Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penuh teka-teki
Detik terus berganti dengan menit, bergitupun dengan menit yang terus bergulir dan bergantian dengan jam, tanpa terasa aku dan Mas Aarav sudah satu jam menunggu proses operasi. Mungkin luka tusuk dan juga yang lainya cukup parah sehingga butuh waktu yang cukup lama, untuk penanganannya.
"Dek, Mas mau ke kantin dulu beli kopi. Kamu mau nitip sesuatu?" tanya Mas Aarav mengagetkan lamunan aku.
Aku menatap mas suami, dan diam sejenak di mana sekarang sudah masuk jam sarapan, tetapi jangankan lapar rasa ingin makan sesuatu saja tidak ada sama sekali.
"E... kayaknya nggak Mas, nggak pengin makan sesuatu," jawabku dengan datar tanpa ekspresi, aku terlalu takut kalau sesuatu terjadi pada adik bungsuku. Sekujur tubuhnya meremang, bulu kudukku berdiri dengan sempurna setiap aku membayangkan apa yang terjadi pada Lyra, bagaimana Dirly menghajar adikku, membuat kepalaku terasa nyeri.
"Mas bakal marah dan nggak izinin kamu untuk jaga adik kamu, kalau kamu nggak makan," acam Mas Aarav. Aku pun hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
"Baiklah Mas, apapun yang Mas beli Lydia pasti makan," jawabku dengan pasrah. Benar kata Mas Aarav, aku juga menghawatirkan Lyra dan juga mencemaskan Bapak malah aku sendiri malah nanti yang kecolongan aku yang sakit karena terlalu fokus dengan kesembuhan adikku.
"Baiklah mas beli terserah pilihan Mas yah. Ingat kamu harus makan dan tetap sarapan Mas nggak mau kamu sakit lagi
"Nah, kalau kaya gitu Mas nggak jadi ngelarang, pokoknya kalau kamu ikutan sakit Mas akan marah," balasnya lagi dengan mengusap pucuk kepalaku dan tidak lama pergi untuk mencari sarapan ke kantin.
Pikiranku kembali membayangkan adikku yang malang. Di dalam hati sudah sangat banyak pertanyaan yang ingin sekali aku tanyakan pada Dirly. Ah, maksud aku aku ingin tahu dengan detail kejadian yang menimpa adikku. Kenapa Dirly yang menurut aku juga baik dan sabar bisa-bisanya berbuat keji seperti itu. Aku tidak menyangka kalau Dirly yang selama aku kenal dia laki-laki baik, sopan satun tinggi, orang tuanya juga kepala sekolah. Aku rasa tidak mungkin kurang didikan mengingat Dirly dan aku sudah kenal dari jaman kami sekolah. Bahkan hubungan aku dan keluarganya tetap baik, meskipun Dirly sendiri berkhianat dari aku.
Lalu pantaskan aku merasa bersyukur di tengah tengah musibah yang menimpa adikku? Mengingat aku tidak jadi istri dari Dirly. aku sendiri tidak bisa membayangkan kalau aku yang menjadi posisi Lyra, akankah rumah tangga kami akan adem ayem saja, atau justru sebaliknya. Selalu beradu mulut mencari pembelaan.
Hatiku bergetar hebat ketika lampu monitor berwarna merah telah mati, dengan tubuh lemah aku beranjak dari dudukku dan mengayunkan langkah ke depan pintu ruang operasi di mana tidak lama dari lampu mati aku melihat seorang dokter ke luar dengan wajah lelahnya.
"Kondisi adik saya bagaimana Dok?" tanyaku dengan tubuh yang bergetar seolah belum siap apabila mendengar kabar buruk mengenai Lyra. Ada rasa penasaran yang tinggi, tetapi juga hatiku nyeri untuk mendengarnya.
"Tiga luka tusuk di perutnya, yang dua cukup ringan dan yang satu cukup dalam dan membuat kami harus bekerja sedikit lebih lama, karena selain merusak jaringan luar kulit, juga mengenai jaringan fital dalam perut sehingga kami harus belakukan operasi besar untuk mengobati bagian dalam dulu baru ditutup dengan menjahir luka luar. Kondisi adik Anda belum setabil, alias masih dalam tahap kritis kita akan pindahkan di ruang ICU, untuk kami pantau perkembangan kedepanya, apabila sudah setabil akan kami kabarkan pada anggota keluarga Anda lagi," jelas sang dokter yang wajahnya masih setengah tertutup masker.
Aku memegang dadaku nyeri sekali mendengar penjelasan dokter.
"Tapi, apa ada kemungkinan kalau adik saya akan kembali normal Dok, sehat kembali seperti dulu?" tanyaku sembari menahan sakit di tenggorokan menahan tangis yang ingin pecah. Bahkan untuk menekan salivaku sangat nyeri.
"Kondisi pasien cukup parah jadi untuk sejauh ini kesempatan kembali sehat lima puluh persen. Tergantung kondisi fisik tubuhnya. Kami bukan menakut-nakuti, tetapi seperti itu kondisi pasien. Kalian juga harus menyiapkan mental apabila pasien tidak tertolong. Namun, kami tetap akan kembali bekerja dengan sebaik mungkin. Karena bagi kami menyelamatkan satu nyawa sangat berharga, jadi kami akan memberikan yang terbaik."
Dalam kepasrahanku, aku tetap menggantungkan harapan yang besar agar Lyra sembuh. Segala amarah yang dulu ada di hatiku hilang ketika mengetahui kondisinya. Aku dan dokter penanggung jawab atas kesehatan Lyra terus bercerita bagimana kondisi Lyra dan apa efek terbesarnya selain kematian.
Dengan tubuh yang seolah tidak ada tenaga, aku kembali mengayunkan kakiku untuk kembali duduk. Diam tetap berdoa, dan juga melantunkan dzikir terus ku panjatkan, mungkin bisa mengurangi rasa sakit adiku. Karena hanya doa dan doa yang bisa aku bantu.
"Dokter bilang apa?" Suara Mas Aarav mengagetkanku. Di mana kembali aku melamun, bahkan tidak sadar kalau mas suami sudah kembali dengan dua cangkir kopi dan bok sarapan, sudah ada di samping mas suami.
Hatiku yang sesak dan rasa sedih, takut kehilangan menjadi satu. Aku justru terisak ketika melihat mas suami yang ada di sampingku, hatiku seolah lebih nyaman ketika melihat wajahnya. Aku terisak di balik dadanya. Dada yang semalam memberikan kenyamanan untukku. Aku dapat merasakan tangan kekarnya mengusap lembut di pucuk kepalaku.
"Dokter hanya memberikan harapan Lyra akan sembuh lima puluh persen. Selain harapan dan doa agar Lira tetap sembuh, dokter juga meminta agar kami menyiapkan mental kalau memang Lyra menyerah di tengah perjuangannya," jawabku dengan masih sesekali terisak. Cukup lama aku bisa menyiapkan mental untuk bercerita apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu tenang, jangan dipikir panik, bukanya kamu tahu jodoh dan kematian sudah ditetapkan bahkan sebelum kita lahir. Dan soal Lyra yang mungkin nantinya tidak bertahan mungkin itu semua karena Lyra jatah hidupnya hanya sampai sini. Tuhan sudah menggariskan yang terbaik untuk adik kamu." Mas Aarav terus mengusap pucuk kepalaku dan memberikan kekuatan untukku yang jujur ini adalah rasa ketakutanku yang begitu dalam.
Aku menatap kedua mata Mas Aarav dengan dalam.
"Maaf yah, di saat kita harusnya bahagia malah kejadianya seperti ini. Maaf kami, Mas harus cape ikut menjaga Lyra di rumah sakit. Maaf jauh-jauh datang dari Jakarta, Mas malah harus berjaga di rumah sakit," ucapku dengan tulus. Aku benar-benar merasakan rasa yang tidak enak. Karena harus melibatkan suamiku dalam urusan melelahkan ini.
"Dek, ini di rumah sakit jangan bikin Mas Khilaf. Mas ikhlas melakukan ini semua. Mas tidak pernah merasa keberatan ataupun lelah. Kita sudah menikah, urusan kamu urusan Mas juga jadi Mas tidak merasa berat dan kesal karena tragedi ini. Ini udah takdirnya Lyra akan seperti ini. Kita jalani bersama-sama." Mas Aarav menatapku penuh cinta, aku pun jadi merasa lega karena suamiku tidak merasa keberatan dengan menemaniku di rumah sakit.
Dengan keadaan hati yang masih sedih kami pun makan dengan ngemper di depan ruangan Icu menunggu adikku, mungkin saja kabar baik akan segera menghampiri. Aku juga terus berkomunikasi dengan orang rumah. Di mana barusan aku mendengar kabar kalau sang suami dari Lyra sudah di amankan polisi. Yah Dirly ternyata tengah pulas tertidur di rumah orang tuanya.
Aku bahkan dalam makanku tidak terlalu fokus karena tidak sampai pikir bagaimana bisa Dirly tetap tertidur dengan tenang sedangkan dirinya telah melakukan kejahatan luar biasa.
"Mas..." Aku memberikan ponselku agar mas suami membaca apa yang kami obrolkan. Aku sesekali melihat kening mas suami mengerut dengan sempurna. Tidak lama Mas Aarav kembali memberikan ponselnya padaku.
"Kaliaan ngomongin apa sih, polisi, Dirly. Mas nggak tahu," ucapnya dengan wajah yang datar. Aku kembali mengambil ponselku dan membaca pesan ulang dengan orang rumah. Aku pun terkekeh. Baru sadar kalau kami berkirim kabar dengan menggunakan bahasa jawa.
"Oh, astaga Mas aku lupa kalau kita ngombrol pakai bahasa jawa. Mas nggak tahu yah?" tanyaku sembari tersenyum samar.
"Tahu sih, tapi tahunya yang polisi dan Dirly ketemu, selain itu nggak paham," jawabnya sembari kembali menikmati maknan kami yang seadanya.
"Dirly sudah ketemu dan sekarang sudah berada di kantor polisi. Ternyata Dirly itu sedang tidur di rumah orangtuanya. Nggak nyangka banget kayak seorang psykopat saja, tidak merasa bersalah setelah melakukan kejahatan yang sangat keji," ucapku mengartikan obrolan aku dalam bentuk pesan teks.
"Mungkin memang bukan dia pelakunya. Bukan Mas bela yah, tapi kalau Mas lihat sekilas mantan calon suami kamu itu baik loh. Mas malah sedikit tidak respek sama adik kamu. Namun Mas nggak berani ngambil kesimpulan lebih karena Mas hanya melihat sekilas dan juga belum tahu betul tentang mereka," jawab Mas Aarav dengan tetap santai menikmati makananya.
Aku justru semakin bingung dengan ucapan mas suami, dalam batinku justru aku kembali meragu. "Tapi bukanya kadang orang yang baru kenal malah bisa melihat bagaimana sifat yang sesungguhnya tanpa pemanis buatan."
"Rasanya aku semakin tidak sabar untuk mengetahui konflik dalam rumah tangga adikku yang satu ini. Jangan sampai aku sudah nangis-nagis ternyata nagisi kesalahan yang tidak sepatutnya untuk di tangisi. Jangan sampai pula dari masalah ini aku terlibat, meskipun rasanya mustahil kalau tidak terlibat mengingat sebelumnya saja Lyra berbicara ketus teehadapku. Oh Tuhan berilah aku kekuatan hatiku untuk menghadapi masalhku yang satu ini."
...****************...
Sembari nunggu kelanjutan kisah Om Duda, mampir novel bestie othor yuk...