NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / pengasuh
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

020. Gebrakan Mar

“Kamu tadi pakai apa ke sini? Jalan kaki? Lari-larian? Atau naik taksi? Atau angkot mungkin?” Setelah di luar pagar rumah Harris, Mar celingukan mencari kendaraan yang bisa mereka tumpangi. Ia panik.

“Aku dianter tetangga, Tan. Mau pergi pacaran katanya. Aku minta tolong mau ketemu Ibu. Untung dia mau anterin. Tapi dia langsung pergi. Nggak bisa nganter kita balik ke rumah.” Jaya meringis.

“Kita naik apa…naik apa.” Mar mengeluarkan ponsel dari kantung celana seragamnya. “Kalau pakai taksi online datengnya lama nggak, ya …. Kita jalan ke depan komplek. Jangan naik dari sini. Jaga-jaga kalau Pak Harris pulang cepet. Bisa dilarang pergi.” Mar memesan taksi online dan membuat titik jemputnya di depan komplek. Ia menggandeng Jaya dalam diam.

Jarak antara rumah Mar dan rumah Harris tidak jauh. Tapi tidak mungkin ditempuh dengan jalan kaki saat itu.

“Aku nggak minta Tante marah-marah ke Tante Mona. Aku cuma minta ambil Hasan dan semua yang udah Tante beli untuk kami. Aku bisa jaga Hasan di rumah. Lebih baik di rumah sendiri ketimbang di rumah nenek dan ada Tante Mona yang gampang marah.” Jaya berhenti bicara dan menoleh Mar sebentar. Karena wanita di sampingnya hanya diam memandang jalan, ia kembali melanjutkan. “Pagi tadi Bapak dateng dan ngambil sebagian jajanan yang Tante belikan. Tante bisa, kan? Maaf kalau aku banyak minta.” Suara Jaya adalah satu-satunya suara yang mengisi keheningan mobil. Anak laki-laki itu kembali diam menunggu jawaban Mar.

Helaan napas Mar menjawab ucapan Jaya. “Liat nanti aja ya. Aku nggak janji apa yang terjadi nanti. Belum genap dua hari jadi ibu kamu tapi aku udah capek banget.” Mar menyandarkan kepalanya beberapa detik, lalu kembali cepat-cepat menegakkan tubuh karena teringat mereka akan tiba.

Kemarin rasanya jadi Gita itu udah paling capek. Ternyata jadi Markisah lebih capek lagi. Lagian kenapa nama lo mesti Markisah, sih, Mar? Gue jadi bayangin sirup tiap nyebut nama lo.

“Di depan, Pak! Kita berenti di depan.” Mar menunjuk gang sempit di mana Nek Imah tinggal. “Saya bayarnya non-tunai, ya, Pak?” Mar kembali memastikan bahwa kartu kreditnya sudah terpotong untuk ongkos mereka barusan. Setelah supir mengangguk, Mar menggandeng Jaya memasuki gang rumah Imah.

Sama seperti saat Gita masih berada di tubuhnya dan hidup dengan segala kesibukan sebagai seorang Sales Manager perusahaan kosmetik dan jamu. Ia tidak pernah punya rencana menghadapi direktur-nya yang temperamen. Baginya, asal makian tidak membunuh, Gita masih bisa menerimanya.

Seorang Gita juga tidak akan mau capek-capek mencari muka dengan atasan. Karena buatnya cari muka di kantor tidak akan menambah gaji melainkan nambah pekerjaan karena dianggap serba bisa. Gita adalah seorang pekerja keras dan cerdas.

Sore itu, Mar pun begitu. Menggandeng Jaya mendatangi rumah Nek Imah tanpa rencana apa pun. Ia hanya ingin mengambil Hasan dan memberi pelajaran untuk adik ipar Mar.

“Lo yang namanya Mona?” Mar menunjuk wajah adik perempuan Samsul hanya satu sentimeter dari hidung wanita dua puluh lima tahun itu.

“Apa, sih, lo? Lo?” Mona menangkap telunjuk Mar dan mencampakkannya. “Kemajuan besar lo ngomong pake lo-gue.” Mona melotot dan gantian menunjuk wajah Mar.

Mona murka acara bersantainya terganggu dengan kedatangan Mar dan Jaya. Padahal posisinya sudah benar-benar enak. Kedua kakinya terlipat naik ke kursi. Ia mengenakan celana super pendek, dan tangan kiri tergenggam bungkus snack yang baru dibuka. Telinganya juga baru terbebas dari tangis Hasan yang baru terhenti karena bayi itu tidur karena lelah.

Mar menangkap tangan Mona dan melemparkannya. Lalu dengan cepat merampas bungkusan snack dari tangan Mona yang lain. “Kembalikan! Ini gue yang beli. Nggak malu lo makan dari duit gue? Kok, ada, sih perempuan kayak lo?” Mar berbalik melihat Jaya yang terpukau. “Jaya kamu masuk ambil semua barang-barang kamu. Keluarin juga stroller Hasan.” Mar tidak mau Jaya melihat dua orang dewasa saling memaki di depannya.

Mona tersentak dan berdiri. Mencoba merampas kembali bungkusan snack dari tangan Mar karena tak mau kalah. Lalu bungkusan itu hampir saja berhasil direbut kembali oleh Mona karena Mar kalah tinggi. Tapi Mar yang emosi mencampakkan bungkusan itu ke jalan. Isinya berceceran. Mona berteriak memanggil ibunya.

“Ibu! Liat nih kelakuan si Mar. Hari ini Mar kayak kesurupan. Aku telepon Bang Samsul biar dia ajarin bininya buat sopan santun.” Mona mengambil ponsel dari meja kecil di dekat kursinya.

"Ibumu lagi nggak di rumah, ya?" Mar tergelak mengejek. Tak mau berlama-lama, Mar merampas ponsel itu dan mencampakkannya ke sudut teras. Jeritan Mona melengking menyayat hati. Tiga orang tetangga sampai datang karena jeritannya.

“Hapeku…hapeku.” Mona berlutut mengambil ponselnya di bawah kursi. “Rusak! Layarnya rusak. Lo harus ganti Mar!” Mona menjerit.

Mar tidak mempedulikan Mona. Setelah Jaya keluar dengan tiga bungkusan plastik berisi macam-macam dan stroller tua yang diseretnya, Mar masuk ke rumah dan mengangkat Hasan yang tidur meringkuk. Hasan hanya sedikit bergerak ketika Mar meletakkannya ke stroller dan menyelimutinya.

“Ibu! Ibu! Minta perempuan ini ganti hapeku! Ibu …!” Jeritan Mona semakin memekakkan. “Kalian ngapain berdiri aja? Bantu aku panggil Bang Samsul. Hapeku rusak,” pinta Mona pada tiga tetangganya. Dua orang perempuan yang kemudian pergi, juga seorang pria yang mengangguk acuh tak acuh pada Mona. Merasa tak dipedulikan tetangganya, Mona menarik kerah seragam babysitter Mar hingga kakak iparnya itu terhuyung ke belakang. “Jangan pergi. Gue bilang ganti!” Mona kembali menjerit.

“Enggak! Enggak! Kalau gue nggak mau ganti lo mau apa? Lo pukul Hasan! Lo siram Jaya pake mi kuah! Menurut lo gue nggak pantes marah? Gue ibunya! Terserah lo mau lapor ke siapa gue nggak takut. Sana lo, berengsek!” Mar mendorong Mona sampai perempuan itu mundur dan punggungnya menghantam jendela.

“Kita pergi,” kata Mar, mengangkat bungkusan dan mendorong stroller keluar gang tanpa mempedulikan lolongan dan makian Mona yang terus menyebut namanya.

Mar dan Jaya membisu saat beriringan jalan. Hasan yang memilih untuk kembali tidur tidak terlalu peduli ketika tubuhnya bergoncang karena stroller menghantam bebatuan.

“Tante mau bawa kami ke mana?” Jaya akhirnya bersuara saat mereka semua sudah tiba di depan sebuah ruko.

“Jay,” panggil Mar. Ia sedang mendongak menatap semburat jingga di langit.

Sebentar lagi malam dan udah dua hari aku hidup nggak tenang sebagai Mar.

“Tante mau ngomong apa?” tanya Jaya lagi. Ia ikut-ikutan memandang langit.

“Aku dengar dari ahli agama kalau nikmatnya surga itu nggak bisa dibayangkan kepala manusia. Kita bisa menciptakan bayangan terbaik surga versi kita dengan sebaik-baiknya. Itu juga katanya masih jauuuh dari enaknya surga yang sesungguhnya. Tapi katanya kita jangan berharap ngedapetin surga kalau kita menggores hati ibu dan kita belum dapat maaf darinya. Semua kebaikan yang kita lakukan nggak akan ada gunanya.” Mar berhenti menatap langit dan mengalihkan tatapannya pada Jaya. “Menjadi ibumu ternyata sulit banget, Jay. Kalau tau letak kamera, aku pasti udah melambai dari kemarin. Aku cuma pesan, nanti-nanti … kalau ibumu udah balik, kamu jagain ibumu ya. Ngerti?” Mar memandang Jaya dengan sorot lelah bercampur sedih.

Jaya mengangguk. “Pokoknya aku ngerti.”

“Baiklah. Kita pulang. Aku bawa kalian kerumah Pak Harris yang kamu bilang R-nya dua.”

“Memangnya Pak Harris nggak marah, Tan?” Nada suara Jaya campuran antara antusias dan tidak sabar.

“Ya nggak tau. Belum dicoba. Yang penting aku bakal memberi jawaban terbaik.” Mar melambai pada mobil yang platnya ia kenali sebagai taksi online yang ia pesan.

Sampai di rumah Harris, Mar berhasil mengejutkan Agung di pagar. Satpam itu memandang Mar dengan raut tak percaya. “Kamu yakin bawa anak-anakmu tinggal di sini? Yakin Pak Harris bakal ngasih? Padahal kamu tau sendiri gimana sikap Pak Harris ke orang asing. Tertutup. Apalagi sejak istrinya meninggal. Kasian anak-anakmu kalau udah masuk trus keluar lagi karena terusir.”

Mar mengangguk elegan. “Terima kasih atas perhatiannya. Boleh aku masuk sekarang? Segera sesudah Pak Harris pulang aku bakal nemuin beliau. Mau menceritakan kejadian sebenarnya ke kamu jelas nggak guna karena aku harus mengulangi cerita yang sama ke majikan kita. Jadi … mending aku cerita ke Pak Harris aja. Sekarang aku masuk duluan, ya.”

Aduh Agung … aku capek banget. Sumpah! Besok-besok aku bakal cerita lebih komplit ke kamu. Sekarang aku harus bikin tampilan Jaya dan Hasan bersih tuntas biar si Harris bolehin anak-anak ini nginep.

Tak sempat banyak-banyak menjawab pertanyaan Surti, Mar mondar-mandir membereskan segala macam bawaan yang di-packing Jaya tadi. Lalu menyerahkan sebuah handuk dan meminta bocah laki-laki itu mandi. Di kamar, Mar mengangkat Hasan yang masih terkantuk-kantuk untuk memandikan dan memakaikannya pakaian dengan benar.

Dua jam terlewati dan Mar berdecak puas ketika dua anak laki-laki itu duduk di ranjang kamarnya dengan pakaian bersih, rambut setengah basah dan aroma minyak kayu putih tercium dari tubuh mereka.

“Sekarang kalian udah serupa dengan anak-anak pada umumnya.” Mar berdiri dan memandang Surti sambil merapikan pakaiannya. “Pak Harris udah pulang dari tadi, kan? Chika udah kamu beresin sesuai dengan pesanku?”

Untuk dua pertanyaan itu Surti menjawab dengan anggukan. Surti berani bersumpah kalau Mar yang dikenalnya tidak begitu.

“Kalau gitu aku ke atas. Aku ngecek Chika dulu baru ngobrol dengan Pak Harris.” Mar berlalu dari kamar setelah menitipkan Jaya dan Hasan pada Surti yang terlihat pasrah.

Sejak tadi kepalanya penuh dengan berbagai dialog antara ia dan Harris. Ia juga sudah menyiapkan berbagai jawaban bijak seandainya Harris bertanya soal Jaya dan Hasan. Pasti bisa, pikirnya.

Mar menuju kamar Chika dan memanggil balita itu beberapa kali sebelum masuk ke kamar. Chika tidak ada di kamar ataupun kamar mandinya.

“Chika …,” panggil Mar dengan suara mencicitnya. Tak ada jawaban.

Apa mungkin Chika di kamar Harris? Pindah ke kamar papinya dan ketiduran? Kenapa sepi banget?

Mar langsung keluar kamar Chika dan kembali memanggil nama bocah itu dari depan kamar Harris. “Chika ….”

Tak ada jawaban.

Mar memegang handle pintu kamar Harris dan memutarnya pelan. “Chika …,” panggil Mar. “Kamu tidur di sini?” Mar melongok kan kepalanya ke dalam.

Lalu, kejadian kemarin pun terulang. Mar beradu pandang dengan Harris yang sedang mengenakan handuk dan baru saja keluar dari kamar mandinya.

“Mar!” pekik Harris dengan wajah marah.

To be continued

1
Usnani
😭😭😭 nyesek banget,,, itulah yg namanya sayang yg tulus...
suci anggita
karya yg luar biasa, semoga kaka sehat selalu
neng beth
Sediiiih bangettt.... menahan rasa itu berattt yaa....

Bu Helena emang mati rasa... mungkin agak sakit jiwa...
Sampai dia lupa atau emang gak nyadar penyebab dia ditinggalkan orang² terdekatnya... hadeeehhh
Poernama 💜💜💝💝
seperti pertemuan ibu dan anak yg terpisah lama
Poernama 💜💜💝💝
seperti ibu dan anak njuss
Poernama 💜💜💝💝
Aalinya kmu sdh mendapatkan hati Anak dan Ayahnya Gita hanya soal waktu klu kmu sanggup bersabarlah
Ipehmom Rianrafa
lnjuut 💪💪💪
fitria pras
part yg mengandung bawang banget, udah neleleh² nya, d ujungnya kok jd buaya d kadalin, rencana mau nilap Harris ternyata gita jga dalam rencana mar,, trimakasih up nya kak njuss
Rini Eni
antara sedih & seneng di part ini. mellow bgt ni hati baca bab ini
🥀 UCHRIT Ossy 🔥
ikut trenyuh 🥺🥺🥺
Lailatus S
haris suruh meluk rumah sakit peninggalan istrinya aja gak usah melibatka wanita lain d hidupnya
biar gak nyusahin orang
Lailatus S
ngapain sih maaar segala laporan ke haris😡
💞wiraTAMAyuda💞
hwaaaaaaa sedihhhhhh
mksh njus triple upnya , sehat2 njussss
Ika drajat Drajat
😭😭😭
serafika andriana
hamil diluar angkasa ki pieee, ga enek gravitasi nek luar angkasa le arep naninu neno kepieeee
Rahmi Miraie
akhirnya gita dan chika bisa bertemu dan saling melepas rindu..semoga cepat sembuh ya chika setelah ketemu tante gita
serafika andriana
nenek psikopat, noh cika bukan boneka nek, punya hati, punya perasaan, pikirmu tu anak cukup disekolahin, dikasih makan, hadehhhhh untung tua ya git, mudaan gampar aja
Ika drajat Drajat
😭😭 ikut mewek aku
serafika andriana
Bravooo bu git, sukseskannn
Ika drajat Drajat
nenek yg egois
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!