar dari kamar mandi. "Nyonya, airnya sudah siap."
Dari pantulan cermin, Gladys menatap bik Erna yang berada si belakangnya.
"Oke, makasih bik." Ucap Gladys sembari tersenyum. Namun lagi-lagi sikapnya itu dirasa aneh oleh bik Erna karena selama ini sang nyonya mudanya jarang sekali berkata terimakasih kepada pelayan. Tapi saat ini seperti bukan nyonya mudanya melainkan orang lain.
'Baguslah, mungkin nyonya sudah sadar.' kata hati bik Erna seraya meninggalkan kamar itu.
Gladys beranjak dari meja riasnya kembali menuju kamar mandi dan melakukan ritual mandinya.
,,,
Gladys yang sedang menikmati sarapannya di meja makan, melihat Arania yang sedang melintas dihadapannya. Iapun seketika memiliki ide untuk mengajaknya pergi keluar. Biar bagaimanapun Gladys sang aktris populer tidak bisa membawa barang-barang belanjaannya sendiri kan. Apalagi jika nanti dia bertemu dengan fansnya, pasti dia akan sibuk sendiri.
"Hey... Kamu, Ara! Cepat ke sini!" Panggil Gladys.
Mendengar namanya di panggil Arania menoleh kemudian mendekati sang majikan. "Saya, nyonya?" Ujar Arania serya menunduk sopan.
"Kamu sudah selesai dengan pekerjaan mu belum?" Tanya Gladys datar.
"Sudah selesai sebagian, nyonya. Ini saya sedang istirahat dan ingin ambil air minum." Ucap Arania yang sebenarnya perutnya sudah merasa keroncongan. Namun ia enggan mengatakannya, karena takut sang majikan menganggapnya hanya doyan makan saja.
"Nanti kamu ikut saya. Sekarang cepat sana ambil minummu dulu."
"Kemana, nyah?"
"Tak perlu banyak tanya. Kamu hanya perlu mematuhi ku."
"Ah, maaf. Kalau begitu baiklah, nyonya." Arania mengambil air minum untuk diminumnya. Ia .meminum banyak air agar rasa laparnya menghilang. Dia menyesal tadi tidak mematuhi sang suami untuk sarapan terlebih dahulu sebelum melakukan pekerjaan.
"Sudah kan? Mari kita berangkat." Titah Gladys kala melihat Arania telah selesai dengan minumnya. Arania menganggunakan kepalanya. Kemudian membuntuti Gladys di belakangnya.
"Panggil mang Udin, segera keluarkan mobil," ujar Galdys seraya berjalan cepat.
"Baik, nyonya." Arania yang tadi mengetahui keberadaan mang Udin di taman belakang seketika berbelok menuju arah yang di tuju.
"Mang Udin?!" Panggil Arania dari kejauhan.
Mang Udin menoleh, "Ya neng, ada apa?" Ujar laki-laki paruh baya itu.
"Mamang disuruh nyonya untuk mengeluarkan mobil, sekarang." Terang Arania.
"Baik neng, tunggu sebentar." Mang Udin lekas menghentikan pekerjaannya kemudian mencuci tangan dan kakinya yang telah kotor dengan tanah dan dedaunan. Kemudian ia menuju garasi untuk mengeluarkan mobil.
Mobil pun kini telah tersedia di halaman. Dengan cepat Gladys membuka pintu penumpang. Pria paruh baya itu tau apa yang seharusnya ia lakukan saat ini. Dia harus menjadi supir sang nyonya mudanya. Mang Udin selain menjadi tukang kebun, iapun merangkap sebagai supir serta pesuruh apa saja yang sang majikan perlukan di rumah itu.
"Ara, kamu duduk di depan," ujar mang Udin yang melihat Arania masih berdiri di luar.
"Ah, ya mang."
Mereka pergi dari rumah itu menuju tempat perbelanjaan sesuai instruksi dari sang nyonya.
Dalam perjalanan Gladys kembali berbalas pesan dengan Arga. Walaupun tidak berisi kata-kata romantis ataupun kata cinta, namun itu bisa membangun moodnya menjadi lebih baik lagi.
Kriiingg... Kriiingg... Kriiingg...
Nada dering ponsel Arania memekakkan gendang telinga semua orang di dalam mobil.
"Ya ampun, Ara! Kamu itu kampungan banget sih. Jaman gini masih pasang notif panggilan kencang banget. Bikin sakit telinga orang, tau!" Pekik Gladys dengan mata melotot di lihat dari kaca spion. Padahal sedetik lalu moodnya sedang baik, tapi saat ini berubah kembali menjadi buruk. "Silent saja ponselmu. Nanti kalau tidak akan saya sita. Mengganggu saja." ketusnya lagi.
"Ba-baik, nyonya. Maafkan saya, saya lupa mengatur ulang mode ponselnya." Ucap Arania takut-takut. Jemari lentiknya langsung mengutak-atik ponsel itu dengan cepat.
Memang ini pengalaman pertamanya memiliki sebuah ponsel, Itupun pemberian sang suami. Walaupun tidak secanggih milik Gladys. Karena Rendra tidak ingin mematik kecurigaan semua orang dengan ponsel canggih yang dimiliki Arania, maka dari itu Rendra membelikan ponsel yang biasa saja untuk nya. Meski demikian Rendra yang tau sang istri sirinya belum pernah memiliki ponsel, dengan sabar dan telaten telah mengajarkan cara pengoperasian ponsel tersebut pada Arania pada saat lalu.
Sebenarnya dering ponsel yang keras itu sengaja Arania setting bertujuan untuk mengetahui ada pesan masuk atau panggilan saat Arania sedang bekerja, sehingga wanita muda itu tidak melewatkan pesan atau panggilan dari sang suami. Karena hanya ada satu nomer telepon yakni nomer Rendra sendiri. Di samping itu Rendra telah mewanti-wanti nya; Arania harus membalas pesan atau menjawab telepon darinya. Arania hanya sebisa mungkin mematuhi setiap apa yang di perintahkan sang suami padanya. Ia tak ingin membuat Renda kecewa, marah, ataupun sedih setelah menikahi dirinya.
'Ini panggilan dari mas Rendra, apa yang harus kulakukan sekarang?' Ujarnya dalam hati saat ponsel berdering kembali. Dengan cepat Arania mereject panggilan Rendra untuk yang kedua kalinya.
Membuat Rendra di seberang telepon mengerutkan dahinya. "Kenapa dua kali panggilan ku di reject? Apa dia masih marah padaku?" Gumam Rendra yang sedang berada di kantornya setelah selesai bertemu klien.
Arania cepat-cepat mengirimkannya pesan singkat pada Rendra.
Ting!
Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Rendra. Rendra segera membuka pesan dari Arania itu.
Arania: 'Mas, aku sedang di mobil bersama nyonya dan mang Udin. Nyonya akan berbelanja di Mall terdekat.'
Rendra: ' Baiklah kita berkirim pesan saja. Apa tadi kamu sudah sarapan, sayang?' terlibat Arania sedang mengetik.
Arania: 'Maaf mas, sebenarnya aku belum sarapan. Nanti saja setelah pulang.' Arania berterus-terang pada suaminya.
Disebrang sana Rendra menggelengkan kepala, ia tau bahwa Gladys pasti akan menghabiskan waktu seharian di luar rumah seperti yang biasa ia lakukan.
Rendra: 'Kenapa kamu tidak nurut pada suamimu? kamu sekarang lapar kan? mas takut nanti kamu sakit. Sekarang kamu harus segera sarapan, sayang. Ini sudah mau masuk jam makan siang loh. Biar nanti mas akan menemui kalian.' Ujar Rendra khawatir.
Rendra kemudian menelepon Gladys, tak lama sambungan pun terhubung.
[Ya, mas?] Jawab Gladys. Arania melirik dari kaca sepion. Ia tau suami mereka kini sedang menelepon istri pertamanya.
[Kau sedang apa, sayang?] Tanya Rendra dari sebrang telepon.
[Aku di jalan, mau ke Mall, abis itu lanjut ke spa, terus ke salon. Tumben telepon memangnya mas nggak lagi sibuk? Ini kan belum jam istirahat?]
Nah, see... Rendra telah menduga semua itu. Ia paham betul kebiasaan istri pertamanya. Maka dari itu ia memiliki rencana untuk mereka, agar Arania bisa segera makan.
[Aku kangen. Ingin ketemu istri cantik ku. Aku juga sudah lapar. Temani aku makan ya, sayang?]
Gladys memutar bola mata malasnya. Harinya akan kacau bila bersama Rendra. Namun apa boleh buat, Gladys hanya bisa menuruti kemauan sang suami-suamiannya.
[Baiklah kita ke resto langganan kita saja yang ada di Mall] jawab Gladys dengan nada yang dibuat ceria, namun hati sebaliknya.
***