Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 35
Luna, Nadira, Inaya dan beberapa staff acara yang telah dipilih untuk menjadi panitia tengah mengadakan rapat kecil tentang acara perayaan ulang tahun Harrington Group ke 78 yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi.
"Menurut Gue acara perayaan kali ini harus diadain di perusahaan ini aja, gak usah di gedung seperti tahun-tahun lalu," Luna memberi usul.
"Kenapa begitu? Kas perusahaan gak cukup kah buat adain acara di gedung atau hotel bintang 5?" tanya Inaya dengan polosnya.
Nadira dan Luna tertawa. "Nay, Lo kerja di sini udah berapa tahun sih? Jangankan acara di hotel bintang 5 beli hotelnya langsung juga bisa kali," jelas Nadira. Inaya terkekeh geli juga.
"Perusahaan pasti bisa adain acara mewah, cuma maksud Luna biar agak beda aja tahun ini," tambah Nadira.
Luna mengangguk. "Iya, perayaan di gedung udah biasa, kalau kita adain di perusahaan bisa sekalian mempromosikan perusahaan dan proyek yang sedang kita jalani," kata Luna menjelaskan maksudnya tadi.
Yang lain tampak mengangguk. Kesemua staff yang hadir tampak mengangguk menyetujui ide itu. "Soal tempat, konsep pesta, catering dan yang lainnya selesai. Tinggal minta persetujuan Pak Arsen. Kalau Presdir acc kita bisa langsung panggil PJ event buat siapin semuanya," ucap Inaya. Tangannya sibuk mengetik laporan.
"Rapat selesai, staff baru boleh langsung bubar, tetap pantau grup kalian, ya, tunggu arahan dari kami, oke?" instruksi Luna kepada staff yang baru bergabung itu.
Staff yang terdiri dari 6 orang itu mengangguk. "Baik, Senior. Terima kasih," kata mereka hampir bersamaan lalu keluar dari ruangan.
"Mereka ternyata anak magang?" tanya Nadira yang baru menyadarinya.
Luna menepuk keningnya sendiri. "Hadeuh, Nad, daritadi kita rapat ternyata Lo baru sadar?"
Nadira cengengesan. "Hehe, pantas aja pakaian mereka formal banget, gak kayak staff biasa gitu."
"Nadira oh Nadira," Inaya menimpali. Keduanya tak cukup dekat, tapi dari cerita Luna. Ia sangat mengenal gadis berhijab mint itu.
Inaya sudah selesai dengan laporannya. Ia memberikan secarik kertas yang baru saja ia print itu kepada Nadira. "Nad, Lo aja ya yang minta acc Presdir," katanya sambil tersenyum.
"Hah? Kok Gue sih? Luna aja kan dia bagian sekretariat," protes Nadira tak terima. Luna dan Inaya tampak berpandangan. Keduanya telah sepakat untuk mengorbankan Nadira sebelumnya.
"Sorry, ya, Nadira. Tapi kita sibuk banget, kita lagi banyak laporan dinas nih," ujar Inaya cepat lalu lekas keluar. Luna juga melakukan hal yang sama.
"Eh, eh, kalian kok gitu sih?"
"Sorry, Nad. Gue gak mau kena amukan Pak Arsen. Mending Lo aja, semoga berhasil. Dadah, kabari Gue kalau udah acc, ya." Luna dan Inaya pergi begitu saja.
Meninggalkan Nadira seorang diri di ruangan meeting itu. Ia berjingkat kesal, merutuki dirinya. "Udah Gue duga, mereka sengaja ajak Gue rapat supaya bisa mengorbankan Gue," gerutu Nadira sambil merapikan meja.
Ia terus menggerutu, sampai tak sadar akan kehadiran Arsen yang masuk ke ruangan itu. "Aduh! Bangku sialan!" makinya pada kursi yang membuatnya tersandung.
Arsen terkekeh di ujung meja. Ia terus memerhatikan Nadira yang terus mengomel pada kursi dan meja. "Mereka tak bersalah, kenapa kamu memarahinya?" Nadira tersentak.
"Pak Arsen! Sejak kapan di sini?"
"Sejak kamu memaki kursi tak bersalah itu," tunjuk Arsen pada kursi yang tadi diduduki Nadira. "Kenapa kamu memarahinya? Itu kebiasaanmu?"
"Bu-bukan! Tadi gak sengaja aja tersandung," aku Nadira. Ujung mata Arsen menangkap memar pada punggung kaki Nadira.
"Sakit?"
"Gak, kok!" jawabnya cepat. Arsen melihat gelagat aneh dari istrinya itu.
"Lain kali hati-hati, jangan ceroboh, biar saya lihat." Arsen hendak berjongkok, Nadira sontak mundur beberapa langkah. 'Apa-apaan sih Pak Arsen? Gila ya?'
"Kenapa? Biar saya lihat kakimu, apakah sakit? Jangan sampai nanti memarnya jadi membiru." Arsen maju meraih tubuh Nadira lalu mendudukkannya di kursi.
Arsen melepaskan high heels yang dipakai Nadira lalu menyentuh memar itu dengan pelan dan meniupnya dengan lembut. Nadira meringis, bukan karena memar di kakinya tapi karena perlakuan lembut Arsen yang menurutnya terlalu lembut. Bahkan Luna yang memerhatikan itu tercengang.
"Pak Arsen bisa selembut itu? Sebenarnya apa hubungan mereka?" Luna bertanya-tanya. Ia kembali karena ia melupakan pen-nya yang tertinggal di ruang rapat. Tak disangka saat kembali ia justru melihat hal lain. Ia buru-buru menyingkir dari ruang rapat karena keduanya akan keluar.
"Kita bahas konsepnya di ruangan lain saja, semuanya sudah oke. Hanya saja konsepnya itu terlalu sederhana," ungkap Arsen.
Keduanya lalu berjalan bersama menuju ruangan pribadi Arsen. Langkah Nadira sedikit terseok karena kakinya masih terasa
berdenyut nyeri. Karena itu, Arsen juga memelankan langkahnya agar bisa seirama dengan Nadira.
"Kamu terlalu ceroboh, lihatlah sekarang, seperti nenek-nenek yang pincang," ledek Arsen.
Di belakangnya Nadira berdecih. "Lebih baik saya. Senggaknya saya gak hancurin rumah kalau marah," ejek Nadira tak mau kalah.
"Dasar wanita pendendam."
"Hmph, perempuan sangat ahli dalam mengingat kesalahan pasangannya."
Luna kembali tercengang. 'Pasangan? Mereka benar-benar ada hubungan? Tapi kenapa Nadira gak pernah bilang sama Gue?' Luna menatap punggung keduanya yang pergi menjauh dengan raut kebingungan.
Di ruangan Arsen. Lelaki itu menjelaskan segala detail untuk acara perayaan itu. Nadira mendengarkan dengan seksama dan mencatatnya dengan baik agar tak ada kesalahan.
"Ini saja kan, Pak?" Arsen mengangguk singkat sebagaimana ******.
"Oke, kalau gitu saya permisi, ya, saya harus kasih konsep ini ke Luna dan Inaya biar mereka bisa langsung make sense sama EO nanti."
"Kamu tidak ingat ini tanggal berapa Nadira?" tanya Arsen tiba-tiba saat Nadira hendak mencapai daun pintu.
Nadira terdiam sejenak, tentu saja ia ingat. 8 tahun berlalu sejak ia kehilangan kedua orangtuanya. "Saya ... Saya ingat," katanya dengan gemetar.
"Tapi dibanding dengan mengingat hal menyakitkan itu, saya memilih untuk gak mengingatnya sama sekali," ucap Nadira lagi. Bahunya bergetar menahan tangis. Ia mengusap pipinya cepat. Setitik bening jatuh tanpa diminta.
Arsen menatapnya penuh simpati. Ia menarik Nadira ke dalam pelukannya. "Kamu harus tahu. Kamu memiliki saya sekarang. Tak apa untukmu jika menunjukkan kesedihanmu di hadapan saya. Jangan menahannya," hibur Arsen seraya mengusap pucuk kepala gadis itu pelan.
Bagaimana Arsen tahu jika sejak tadi ia menahan kesedihannya? Bagaimana Arsen menebak jika Nadira tengah dipeluk duka?
Dalam pelukan Arsen pagi itu, Nadira meluruhkan semua kesedihannya. Pada tanggal yang sama di setiap tahun, ia hanya akan menangis tersedu sendirian. Sangat sakit jika Nadira mengingat kejadian yang menewaskan orangtuanya itu.
"Take your time to feel your feeling. Can you promise me not to hide yourself when you are in pain and sad?" tanya Arsen serius. Ia melepas pelukannya dan memberikan sebuah sapu tangan pada Nadira.
Nadira menyeka pipinya yang basah dengan sapu tangan milik Arsen. "Why?" Nadira balik bertanya.
"Because it's unfair if you hide your pain and your sadness even though you showed me how to feel the happiness." Arsen meraih pipi Nadira dengan kedua tangannya, menatap manik istrinya dalam, seolah ingin menyalurkan semua kekuatan yang ia miliki dan memindahkannya pada Nadira.
Arsen tahu persis rasanya kehilangan. Untuk itu ia mengerti bagaimana kesedihan yang Nadira rasakan. Dan ia tak ingin Nadira menyembunyikan kesedihannya. Apalagi sampai terkungkung dalam kesedihan itu.
"Can you promise me, Nadira?" ulang Arsen lagi. Nadira mengangguk. Mungkin tak buruk juga jika mereka saling berbagi kesedihan itu. Mereka sudah berjanji sebelumnya untuk tak saling menyembunyikan apapun dan berusaha untuk saling percaya.
salam kenal untuk author nya