“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Malam ini suasana rumah terasa berbeda.
Biasanya hanya terdengar suara jam dinding dan langkah lembut Bu Rania di dapur, tapi kali ini... hawa tegang terasa sejak Fio membuka pintu.
Baru saja ia menaruh tas dan melepas sepatu, pintu kamar terbuka keras. Darrel muncul dengan wajah dingin namun sorot matanya tajam.
“Siapa laki-laki tadi?” suaranya dalam, tenang tapi jelas mengandung emosi yang ditahan.
“Glek...” Fio menelan ludah. Tangan yang tadi hendak menggantung tasnya langsung berhenti di udara.
“Laki-laki yang mana, Tuan Duda?” tanyanya hati-hati tapi masih dengan gaya meledeknya yang khas.
Darrel mendekat satu langkah. “Jangan pura-pura nggak tahu, Fio. Yang boncengin kamu di kampus tadi.”
Fio memutar bola matanya, berusaha menahan degup jantung yang entah kenapa jadi cepat.
“Masalahnya apa, Tuan Duda? Dia teman kelompok. Kami cuma kerja bareng.”
Darrel diam sesaat. Rahangnya mengeras.
“Kenapa kamu pulang malam?”
“Maaf, Tuan Duda. Aku udah chat, lho.” jawab Fio cepat sambil mengeluarkan ponsel dari tas.
“Dan aku juga udah izin sama ibu.”
Darrel langsung terdiam. Matanya berkedip cepat seolah kehilangan kata.
“Ibu... Mama?” ucapnya ragu.
“Ya,” Fio menautkan kedua tangan di dada, menatapnya dengan bibir tersenyum miring.
“Jadi, masih mau marah? Atau mau aku print juga bukti chat-nya biar kamu yakin?”
Darrel gelagapan.
Dia ingin marah, tapi setiap kali melihat wajah Fio yang setengah nyolot tapi jujur itu, emosinya justru buyar. Namun gengsi membuatnya tetap menegakkan wajah. “Lain kali kasih tahu saya juga.” katanya datar.
Fio tersenyum manis, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Siap, Tuan Duda. Tapi jangan cemburu duluan, ya... nanti aku malah baper.”
Darrel langsung membalikkan badan. “Siapa yang cemburu?” katanya cepat, tapi telinganya memerah.
Fio terkekeh pelan sambil menutup pintu kamarnya. “Yah... yang katanya nggak cemburu itu biasanya yang paling parah,” gumamnya pelan sambil tersenyum geli.
Lalu Fio ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
Malam semakin larut.
Fio sudah mengganti pakaian, rambutnya dikuncir asal, lalu melangkah santai ke ruang keluarga.
Di sana, Bu Rania sedang duduk di sofa sambil menonton acara favoritnya.
“Bu, aku boleh nonton bareng nggak?” tanya Fio ceria, duduk tanpa menunggu jawaban.
“Boleh, Nak. Capek kuliahnya hari ini?”
“Lumayan, Bu. Apalagi tadi kelompokku ribet banget. Satu kerja, dua debat, tiga sibuk selfie.”
Bu Rania tertawa kecil. “Kamu tuh ada-ada aja.”
Fio terkikik. Ia menaruh bantal di pangkuannya, lalu mulai ikut nimbrung menonton acara komedi.
Namun tanpa ia sadari, dari arah tangga terdengar langkah pelan.
Darrel turun dengan laptop di tangan. Wajahnya tetap datar, tapi langkahnya ragu.
“Belum tidur?” tanya Bu Rania.
“Belum, Ma. Ada kerjaan sedikit.” jawabnya pendek, lalu duduk di sofa seberang — tepat di hadapan Fio.
Fio sempat melirik sekilas. “Oh… laptop lagi, ya, Tuan Duda?” godanya pelan.
“Kerja, bukan main.” jawab Darrel cepat, tanpa menatap.
Tapi yang aneh, setiap kali Fio tertawa atau bicara, Darrel terlihat menoleh diam-diam. Bahkan saat Fio menuangkan teh untuk Bu Rania, Darrel spontan mengulurkan tangan.
“Biar saya aja.” katanya.
Fio dan Bu Rania sama-sama terdiam sejenak, lalu Fio menyunggingkan senyum geli. “Wah, Tuan Duda berubah profesi nih, jadi pelayan teh.”
Darrel hanya menghela napas pendek, menatap layar laptopnya lagi seolah tak mendengar.
Namun semakin lama, Fio semakin menyadari sesuatu: ke mana pun dia bergerak, Darrel selalu mengikuti pandangannya. Bahkan saat Fio berpindah duduk ke sofa sebelah, Darrel ikut bergeser — tetap pura-pura sibuk mengetik.
Bu Rania melirik sekilas, tersenyum simpul, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu ada yang mulai hangat di antara dua orang itu, tapi sengaja membiarkan semuanya mengalir alami.
Fio, yang mulai risih, akhirnya bersuara pelan.
“Tuan Duda… kamu yakin laptopnya nyala? Dari tadi kayak cuma layar hitam deh.”
Darrel langsung kaku. “Nyala.” jawabnya singkat sambil menekan sembarang tombol.
Fio menahan tawa, menatap ke arah Bu Rania yang hampir tak bisa menyembunyikan senyum geli. Malam ini, suasana ruang keluarga yang biasanya dingin terasa jauh lebih hangat—meskipun ada seseorang yang masih berusaha keras menutupi rasa yang perlahan tumbuh.
Beberapa menit kemudian…
Bu Rania berdiri sambil menutup cangkir tehnya.
“Sudah malam, Mama ke kamar dulu, ya. Kalian jangan tidur terlalu larut.”
“Baik, Bu,” jawab Fio sambil tersenyum. Sementara Darrel hanya mengangguk datar, tapi matanya masih sempat melirik Fio sekilas.
Begitu Bu Rania masuk ke kamarnya dan suasana jadi sepi, Fio langsung memiringkan kepala, menatap Darrel dengan ekspresi jahil. “Kamu dari tadi kayak CCTV, tahu nggak?”
Darrel mendongak pelan dari laptopnya. “Maksudnya?”
“Iya, ngikutin terus arah aku jalan. Ngeri, lho, kayak lagi diawasi satpam kantor pajak.”
Darrel mendengus. “Jangan melebih-lebihkan. Aku cuma duduk di sini.”
“Duduk, tapi bola matanya kerja lembur,” balas Fio cepat.
Darrel menutup laptopnya perlahan. “Kamu ini kenapa suka banget bicara?”
“Soalnya kalau diam nanti aku jadi kayak kamu — dingin, kaku, dan berasa di ruangan ber-AC rusak.”
Darrel menaikkan alis. “Kamu sadar nggak, tiap kali bicara kamu bikin suasana ribut?”
“Daripada suasana beku kayak freezer, kan? Minimal aku masih bisa bikin orang ketawa.”
“Ketawa atau pusing?”
“Dua-duanya. Tapi jangan khawatir, Tuan Duda. Pusing karena aku itu salah satu tanda jatuh cinta.”
Darrel langsung menatap tajam. “Jatuh cinta? Kamu mimpi?”
“Ya, minimal aku udah di tahap membuatmu mikir.” Fio tersenyum lebar.
Darrel menghela napas, mencoba menahan ekspresi wajahnya yang hampir pecah karena menahan tawa.
“Kamu ini… susah banget diatur.”
“Lho, siapa suruh ngatur? Aku kan bukan karyawanmu, aku istrimu... by accident,” balas Fio santai sambil menguap.
Darrel terdiam, menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berdiri.“Sudah malam. Tidur sana.”
“Bersama kamu?”
“Tidak.”
“Yaelah, bercanda aja langsung dingin. Hati kamu tuh kayak kulkas dua puluh pintu.”
Darrel menatapnya tajam, tapi kali ini ada sedikit lengkungan di ujung bibirnya — nyaris seperti senyum.
Fio yang sadar langsung menunjuknya. “Nah, nah! Aku liat tuh! Kamu senyum!”
“Salah lihat.” jawab Darrel cepat sambil berbalik menuju tangga.
Fio tertawa pelan. “Kalo dinginmu kayak gini terus, aku takut suatu hari aku yang meleleh duluan.”
Darrel berhenti sejenak di tangga, menoleh sebentar.
“Jangan terlalu yakin.” Lalu ia naik tanpa menoleh lagi... meninggalkan Fio yang masih nyengir, sambil bergumam, “Dingin-dingin tapi manis juga kalau dipanasin lama-lama.”
***
Keesokan paginya…
Udara pagi masih lembap ketika suara motor menderu pelan dari halaman. Darrel yang baru turun tangga dengan jas rapi langsung menatap ke arah luar lewat jendela kaca besar ruang tamu.
Dan benar saja, Fio sudah dengan santainya mengenakan helm, membawa tas ransel, lalu men-starter motor bebek kesayangannya.
Darrel menahan napas, memejamkan mata sebentar, lalu membuka pintu. “Fio!” panggilnya datar tapi tegas.
Fio menoleh cepat, tersenyum lebar. “Pagi, Tuan Duda! Jangan lupa sarapan!”
“Berhenti dulu.”
“Aku telat, nanti aja ngomongnya.”
“Fio.” Suara Darrel kali ini lebih berat.
Dengan berat hati Fio memutar gas dan mematikan mesin. “Iya, iya. Ngambek lagi deh,” gumamnya pelan.
Darrel mendekat, tangannya bersedekap. “Kamu nggak usah naik motor.”
“Kenapa emangnya? Aku bisa kok.”
“Itu bukan soal bisa atau nggak. Aku udah bilang, kalau mau ke kampus aku yang antar.”
Fio menaikkan alisnya. “Terus kamu mau izin kantor setiap hari buat jadi ojek pribadi aku?”
“Aku bisa atur waktu.”
“Wah, Tuan Duda ternyata multi-talenta juga ya, bisa ngatur perusahaan sekaligus jadi driver kampus.”
Darrel mendengus. “Kamu selalu ngelawan.”
“Bukan ngelawan, cuma pakai logika. Lagian sore nanti aku ada kerja kelompok, terus lanjut beli bahan buat tugas. Kalau aku ditungguin kamu, nanti malah kamu yang repot.”
Darrel menatapnya lama, nada suaranya turun sedikit. “Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa di jalan.”
Deg.
Ada sesuatu di dada Fio yang terasa aneh... antara geli, senang, dan ingin meledek lebih jauh.
“Wah… peduli juga ternyata.”
“Jangan salah tafsir.”
“Nggak salah kok, cuma… jarang aja liat Tuan Duda khawatir begitu. Biasanya dingin kayak es batu.”
Darrel memejamkan mata, mencoba menahan diri. “Kamu ini ya…”
“Aku ini apa?” potong Fio sambil menaikkan helmnya, tersenyum manis.
“Bikin kepala sakit.”
“Syukurlah, berarti aku masih bisa ninggalin kesan,” balas Fio santai sambil men-starter motornya lagi.
“Fio—”
“Tuan Duda, tenang aja. Aku bakal hati-hati kok. Aku nggak akan ngebut, nggak akan ngelirik cowok lain, dan nggak akan jatuh cinta di jalan. Happy?”
Darrel hanya diam, tapi matanya menatap Fio dengan campuran kesal dan khawatir yang aneh. “Jaga diri,” ujarnya singkat sebelum berbalik masuk rumah.
Fio sempat tersenyum kecil di balik helmnya.
“Dingin, tapi manis,” bisiknya sebelum melajukan motor keluar gerbang.
***
Sore harinya…
Kafe kecil di dekat gedung perkantoran ramai oleh suara musik lembut dan aroma kopi.
Fio duduk melingkar bersama tiga teman kelompoknya, dua perempuan dan tiga laki-laki — sambil membahas presentasi sambil sesekali bercanda.
“Fio, bagian kamu nanti di pembuka ya, biar suasananya cair,” ucap salah satu temannya.
“Siap, aku kan emang spesialis ice breaker!” jawab Fio santai, membuat mereka tertawa.
Fio ikut tertawa kecil, wajahnya terlihat cerah dan bebas seperti biasanya. Dia tidak tahu, di sisi lain ruangan, Darrel baru saja menyelesaikan pertemuan dengan kliennya. Saat ia hendak keluar, pandangannya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
Rahang Darrel menegang. Suara tawa Fio menggema lembut di telinganya. Ia melangkah mendekat tanpa pikir panjang.
Sampai akhirnya suaranya terdengar cukup keras dan tegas, membuat beberapa pengunjung menoleh.
“Fio! Pulang!”
Bersambung