Widuri Azzahra, seorang gadis cantik yang lahir di Cianjur tepatnya di sebuah desa di kabupaten cianjur, namun saat ia sudah berusia 15 tahun Widuri di bawa pindah ke Bandung oleh kedua orang tuanya, Widuri tumbuh menjadi gadis cantik, saat ia menginjak sekolah menengah atas, Widuri bertemu dengan Galuh, selang beberapa bulan mereka berpacaran, namun salah satu pihak merugikan pihak yang lain, ya sayang sekali hubungan mereka harus kandas, karena Galuh yang kurang jujur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuli Yanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Penyesalan yang Terlambat
Damar menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku akan selalu ada buat kamu, Wid. Kamu nggak sendirian."
Widuri tersenyum kecil. Kata-kata Damar selalu berhasil membuatnya merasa lebih tenang.
Malam itu, dia tidur dengan pikiran yang lebih damai, siap menghadapi langkah-langkah baru dalam hidupnya.
---
Hari-hari setelah pameran itu berjalan penuh semangat untuk Widuri. Kesuksesan karyanya membuat beberapa tawaran pameran baru mulai berdatangan. Namun, di balik kesibukan Widuri, ada seseorang yang masih bergulat dengan bayang-bayang masa lalu—Galuh.
Di kamar kecilnya, Galuh duduk di kursi dekat jendela, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Dia menggenggam ponselnya, menatap pesan terakhir yang pernah dia kirimkan pada Widuri beberapa bulan lalu. Pesan itu tidak pernah dibalas.
"Aku benar-benar bodoh," gumam Galuh pelan.
Dia ingat betapa banyaknya kesempatan yang pernah dia sia-siakan bersama Widuri. Saat itu, dia berpikir bahwa Widuri akan selalu ada untuknya, tak peduli seberapa sering dia mengabaikannya. Tapi kini dia sadar, Widuri sudah melangkah jauh, dan dia tidak lagi menjadi bagian dari hidup gadis itu.
Sementara itu, Widuri mulai menjalani rutinitas baru sebagai salah satu finalis lomba seni tingkat nasional. Dia lebih sering menghabiskan waktu di studio seni dibandingkan di rumah. Bahkan, dia mulai sering pulang larut malam karena sibuk mempersiapkan karya-karyanya.
"Wid, jangan terlalu keras sama diri sendiri," kata Damar suatu malam saat mereka sedang berjalan pulang dari studio seni.
Widuri tersenyum kecil. "Aku nggak apa-apa, Dam. Justru aku senang bisa sibuk seperti ini. Rasanya, aku akhirnya tahu apa yang benar-benar ingin aku lakukan dalam hidup."
Damar mengangguk. "Aku bangga sama kamu, Wid. Kamu udah jauh lebih kuat dari yang aku kenal dulu."
"Dan aku juga bersyukur ada kamu, Dam. Kamu selalu ada buat aku, bahkan saat aku hampir nyerah dulu."
Keduanya saling bertukar senyum hangat, merasa bahwa perjalanan hidup mereka perlahan semakin jelas arahnya.
Namun, tidak semua orang merasa tenang seperti mereka. Galuh mulai merasa putus asa. Dia sering merasa kesepian dan menyesali setiap keputusan buruk yang pernah dia buat.
Suatu sore, dia mencoba mendekati salah satu teman lama Widuri, berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk bicara dengan gadis itu lagi.
"Tolong, aku cuma pengen ngomong sebentar sama Widuri. Aku janji nggak akan ganggu dia lagi setelah ini," ujar Galuh penuh harap.
Namun, temannya hanya menggeleng. "Widuri udah move on, Galuh. Kamu harus belajar buat nerima itu. Kalau kamu terus begini, kamu cuma nyakitin diri sendiri."
Kata-kata itu menampar Galuh. Dia tahu bahwa temannya benar, tapi hatinya masih sulit menerima kenyataan.
Hari demi hari berlalu. Widuri semakin sibuk, tapi juga semakin dekat dengan tujuannya. Lomba seni tingkat nasional tinggal beberapa minggu lagi, dan dia bertekad memberikan yang terbaik.
Suatu hari, saat sedang berada di ruang seni, dia menerima telepon dari panitia lomba.
"Selamat sore, Widuri. Kami ingin menginformasikan bahwa Anda terpilih menjadi salah satu finalis yang akan mewakili sekolah Anda di tingkat nasional."
Mata Widuri membelalak. "Serius? Terima kasih banyak, Pak!"
Telepon itu menjadi salah satu momen terbaik dalam hidup Widuri. Dia segera memberi tahu Damar, yang langsung datang ke ruang seni untuk merayakan kabar baik itu.
"Ini luar biasa, Wid!" seru Damar sambil tersenyum lebar.
Widuri hanya bisa tertawa bahagia. "Aku nggak percaya bisa sampai sejauh ini, Dam. Ini semua berkat dukungan kamu juga."
Namun, di sisi lain kota, Galuh masih berusaha mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Widuri. Suatu malam, dia memberanikan diri untuk menulis surat panjang yang berisi permintaan maaf dan penyesalan mendalam.
"Aku tahu ini mungkin nggak ada gunanya, tapi aku harus melakukannya," bisik Galuh pada dirinya sendiri sebelum memasukkan surat itu ke dalam amplop dan mengirimkannya ke alamat Widuri.
Ketika Widuri menerima surat itu beberapa hari kemudian, dia merasa ragu untuk membukanya. Tapi setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk membaca isinya.
"Dear Widuri,
Aku tahu aku nggak punya hak untuk meminta maaf, tapi aku benar-benar menyesal atas semua yang pernah aku lakukan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku bangga dengan semua pencapaianmu. Aku harap kamu bisa terus bahagia dan melangkah maju. Aku minta maaf telah menyakitimu.
Salam,
Galuh."
Widuri menutup surat itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa Galuh tulus dalam permintaan maafnya, tapi dia juga sadar bahwa tidak ada gunanya untuk kembali ke masa lalu.
Malam itu, Widuri merenung di balkon kamarnya. Dia memutuskan untuk tidak membalas surat itu. Baginya, kata-kata maaf dari Galuh sudah cukup untuk menutup bab itu dalam hidupnya.
"Yang penting sekarang adalah masa depan," bisik Widuri pada dirinya sendiri sambil menatap bintang-bintang di langit.
Damar, yang mengirim pesan padanya malam itu, menulis:
"Aku yakin kamu bisa melalui semuanya, Wid. Kamu adalah bintang yang bersinar di jalurmu sendiri."
Widuri tersenyum kecil, merasa lebih kuat dari sebelumnya.