(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dimana istriku?
Ibu sedang asyik mengobrol di ruang keluarga bersama Audry ketika samar-samar terdengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah.
Dua wanita itu saling melirik, penasaran siapa yang datang. Terdengarlah suara ketukan pintu yang seakan tidak sabar untuk segera dibukakan. Seorang pelayan dengan segera membukanya.
Ibu dan Audry mengarahkan pandangannya ke depan sana. Alangkah terkejutnya mereka melihat Marchel baru saja masuk ke dalam rumah.
"Marchel..." Ibu berdiri dari duduknya, langsung mendekat, memeluk anak lelakinya itu. "Kau sudah pulang, Nak!"
"Iya, Bu." Marchel mencium punggung tangan wanita itu. "Ibu sehat-sehat saja selama aku pergi, kan?"
"Iya. Ibu baik-baik saja."
"Syukurlah, Bu. Maaf, aku tidak pernah memberi ibu kabar. Di sana sedang diisolasi
dan tidak ada jaringan telepon. Jadi aku tidak bisa menghubungi Ibu."
Ibu kembali memeluk Marchel
melepaskan kerinduannya yang telah menggunung.
Sementara Audry segera mendekat. "Marchel, aku senang kau sudah kembali dengan selamat."
Marchel hanya menyahut dengan anggukan tanpa ekspresi. Laki-laki itu melirik tangga, berharap dapat melihat Sheila di sana. Namun, Sheila tak kunjung memunculkan dirinya.
"Dimana Sheila, Bu? Apa dia di kamarnya?"
Ibu memejamkan matanya kesal. Baru saja tiba, Marchel sudah mencari gadis yang bagi ibu sangat kampungan itu. "Marchel, istirahatlah dulu. Setelah itu kita akan membicarakan tentang Sheila.
Marchel mengerutkan alisnya, bingung. "Memang ada apa dengan istriku, Bu?" Tatapan Marchel sudah mengintimidasi. Menatap ibu dan Audry bergantian.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Marchel akhirnya meninggalkan ibu dan Audry, menuju lantai atas dimana kamar Sheila berada.
Sambil mengetuk pintu, Marchel memanggil nama sang istri. "Sheila... Sheila! Ini aku, Sheila!"
Hening! tak ada sahutan apapun. Marchel pun segera masuk ke dalam kamar itu, berkeliling mencari istrinya.
"Sheila...."
"Sheila tidak ada, Marchel." Ibu datang dan ikut masuk ke kamar Sheila.
"Kemana dia, Bu? Ibu tidak sering memarahinya, kan?"
Wanita paruh baya itu terlihat menggeram. "Sheila tidak tinggal di rumah ini lagi."
Marchel begitu terkejut dengan ucapan ibunya itu. Ada rasa tak percaya. "Apa maksud Ibu Sheila tidak tinggal di rumah ini lagi? Apa yang Ibu lakukan pada istriku?" Sudah menaikkan suaranya, membuat ibu memejamkan matanya kasar.
"Apa kau tahu bagaimana kelakuan istrimu itu saat kau pergi? Bukannya menunggu suaminya pulang, dia malah bersenang-senang di luar sana, entah dengan siapa sampai hamil."
"Cukup, Bu!" bentaknya. "Aku tahu Ibu tidak pernah menyukai Sheila. Tapi dia istriku, Bu! Tidak seharusnya Ibu bicara seperti itu tentangnya." Marchel belum dapat mempercayai ucapan sang ibu.
"Baik! Tunggu di sini. Kau akan tahu seperti apa gadis liar itu." Ibu beranjak meninggalkan Marchel menuju kamarnya. Mengambil surat panggilan dari pihak sekolah untuk wali Sheila.
Sementara Marchel membuka lemari pakaian Sheila. Tidak ada selembar pakaian pun di dalam lemari itu.
"Tidak mungkin! Sheila tidak seperti apa yang ibu tuduhkan," gumam Marchel.
Ibu kembali ke lantai atas dengan membawa sebuah amplop di tangannya. Masuk kembalj ke kamar Sheila, dan memberikan amplop itu pada Marchel.
"Kau baca saja sendiri," ujar ibu, lalu melipat tangannya di depan dada. Raut wajahnya terlihat sangat kesal.
Membaca kata demi kata yang tertulis di dalam surat itu, Marchel menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Kelopak matanya telah dipenuhi cairan bening. Bagaimana mungkin seorang gadis seperti Sheila dikeluarkan dari sekolah karena hamil di luar nikah. Marchel begitu syok mengetahui keadaan itu.
"Tidak, Bu! Ini tidak benar. Sheila bukan gadis seperti itu."
"Tapi kau lihat sendiri buktinya, kan? Mereka sudah memeriksanya dengan teliti dan sudah melakukan tes urine. Hasilnya menunjukkan positif. Perlu bukti apa lagi?"
Marchel belum dapat berkata-kata. Laki-laki itu mengusap kasar wajahnya. Setitik air mata lolos begitu saja. Mengalir di wajah tampannya.
"Lalu kenapa Sheila pergi dari rumah ini, Bu? Dia akan kemana?"
"Ibu tidak peduli dengannya. Secepatnya ceraikan dia. Dan lupakan apapun tentangnya. Dia hanya mencoreng nama baik keluarga kita." Tidak dapat lagi menahan amarahnya, ibu beranjak meninggalkan Marchel.
Sedangkan Marcel, masih membeku. Memikirkan Sheila yang sekarang entah dimana berada.
"Ini tidak mungkin, aku tidak percaya ini. Mereka pasti salah." Marchel mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Laki-laki itu terus berkata pada dirinya bahwa Sheila adalah seorang gadis baik-baik dan tidak mungkin mengkhianatinya.
"Aku harus mencari Sheila dan meminta penjelasan darinya. Aku tidak percaya dengan apa yang tertulis di sini."
Buru-buru, Marchel keluar dari kamar itu, menuju lantai bawah. Mempercepat langkahnya menuju mobil yang terparkir di depan sana.
"Berikan kunci mobilku!" ucapnya pada sang sopir.
Marchel tergesa-gesa menaiki mobil tanpa mempedulikan apapun lagi. Yang diingatnya hanya wanita hamil yang tadi sedang makan di sebuah Food court dengan lahapnya.
"Apa jangan-jangan wanita hamil yang aku lihat tadi benar-benar Sheila?" gumam Marchel.