Xin Lian, seorang dukun terkenal yang sebenarnya hanya bisa melihat hantu, hidup mewah dengan kebohongannya. Namun, hidupnya berubah saat seorang hantu jatuh cinta padanya dan mengikutinya. Setelah mati konyol, Xin Lian terbangun di dunia kuno, terpaksa berpura-pura menjadi dukun untuk bertahan hidup.
Kebohongannya terbongkar saat Pangeran Ketiga, seorang jenderal dingin, menangkapnya atas tuduhan penipuan. Namun, Pangeran Ketiga dikelilingi hantu-hantu gelap dan hanya bisa tidur nyenyak jika dekat dengan Xin Lian.
Terjebak dalam intrik istana, rahasia masa lalu, dan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka, Xin Lian harus mencari cara untuk bertahan hidup, menjaga rahasianya, dan menghadapi dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
"Bukan hanya kebohongan yang bisa membunuh—tapi juga kebenaran yang kau ungkap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Ketika Bayangan Berbicara
Suasana di dalam kuil tua itu mencekam. Udara terasa berat, seperti diselimuti kabut yang tak kasat mata. Bau anyir darah bercampur dengan aroma kayu lapuk dan dupa yang terbakar, menciptakan rasa mual yang menjalar hingga ke tenggorokan. Cahaya merah samar dari lingkaran ritual di altar memantulkan bayangan aneh di dinding, seolah-olah patung-patung kuno yang berdiri di sudut-sudut ruangan bergerak mengikuti irama kutukan yang tak terdengar.
Tianlan berdiri tegap di tengah ruangan, tatapannya tak lepas dari Jingrui yang berdiri di seberang altar. Wajahnya tetap dingin, namun ada bara kemarahan yang tersembunyi di balik matanya. Jingrui, mantan prajuritnya, kini tak tampak seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Mata pria itu gelap, penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—sebuah kehampaan yang mengintimidasi.
"Jingrui," Tianlan memanggil dengan suara berat, nadanya lebih menyerupai perintah daripada sapaan. "Apa yang telah kau lakukan pada dirimu?"
Jingrui tersenyum tipis, senyum yang dipenuhi kegetiran dan kesombongan. "Aku melakukan apa yang harus kulakukan, Jenderal. Dunia ini tak peduli pada kehormatan atau kesetiaan. Hanya kekuatan yang dihormati."
Di sisi lain ruangan, Xin Lian berdiri dengan tubuh tegang. Mata emasnya menyipit, memindai setiap sudut ruangan, mencari celah untuk bertindak. Di bawah sikap liciknya, ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Gadis kecil yang terikat di altar tampak semakin lemah, napasnya terengah-engah, dan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya telah membentuk pola aneh di lantai.
"Kalau kau mau bicara soal kekuatan," Xin Lian menyela dengan nada sinis, "Maka aku akan memberitahumu bahwa orang kuat tidak membutuhkan anak kecil untuk mencapai tujuannya."
Jingrui tertawa kecil, suaranya serak dan dingin. "Kau tak mengerti, Nona Xin. Gadis ini hanyalah permulaan. Kau sendiri adalah bagian dari rencana yang lebih besar."
"Rencana besar?" Xin Lian mengangkat alis, senyum mengejek menghiasi wajahnya. "Kalau begitu, biarkan aku menghancurkan rencanamu sekarang."
Dengan satu gerakan cepat, Xin Lian melesat menuju altar, namun bayangan hitam yang melingkari Jingrui bergerak lebih cepat. Bayangan itu melesat seperti ular, membelit pergelangan tangan Xin Lian sebelum ia bisa mencapai gadis itu.
"Xin Lian!" seru Tianlan.
Namun, sebelum Tianlan sempat bergerak, Jingrui melangkah maju, pedang hitam di tangannya berkilauan dalam cahaya merah. "Kau terlalu lambat, Jenderal. Kau mungkin pernah menjadi pemimpin yang hebat, tetapi dunia ini telah berubah."
Tianlan tak menjawab. Sebagai gantinya, ia mengangkat pedangnya, gerakannya tenang namun penuh kekuatan. "Kau telah melupakan sumpahmu, Jingrui. Kau lupa siapa dirimu."
Jingrui hanya tersenyum, lalu menyerang.
***
Adegan Pertarungan
Pedang mereka bertemu dengan suara dentingan tajam, memercikkan kilatan cahaya yang menyilaukan. Tianlan melangkah mundur, mengukur gerakan lawannya. Jingrui menyerang dengan kekuatan liar, setiap tebasannya membawa aura gelap yang membuat udara di sekitarnya bergetar.
Namun, Tianlan tetap tenang. Gerakannya presisi, setiap serangan Jingrui ditangkis dengan mudah, seolah-olah ia sudah mempelajari setiap langkah pria itu.
"Jingrui, kau bertarung seperti orang yang kehilangan arah," kata Tianlan dengan nada dingin. "Apakah ini yang kau inginkan? Menjadi boneka dari kutukan ini?"
Wajah Jingrui mengeras, dan untuk sesaat, ada keraguan yang melintas di matanya. Namun, itu segera hilang, digantikan oleh kebencian yang membara. "Kau tidak tahu apa-apa, Tianlan. Kau tidak tahu apa yang telah kulalui."
Di belakang mereka, Xin Lian berjuang melawan belitan bayangan yang mengikatnya. Cahaya keemasan dari tanda di tubuhnya mulai bersinar, memotong bayangan itu sedikit demi sedikit. Namun, setiap kali ia berhasil membebaskan dirinya, bayangan itu kembali menyerangnya dengan kekuatan yang lebih besar.
"Dasar menyebalkan," gerutu Xin Lian, matanya bersinar tajam. "Kalau kau pikir kau bisa menghentikanku, maka kau salah besar."
Dengan satu gerakan cepat, Xin Lian memusatkan energinya, menciptakan ledakan cahaya yang menghancurkan bayangan itu sepenuhnya. Ia melompat ke altar, tangannya bergerak cepat untuk memeriksa gadis kecil yang terbaring lemah di sana.
Namun, sebelum ia sempat melakukan apa pun, Jingrui berteriak, "Jangan sentuh dia!"
Tianlan memanfaatkan momen itu untuk menyerang. Pedangnya menebas udara, memotong bayangan yang melindungi Jingrui dan membuat pria itu terhuyung mundur.
"Xin Lian, cepat!" seru Tianlan.
Xin Lian tidak membuang waktu. Ia memanggil energi dari tanda di tubuhnya, mengarahkan cahaya itu ke tali yang mengikat gadis itu. Tali itu mulai retak, namun Jingrui melangkah maju, matanya penuh amarah.
"Kalian tidak mengerti," katanya dengan suara rendah. "Jika gadis itu hidup, maka semuanya akan sia-sia. Kalian akan menghancurkan satu-satunya kesempatan untuk menghentikan kutukan ini."
"Dan kau pikir membunuh seorang anak adalah jawabannya?" Tianlan menatap Jingrui dengan mata penuh kebencian. "Kau lebih bodoh daripada yang kupikirkan."
Dengan satu tebasan terakhir, Xin Lian berhasil memutuskan tali itu. Gadis kecil itu jatuh ke pelukannya, tubuhnya lemah namun masih bernapas.
Namun, saat itu juga, lantai di bawah mereka mulai bergetar. Cahaya merah dari lingkaran ritual semakin terang, dan suara Jingrui bergema di seluruh ruangan.
"Kalian terlambat. Gerbang Kutukan telah terbuka."
Tianlan dan Xin Lian saling bertukar pandang, menyadari bahwa apa pun yang baru saja mereka hentikan hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya.
***
Udara di sekitar kuil terasa berat, seperti ditindih oleh kehadiran sesuatu yang tak kasatmata. Kabut yang tadi menyelimuti perlahan menghilang, tetapi menyisakan aroma lembap dan dingin yang menusuk tulang. Cahaya bulan redup, tertutup awan gelap yang bergerak perlahan, seakan menolak menyinari tanah yang ternodai oleh darah.
Xin Lian berdiri di samping gadis kecil yang pingsan, tubuhnya tegak namun kedua alisnya berkerut. Jemarinya yang ramping menyentuh tanda bercahaya di lengannya, yang terasa panas seperti bara api. Meski ekspresinya tetap tenang, matanya memancarkan ketegangan yang sulit disembunyikan.
Di sisi lain, Tianlan masih memegang pedangnya, ujungnya menancap di tanah. Bahunya naik turun, napasnya berat, namun matanya tetap tertuju pada altar yang kini gelap. “Apa maksud semua ini?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.
“Jadi, kau adalah ‘kunci’,” suara Tianlan akhirnya memecah keheningan. Nada suaranya datar, tetapi ada ketegangan yang jelas.
Xin Lian mendongak, senyum tipis menghiasi wajahnya, meski matanya tak menunjukkan kegembiraan. “Kunci untuk apa, Jenderal? Gerbang menuju neraka? Atau gerbang menuju kehancuran?”
Tianlan mendekatinya, pedangnya masih di tangan. “Jangan bermain kata, Xin Lian. Suara itu jelas memanggilmu. Apa yang kau sembunyikan?”
Senyumnya melebar, tetapi ada kilatan licik di matanya. “Aku tidak menyembunyikan apa pun, hanya saja... aku juga tidak tahu seberapa besar peranku dalam permainan ini.” Dia menunduk, menatap gadis kecil yang terbaring. “Tapi satu hal yang pasti, kita tidak bisa meninggalkan anak ini di sini.”
Tianlan mengerutkan dahi. “Anak itu bagian dari ritual. Jika dia tetap hidup, gerbang mungkin tidak akan tertutup sepenuhnya.”
Xin Lian berdiri, menatap Tianlan dengan tajam. “Dan jika dia mati, apa kau yakin itu akan menyelesaikan semuanya? Atau justru membukanya lebih lebar?”
Sebelum Tianlan bisa menjawab, suara gemuruh kembali terdengar. Dinding kuil yang retak mulai runtuh, dan dari celah-celah lantai, bayangan hitam melesat keluar seperti ular yang kelaparan.
Tianlan segera menarik Xin Lian ke belakang, melindungi gadis kecil di antara mereka. Pedangnya berkilau saat dia menebas bayangan itu, tetapi setiap kali satu bayangan terpotong, dua lagi muncul dari kegelapan.
Xin Lian mengeluarkan jimat dari dalam lengan bajunya. Dengan gerakan cepat, dia menempelkan jimat itu ke lantai, menciptakan lingkaran pelindung di sekitar mereka. “Ini tidak akan bertahan lama!” serunya.
Tianlan menebas bayangan yang mendekat, matanya penuh konsentrasi. “Apa yang harus kita lakukan?!”
Xin Lian menggigit bibirnya, otaknya bekerja cepat. “Kita harus menghancurkan altar itu! Tapi aku butuh waktu untuk mempersiapkan mantra.”
“Berapa lama?”
“Lima menit.”
“Lima menit terlalu lama,” Tianlan mendengus, tetapi dia berdiri di depan Xin Lian, melindunginya dari bayangan yang terus menyerang.
Saat Xin Lian mulai merapal mantra, dia merasakan sesuatu yang aneh. Kata-kata kuno yang keluar dari mulutnya terasa asing, seolah bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam pikirannya, dia melihat bayangan seorang wanita dengan rambut panjang dan mata emas yang bersinar. Wanita itu tersenyum, tetapi senyumannya penuh misteri.
“Kau adalah pewaris darahku. Hancurkan altar itu, dan kau akan menemukan kebenaran.”
Xin Lian terdiam sejenak, tetapi suara Tianlan yang berteriak membawanya kembali ke kenyataan. “Xin Lian! Cepat!”
Dia mengangguk, menyelesaikan mantranya. Lingkaran pelindung itu berubah menjadi cahaya yang meledak, menghancurkan sebagian bayangan. Namun, altar itu tetap berdiri, meski retak mulai terlihat di permukaannya.
Setelah pertempuran selesai, Tianlan menatap Xin Lian dengan tatapan penuh tanya. “Kau tahu sesuatu, bukan? Tentang suara itu, tentang altar ini. Kau bukan hanya seorang dukun gadungan.”
Xin Lian tertawa kecil, tetapi ada kepahitan dalam suaranya. “Dukun gadungan atau bukan, apa bedanya? Aku hanya ingin bertahan hidup, sama seperti kau.”
Tianlan tidak puas dengan jawabannya, tetapi dia tidak mendesak lebih jauh. Sebaliknya, dia menatap gadis kecil yang masih pingsan. “Apa yang akan kita lakukan dengannya?”
Xin Lian mendekati anak itu, menyentuh dahinya dengan lembut. “Dia adalah korban, bukan pelaku. Jika kita meninggalkannya, kita tidak lebih baik dari orang-orang yang mencoba mengorbankannya.”
Di luar kuil, angin malam bertiup kencang, membawa bau tanah basah dan dedaunan kering. Xin Lian memandang ke langit, melihat bulan yang kembali bersinar terang. “Gerbang itu mungkin tertutup untuk sekarang,” katanya pelan. “Tapi ini belum selesai.”
Tianlan menatapnya, matanya penuh dengan tekad. “Kalau begitu, kita harus mencari jawaban. Dan aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian.”
Xin Lian tersenyum, tetapi kali ini ada kehangatan dalam senyumannya. “Kau terlalu baik untuk seorang jenderal, Tianlan.”
***
Saat mereka bersiap meninggalkan kuil, suara gemuruh kecil terdengar dari kejauhan. Xin Lian menoleh, dan di antara kabut yang kembali turun, dia melihat sosok Jingrui berdiri di puncak bukit, menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Sepertinya kita belum selesai dengan teman lamamu,” kata Xin Lian, matanya menyipit.
Tianlan mengepalkan tangannya, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dalam hatinya, dia tahu bahwa pertemuan berikutnya dengan Jingrui tidak akan mudah, dan mungkin akan mengungkap lebih banyak rahasia yang selama ini tersembunyi.
awal yg menarik 😍