Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Posesif.
Aku akan datang sedikit terlambat. Tunggulah di sana, jangan ke mana-mana.
Itulah sebaris kalimat yang Reagen kirimkan pada Zenaya beberapa menit lalu, yang belum juga muncul di hadapannya sampai saat ini. Zenaya memang sengaja mengambil lembur hari ini agar bisa langsung tidur sesampainya di rumah. Sebab setelah kejadian semalam, dia terlalu malu untuk berhadapan dengan sang suami.
Zenaya menggosok kedua lengannya demi mengurangi rasa dingin yang mulai merambat ke sekujur tubuhnya.
Di lain sisi, David yang sedang berjalan menuju ke luar gedung tanpa sengaja melihat Zenaya yang masih berada di luar, setelah wanita itu pamit lebih dulu saat mereka berpapasan lima belas menit yang lalu.
"Zen!" Tanpa pikir panjang, David memutuskan untuk menghampiri Zenaya.
Zenaya kemudian menoleh ke arah sumber suara. "Dav, kamu baru mau pulang?" tanyanya.
David mengangguk. "Kamu sendiri belum pulang? Mana suamimu?" tanya David sembari menoleh ke sana kemari.
Zenaya menggeleng. "Dia datang terlambat," jawab wanita itu sambil terus menggosok-gosok kedua lengannya yang tidak terlapisi kain.
"Mana mantelmu?" tanya David lagi.
Zenaya mengangkat kedua bahunya tanpa menjawab. Namun, saat David menawarkan mantelnya untuk Zenaya, dia dengan sopan menolak.
"Kalau begitu aku antar saja. Malam semakin dingin dan kamu bisa menghubungi suamimu nanti," ucap David sembari menunjukkan raut kekhawatirannya.
"Tidak perlu, dia akan datang sebentar lagi." Zenaya kembali menolak halus tawaran pria itu.
David mengembuskan napas, sedikit terluka dengan penolakan itu, tetapi tetap berusaha terlihat baik-baik saja. "Baiklah, aku akan menemanimu selama sepuluh menit di sini, dan kalau dia belum datang juga mau tidak mau kamu harus ikut denganku."
Zenaya nampak menimbang-nimbang tawaran David sebelum akhirnya menyetujui tawaran tersebut, dan David tanpa persetujuan Zenaya segera membuka mantelnya lalu menyelimuti tubuh wanita itu.
Zenaya sontak terkejut. Namun, sebelum ia mulai bicara, David sudah memotongnya terlebih dahulu. "Hanya sampai kamu di jemput."
Keduanya pun terdiam sembari menunggu kedatangan Reagen, hingga sampai sepuluh menit kemudian pria itu belum juga muncul di sana.
Zenaya baru saja hendak mengambil ponselnya, ketika David tiba-tiba menarik tangan wanita itu. "Sudah lebih dari sepuluh menit, sebaiknya kamu ikut denganku. Udara malam seperti ini tidak baik bagi wanita hamil," ujar David tanpa memperdulikan protes Zenaya.
David pun membawa Zenaya menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana.
...***...
"Terima kasih, Dav. Maaf sudah merepotkanmu," ucap Zenaya saat mobil yang ditumpanginya tiba di lobi apartemen.
"Tidak perlu begitu, sesama teman harus saling membantu, kan? " David mengulas senyum ramah. "Sampaikan salamku untuk suamimu. Kuharap dia masih mengingatku," sambungnya.
Zenaya mengangguk dan bergegas keluar dari mobil. Setelah David benar-benar pergi dia pun segera masuk dan naik ke dalam lift menuju unitnya.
Akan tetapi, sesampainya di sana Zenaya mendapati unit apartemen tersebut gelap dan kosong.
"Astaga!" Zenaya memekik kecil. Asyik mengobrol di jalan membuat wanita itu lupa mengabari kepulangannya pada Reagen.
Beberapa detik kemudian suara gebrakan pintu terdengar. Zenaya berjengit kaget ketika mendapati Reagen masuk ke dalam apartemen dengan raut wajah dingin.
"Bukankah sudah kubilang untuk tetap berada di sana dan jangan ke manapun sebelum aku datang!" seru pria itu.
"Kau terlalu lama. Salah seorang teman menawariku pulang bersama dan aku lupa mengabarimu," jawab Zenaya jujur.
"Lupa karena terlalu asyik mengobrol di mobil dengan David?" Reagen memasang senyum dingin.
Zenaya mengernyitkan dahinya. "Kau tahu?" tanya wanita itu heran.
"Saat mobil pria itu keluar, aku baru saja datang. Kita sebenarnya berpapasan, tapi kau terlalu asyik melempar tawa padanya hingga tidak menyadari keberadaanku." Reagen berusaha mengontrol emosinya. Bayang-bayang wajah sang istri yang tampak bahagia saat bersama David tadi masih terus bergentayangan di dalam ingatannya.
Kenyataan bahwa Zenaya tak pernah sekalipun memberikan senyuman itu padanya, menambah luka lain di dalam hati Reagen.
Reagen kemudian mengalihkan pandangannya pada mantel tebal yang masih tersampir di bahu Zenaya.
"Aku tak pernah ingat kau memiliki mantel itu," ujar Reagen.
Zenaya tersentak. Dia baru menyadari bahwa mantel milik David masih berada di tubuhnya.
"Ini milik David, aku akan mengembalikannya besok." Zenaya berbalik badan untuk masuk ke dalam kamar mandi.
"Aku tidak pernah mempermasalahkan siapapun yang pulang bersamamu selama bukan pria. Terlebih pria seperti David!" Reagen memberi ultimatum tegas.
Zenaya sontak menghentikan langkahnya. "Memang ada apa dengan David? Kau tak bisa melarangku bergaul dengan siapapun, apa lagi aku sudah mengenal David lumayan lama dan kami berteman baik hingga kini."
Mendengar pembelaan Zenaya, Reagen tertawa sinis. "Teman apa yang memberikan ciuman di kening saat mengantar pulang."
Reagen ternyata sedang mengungkit kejadian beberapa bulan lalu, saat David mengantarnya pulang sehabis makan malam di taman. Pria itu mendaratkan sebuah kecupan ringan di dahi Zenaya, dan Reagen melihatnya jelas dari dalam mobil.
"Itu dulu. Sekarang dia tahu aku sudah menikah." Zenaya mencoba memberi alasan, walau jauh di dalam lubuk hatinya, entah mengapa dia merasa bersalah pada Reagen.
"Tidak semudah itu seorang pria melupakan wanita yang dicintainya." Ada sorot mata lain yang tampak saat Reagen mengatakan hal demikian.
"Aku tak ingin bertengkar denganmu, dan dia tidak mencintaiku!" tegas Zenaya.
"Dia jelas menyukaimu, mengagumimu, mencintaimu!" Reagen tampak frustrasi saat berkata demikian.
"Itu tidak benar!" sentak Zenaya. Dia tidak terima teman baiknya difitnah sedemikian rupa. David jelas-jelas hanya menganggap Zenaya tak lebih dari seorang teman baik sekaligus adik.
"Apa buktinya? Bisakah kau memberikan sedikit contoh atas sikapnya padamu selama ini yang tidak terlihat melibatkan perasaan?" Reagen mengajukan pertanyaan telak yang langsung membuat Zenaya bungkam seketika.
"Semua yang dia lakukan padamu adalah bentuk perasaan cintanya, Zenaya Walker!" Reagen menekan nama wanita itu untuk memberi penegasan padanya.
Zenaya tertunduk sejenak. Sebenarnya dia bukan tidak menyadari hal tersebut. Akan tetapi, bagaimanapun juga Zenaya tetap ingin berteman baik dengan David, dan dia yakin David tidak akan berbuat lebih. Apa lagi kini dirinya telah bersuami.
"Kau terlalu banyak ikut campur urusanku. Sikap lunak yang aku tunjukan ternyata membuat dirimu merasa memiliki hak atas diriku." Zenaya mencoba tetap bersikap jahat seperti biasa.
"Aku memang memiliki hak atas dirimu, Zenaya!" seru Reagen.
"Kau tidak memiliki itu! Aku bukan bonekamu!" pekik wanita itu sembari menatap Reagen tajam. Perasaan marah tiba-tiba meluap dalam dirinya.
"Aku memilikinya!" Reagen berjalan menghampiri Zenaya.
Sorot matanya yang dingin sontak membuat ketakutan hadir mengusik relung Zenaya begitu. Wanita itupun memundurkan langkahnya. "Menjauh dariku!"
"Aku suamimu!" Bentak pria itu tanpa sadar. Refleks dia menarik Zenaya dan mencium bibirnya.
Zenaya terbelalak. Ingatan akan peristiwa beberapa waktu lalu tiba-tiba kembali berlalu-lalang di benaknya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada dia mendorong Reagan karena takut pria itu akan berlaku kasar kembali. Namun, ternyata tidak demikian. Alih-alih kasar, Reagen malah dengan memeluk lembut pinggang Zenaya sembari melempar mantel David yang masih tersampir di bahunya tanpa melepaskan ciuman.
Jantung Zenaya berdegup keras.
Tak lama, Reagenpun melepaskan ciuman mereka setelah memagut sedikit bibir Zenaya. Kening pria itupun menempel pada keningnya.
"Aku mencintaimu, Zenaya. Tak bisakah kau melihatnya sekarang? Semua salah yang kulakukan karena aku sangat mencintaimu," ucap Reagen lirih sembari memejamkan matanya.
Zenaya bungkam. Jangankan membuka mulut, bergerak sedikit saja dia tak mampu melakukannya.
"Hilangkan traumamu, Zen. Aku akan menebusnya dengan cara apa pun." Mata Reagen perlahan terbuka.
Zenaya menatap lurus-lurus pria itu dan baru menyadari keindahan warna mata sang suami dari jarak yang sangat dekat ini.
Reagen perlahan memegang perut Zenaya yang tampak rata lalu mengelusnya lembut. Dengan hati berdebar dia kini benar-benar menyadari bahwa ada kehidupan lain yang sedang tumbuh di sana.
Detak jantung Zenaya semakin tak karuan. Dia ingin sekali bergerak untuk menolak perbuatan Reagan. Namun, tubuhnya sama sekali enggan menurut.
Reagen pun kembali menempelkan bibirnya pada wanita itu. "Aku mencintaimu, Zenaya. Kau milikku seutuhnya dan aku tidak akan pernah membiarkanmu lepas dari sisiku."
Zenaya terlena, terlebih pada rasa manis dari bibir suaminya yang kini semakin berani menjelajahi mulutnya. Namun, kesadaran Zenaya tiba-tiba bangkit, saat Reagen secara posesif memeluk tubuh wanita itu dan mulai meraihnya lebih dalam.
Seolah mendapatkan kembali kekuatannya, Zenaya pun mendorong tubuh dari Reagen hingga nyaris terjatuh lalu pergi meninggalkan apartemen setelah mengambil jaketnya sendiri.
"Biarkan aku sendiri. Jangan cari aku!"
"Sial" Seolah sadar akan perbuatannya, Reagen pun memaki dirinya sendiri.