Kaina Syarifah Agatha. Gadis cantik yang cerdas. Mengetahui dirinya dijodohkan dengan pria pujaannya. Sam.
Samhadi Duardja Pratama. Pria yang diidolai Kai, begitu nama panggilan gadis itu. Sejak ia masih berusia sepuluh tahun.
Sayang. Begitu menikah. Berkali-kali gadis itu mendapat penghinaan dari Sam. Tapi, tak membuat gadis itu gentar mengejar cintanya.
Sam mengaku telah menikahi Trisya secara sirri. Walau gadis itu tak percaya sama sekali. Karena Trisya adalah model papan atas. Tidak mungkin memiliki affair dengan laki-laki yang telah beristri.
Kai menangis sejadi-jadinya. Hingga ia terkejut dan mendapati kenyataan, bahwa ia mendapat kesempatan kedua.
Gadis itu kembali pada masa ia baru mengenal Sam selama dua minggu, sebagai pria yang dijodohkan dengannya.
Untuk tidak lagi mengalami hal yang menyakiti dirinya. Gadis itu mulai berubah.
Bagaimana kisahnya? Apakah Kai mampu merubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMARAHAN UMAR
Jam sudah lewat 23.27.. Sosok pria begitu gusar ketika berkali-kali ia menelepon tetapi tidak terangkat. Sang istri menemaninya, berusaha meredakan amarah sang suami.
"Yah, sudah lah.. Percayalah pada Trisya. Dia pasti sedang pemotretan."
Umar menghentikan panggilan pada sosok yang ia cari. Menatap istrinya. Arin meyakinkan sang suami jika putrinya berjalan di arah yang benar.
Tiba-tiba ponsel Umar berdering.
"Halo!" ujarnya langsung ketika telepon tersambung.
Pria itu sengaja mengaktifkan pembesar suara. Suara bising terdengar. Bunyi musik bertalu-talu hingga sang penelepon berteriak.
"Maaf Tuan. Nona Trisya ada di klub xxx di jalan xxx. Kini tengah berdansa dengan banyak lelaki!"
"Videokan langsung!" titah Umar.
Sebuah panggilan berubah menjadi video call. Umar menatapnya, lalu memperlihatkan pada sang istri. Arin menelan saliva kasar. Ia berpikir untuk membela putri kesayangannya.
"Itu teman seprofesinya," jelas Arin.
"Astaga, Arin! Sampai kapan kau membela putrimu itu!" desis Umar kesal.
"Ayo kita ke sana. Jika mereka adalah teman seprofesi Trisya mereka pasti mengenalnya bukan!" Umar menarik tangan Arin.
"Yah, jangan begini. Aku memakai baju tidur!" tolak Arin.
Umar melepaskan istrinya. Lalu memberi perintah pada pria di sana.
"Suruh pulang anak itu. Jika dia menolak. Seret dia!"
"Yah, jangan begitu. Nanti dia tambah membangkang!" ujar Arin menolak cara Umar mengasari putrinya.
"Lalu aku harus apa Bu? Membiarkannya?" tanya Umar dengan suara meninggi.
"Setidaknya Ayah percaya saja padanya. Ini jaman modern, sudah biasa seorang gadis bersuka ria di klub. Terlebih, Trisya seorang model!" Arin terus membela sang putri.
Umar menggeleng tak percaya. Harus kah sampai kejadian yang mengerikan terjadi lebih dahulu baru dia bertindak?
"Tidak bisa. Ini peraturan. Apa kata orang nanti jika melihat putriku berkeliaran layaknya ****** seperti itu!" sentak Umar.
Arin terdiam. Ia tak bisa lagi menyanggah titah sang suami. Ia tak sanggup membela Trisya jika Umar sudah bersikap tegas. Seperti perjodohan Kai dengan Sam.
Bagaimana Trisya merayu dirinya untuk meminta Umar mengganti Kai dengan putrinya. Sayang, perkataan Surya menginginkan anak kandung Umar menjadi istri putranya, membuat ia tak bisa berbuat apa-apa.
Hanya butuh dua puluh menit. Trisya sudah berada di rumah. Sedikit mabuk. Gadis itu hanya tertunduk dengan tatapan ayah tirinya itu.
"Kenapa kau melarikan diri? Bukankah Ayah sudah bilang jika dari mulai hari ini kau di antar jemput supir?" cecaran pertanyaan keluar dari mulut pria itu.
Trisya makin tertunduk. Ia tahu dirinya salah. Tetapi, ia bosan jika terus di rumah. Gairah mudanya bergolak. Ia butuh pelampiasan.
"Aku sedang ada janji tadi, Yah," cicit Trisya membela diri.
"Tuh, kan benar kata ...."
"Diam, Bu!" bentak Umar menghentikan pembelaan Arin.
"Selama ini, jika Kai telat datang sedikit saja ke rumah. Kau menuduhnya yang tidak-tidak. Sedangkan Trisya pulang dalam keadaan mabuk begini kau membelanya?" selidik Umar dengan mata menyipit.
"Tentu beda Ayah. Aku adalah gadis elegan. Bukan seperti Kai yang murahan mengejar Sam keka ...," Trisya menghentikan ucapannya.
"Apa! Coba lanjutkan perkataanmu!" bentak Umar.
"Kau baru saja mengatai adikmu murahan karena menggoda Sam? Apa kau tau, Sam adalah calon suami Kai, jadi apa salahnya dia menggoda calon suaminya sendiri?" tanya Umar penuh penekanan.
Trisya diam. Ia tak bisa berkelit. Umar akhirnya menghela napas panjang. Sebuah keputusan ia buat.
"Sekarang kau tinggal pilih Trisya. Menurut kata Ayah, atau kau kehilangan pekerjaan mu sebagai model dan semua fasilitas Ayah tarik!"
"Ayah ...," rengek Trisya. Bau alkohol menguar. Umar sampai menjauhkan wajahnya.
"Yah, nggak bisa gitu dong. Kan sekarang dia sedang naik daun, jangan jegal kesuksesannya!" seru Arin membela Trisya.
"Ibu ...," rengek Trisya.
Arin memeluk putrinya. Sungguh, ia hampir mual dengan bau alkohol yang ada di tubuh Trisya. Tetapi, ia menahan semua untuk menenangkan putri kesayangannya. Umar menggeleng.
"Aku tak pernah melihat kau memeluk Kai sesayang ini?" ingat Umar seketika.
Arin tak peduli. Ia membawa sang putri ke kamarnya. Wanita itu terus menenangkan Trisya.
"Sudah, jangan dengarkan kata Ayahmu. Dia hanya tersulut emosi. Dia tak akan tega melakukan itu," ujar Arin merangkul putrinya ke kamar.
Begitu sampai kamar. Trisya menghempas pelukan sang ibu dari tubuhnya. Wajahnya yang sendu karena mendengar ancaman ayah tirinya, kini berubah biasa saja.
"Ah, cape juga akting. Sudah Bu, nggak usah drama di depanku. Nggak mempan. Btw, makasih terus ngebelain aku," ujar Trisya santai.
Arin terkejut. Ia mengira perkataan Umar tadi menyakiti hati putrinya. Tetapi, ditanggapi biasa saja oleh Trisya.
"Tidak masalah sayang," ujar Arin ingin mendekati sang putri, tetapi.
"Stop sampai sana Bu. Kau tak perlu lagi berakting sayang padaku. Di sini tak ada Kai!"
"Siapa bilang Ibu berakting? Ibu benar-benar menyayangimu!" seru Arin tak percaya dengan tuduhan Trisya.
"Ya, ya ... tapi nggak perlu. Aku nggak butuh. Ok. Sekarang, apa ibu bisa pergi dari kamar ku?" Trisya mengusir ibunya.
"Kau ... kau mengusir Ibu?"
"Sudahlah, Bu. Aku lelah. Jadi, please!"
"Baik lah sayang. Ibu tahu kau lelah. Ibu tinggal ya," ujar Arin lembut
Sebenarnya ia ingin melabuhkan kecupan sayang pada putrinya itu. Tetapi ia takut, Trisya akan bertambah marah. Lalu ia urungkan niatnya.
Arin menutup pintu kamar Trisya. Ketika berbalik ia terkejut melihat suaminya sudah berdiri di sana dengan tatapan sinis.
"Itu putrimu. Yang kau bela setengah mati," ujar Umar.
Wajah Arin memucat. Umar sudah mengetahui sifat Trisya. Ia begitu ceroboh tidak menutup pintu tadi. Kini, sang suami makin tidak percaya dengan semua perkataan Trisya untuk menyudutkan Kai.
Umar berdiri di balkon, menatap langit. Sebulir air mata mengalir di pipi pria itu. Umar masih tampan di usia menjelang setengah abad. Tubuhnya juga masih kekar. Pria itu mengingat betapa dulu ia begitu marah jika Kai sedikit saja melakukan kesalahan. Mempercayai perkataan anak tirinya.
"Lihat saja dandanan Kai jika ketemu Sam. Apa iya, dia tak melakukan hal sama ketika bertemu pria lain di luar sana?" ujar Trisya ketika mempersoalkan dandanan Kai yang menor bahkan busananya yang terlihat seksi.
Hingga ia menyuruh orang untuk mengikuti semua kegiatan Kai secara sembunyi-sembunyi. Tetapi, tidak ada satu berita negatif yang putri kandungnya lakukan selama ini.
Bahkan kini ia merasa jika Kai ingin menolak perjodohan itu. Sayang, Umar tak bisa meloloskan keinginan Kaina terkait janjinya juga hutang budi pada orang tua Suryo, sahabatnya.
Arin melihat suaminya tengah berdiri melamun di balkon menghampirinya.
"Ayah, kenapa di luar. Ayo, masuk. Nanti Ayah sakit loh," ajak Arin.
Pria itu menggeleng. Bisa-bisanya sang istri melupakan kejadian tadi. Seakan tak merasakan bersalah sama sekali.
"Kau duluan saja. Aku masih ingin sendiri!" ujar Umar datar.
Arin sangat tahu, jika sang suami masih marah. Namun, wanita itu bersikukuh untuk memenangkan hati Umar lagi.
"Yah ... ayolah. Masa biarin Ibu tidur kedinginan," ujarnya lalu memeluk tubuh kekar suaminya dari belakang.
Umar memejamkan mata. Entah mengapa getaran yang dulu ia rasakan ketika menyentuh istrinya kini tidak lagi berasa. Desiran halus dalam hatinya setiap sang istri menyentuhnya pun sudah tidak ada. Umar melepas pelukan Arin.
"Tidurlah dulu. Ayah masih ingin sendiri," ujarnya menolak ajakan istrinya.
Arin menghela napas gusar. Untuk pertama kalinya, Umar menolak dirinya. Ia pun berbalik sambil menghentakkan kakinya. Dihempaskannya begitu saja tubuhnya di atas ranjang.
Nyut!
Sakit!
Itu yang dirasakan Arin sekarang. Air matanya meleleh. Ia tahu kesalahannya. Tetapi, Arin tak akan pernah mengakui apa kesalahan itu.
bersambung.
heh ... cape deh ...
next?