Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Hanan masih di kursinya menunggu Nahla membereskan meja makan sembari menghabiskan kopinya. Pria itu sengaja belum beranjak, memperhatikan setiap detail gerak Nahla yang nampak sibuk.
"Udah? Ayo!" seru Hanan menginterupsi.
"Ayo? Ke mana?" tanya Nahla bingung. Mendadak situasinya menjadi kaku dan canggung.
"Istirahat!" ucap pria itu tersenyum mempersilahkan istrinya masuk kamar.
"Owh ... iya," jawab Nahla mendadak deg degan. Sedikit bingung dan tak tahu harus bersikap seperti apa.
Keduanya sudah masuk ke kamar, dengan Hanan mengunci pintunya. Makin horor saja terasa di benak Nahla. Keringat dingin sepertinya mulai menghampirinya.
"Aku ke kamar mandi dulu ya," ucap Hanan bersih-bersih sebelum tidur.
"I-iya," jawab Nahla mengangguk seraya memilin jemarinya. Sebelum beranjak pria itu menatapnya dengan senyuman.
Nahla bingung, deg degan dan tentu saja nervous duluan.
"Duh ... gimana ini, kok deg degan gini sih, tenang Nahla ini kewajiban kamu, semua pasangan yang sah pasti akan melewati itu," batin Nahla menenangkan diri sendiri.
Suara derit pintu kamar mandi yang terdengar membuat gadis itu kaget. Saking ngelamun mungkin.
"Dek, nggak pa-pa?"
"Iya Mas nggak pa-pa, aku ke kamar mandi dulu ya," pamot gadis itu dengan jantung berdetak makin rancak.
"Jangan lama-lama ya, aku nungguin loh," ujar pria itu tersenyum. Nahla mengangguk dan langsung masuk ke kamar mandi.
Beberapa detik berpikir, walaupun ada perasaan takut, tetapi tentu saja harus dilewati. Nahla melepas hijabnya, terus gamisnya. Menggosok gigi lebih dulu, tak lupa memberikan sedikit wewangian di pangkal lehernya. Merapihkan rambutnya lalu dengan langkah pelan keluar kamar mandi.
Ia melangkah bingung mendekati ranjang. Terdiam sejenak memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan macbook di tangannya.
Melihat pergerakan istrinya, Hanan menoleh, tertegun melihat penampilan istrinya yang begitu berbeda. Namun, ia pandai menyembunyikan dan menguasai diri. Pria itu tersenyum, lalu menyimpan macbook di tangannya ke nakas.
"Sini Dek!" seru Hanan menepuk sisi kasurnya agar Nahla mendekat.
Gadis itu menurut, melangkah canggung menghampiri. Malu sebenarnya dengan penampilannya, tetapi karena ini request dari suaminya, sudah barang tentu berusaha mengesampingkan hal itu.
Nahla merangkak ke atas kasur, disambut Hanan dengan senyuman. Makin bertambah deg degan saja saat tangan itu meraih kulitnya. Bersentuhan tanpa sengaja mempersilahkan istrinya menempati ranjang.
Pria itu menatapnya lekat lalu tersenyum. Netranya menyiratkan kabut gairah yang menyala.
"Apa kamu sudah siap? Aku menginginkanmu malam ini?" kata pria itu sembari mengelus pipinya.
Nahla hanya mengangguk tanpa kata. Hatinya mulai berdesir hebat kala pria itu mulai melakukan sentuhan-setuhan lembut di rambutnya yang tergerai indah.
"Izinkan aku memulai, maaf kalau nanti mungkin akan membuatmu sedikit kaget. Aku bakalan pelan-pelan," kata pria itu lagi mulai mengucap doa. Lalu tanpa menunggu waktu bertamu pada bibirnya yang cukup menggoda.
Seketika Nahla mencengkram lengan Hanan kuat, seperti ada ribuan sengatan arus listrik yang menghampirinya. Ini adalah kali pertama Nahla mendapatkan sentuhan seorang pria. Sebelumnya hingga dua puluh tiga tahun belum pernah pacaran dan tidak memutuskan untuk pacaran.
Hanan yang sudah khatam membimbingnya pelan-pelan. Walaupun respon istrinya masih terlihat kaku, pria itu step by step mengajarinya dengan insting body language mereka. Jangan tanyakan perasaan Nahla, ciuman pertama ini terasa begitu luar biasa. Ia tidak bisa mendefinisikan itu semua dengan kata-kata, hanya mampu terpejam menyembunyikan rona malu dari wajahnya.
Perlahan tetapi pasti, naluri alaminya mulai merespon mengimbangi. Walau masih canggung, malu, bercampur penasaran dan pasrah. Perempuan itu merespon dengan baik setiap jengkal sentuhan napas suaminya.
Hanan mulai gerah, berkunjung ke tempat yang lainnya. Mencoba menyusuri hamparan putih leher jenjangnya yang begitu mulus. Menghirup wangi yang begitu menenangkan. Sebagai seorang pria yang sudah lama absen dengan hal itu, tentu hasratnya semakin menggebu.
Geli, menggelitik, seakan menjerit dengan mulut manja. Saat lidah suaminya mulai tergelincir memberikan tanda kepemilikannya di setiap hamparan putih tubuh bagian atasnya. Seperti ada dorongan kuat hingga tanpa bisa dicegah mulut mungilnya mengeluarkan suara khas yang mampu membuat seorang pria semakin berhasrat.
Tanpa bisa dicegah, mulut mungil itu mulai erotis memainkan perannya. Hanan tersenyum puas kala pergerakannya mampu membuat istrinya makin terlihat begitu menggoda.
Pria itu melepas pakaiannya sendiri dengan cepat. Membuat Nahla semakin bersemu merah menatap tubuh bidangnya yang penuh dengan otot-otot bijaksana. Gadis itu makin pasrah saat suaminya kembali menyentuhnya dengan gerakan abstrak yang memabukkan. Hingga aura kamar yang dingin seketika berubah makin panas.
Pria itu makin semangat memainkan jemari tangannya, bertamu lebih dekat dan berani. Hingga tanpa sadar membuat perempuan itu setengah polos dibuatnya. Binar hasrat pria itu makin membuncah, tak ragu lagi menjemput pahala malam ini. Sebelum akhirnya fokus itu sedikit buyar dengan suara ketukan pintu dan guncangan dari luar dengan suara tangisan.
Hanan dan Nahla tersadar dan mendengar itu. Samar, tetapi semakin jelas. Hingga membuat pria itu menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Icha Mas," kata Nahla mencoba mengembalikan kesadaran suaminya yang setengah menggila menyergap dirinya. Baru pemanasan jalur khusus, belum juga sempat melewatinya. Ternyata harus terpaksa berhenti karena pekikan putrinya.
Hanan memberi jarak, seketika Nahla merapihkan pakaiannya yang sudah sangat berantakan. Turun ke ranjang seraya menyambar kausnya, lalu membuka pintunya. Diikuti Nahla yang sama khawatir, kenapa putrinya menangis jejeritan di malam begini.
"Icha kenapa?" tanya Hanan mendapati putrinya menangis malam-malam begini. Tumben sekali gadis kecilnya itu kebangun jam segini.
"Mimpi buruk Ma, takut," adu gadis itu berhambur dalam pelukan ibunya. Hanan yang bertanya, tetapi Icha lebih condong ke ibunya.
"Owh ... nggak usah takut sayang, mama ada di sini," ujarnya menenangkan.
"Kenapa pindah, tadi bulannya mama tidur bareng Icha ya?"
"Iya, Icha takut?" jawab dan tanya Nahla kebingungan sendiri. Menuntun Icha untuk duduk di ranjangnya yang sudah seperti kapal pecah.
"Boleh nggak tidur di sini?" pinta gadis itu menoleh kedua orang tuanya secara bergantian. Nahla lebih dulu menatap suaminya yang nampak muka tertekan, lalu perempuan itu mengangguk begitu saja mengiyakan.
"Boleh," jawabnya tidak mungkin menolak. Hanan hanya terdiam, hasrat yang membumbung tinggi terpaksa ia pending semalaman karena putrinya tak kunjung tidur kembali. Bahkan menguasai ranjang dengan memblokade di tengah-tengahnya.
"Ma, kenapa lehernya merah-merah gini, gigit nyamuk ya?" tanya gadis kecil itu memperhatikan ibunya yang dengan penampilan tak biasa.
"Eh, em ...."