Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ban 34. Pindah
Aku tersenyum sinis melihat kehadiran mereka. Bukan sakit hati atau cemburu. Tapi aku merasa geli dan j*j*k melihat perangai mereka yang tidak tau malu. Entah apa tujuannya pamer kemesraan seperti itu. Segitunya kelakuan mereka berdua, belum juga cerai sudah pamer kemesraan.
Akhirnya hakim mengetuk palu kalau kami sudah resmi bercerai. Aku mengucap syukur dalam hati. Pada akhirnya aku terbebas juga dari pernikahan settingan ini.
Aku tersenyum semringah ke arah Bastian dan Uly, yang selalu memberi dukungannya padaku. Kulihat juga Gladys tersenyum bahagia ke arah Arbian karena kami sudah resmi bercerai.
Diantara sekian orang yang hadir, aku mencari sosok keluarga mertua. Namun, tidak menemukan mereka. Apakah mereka enggan datang?
Gladys bergelayut manja dilengan Arbian. Arbian juga memamerkan senyumnya ke segala arah. Heran! Jika begini pada akhirnya buat apalah dia kemarin itu koar-koar menolak bercerai, dihadapan ibu mertua. Tapi setelah bercerai dia malah menjadi orang yang merasa paling bebas.
Dasar lelaki manipulatif! Sungguh beruntung pada akhirnya aku terlepas darinya.
"Ayo, kita pulang." Bastian menjejeri langkahku keluar dari ruang sidang. Kami melewati rombongan teman-teman Gladys. Hampir semuanya tersenyum sinis ke arahku. Aku acuh saja dan terus melangkah.
Saat berada di lobi, aku melihat kedua mertuaku eh mantan mertua dan Mery tengah menungguku di lobi. Ternyata keluarga mertua hadir juga. Aku menghampiri mereka dan seperti biasa memberi salam.
"Inang dan Amang datang terlambat ya?" tanyaku karena melihat mereka diluar ruang sidang.
"Amangmu gak mau masuk. Kami mendengar putusan sidang dari luar saja." Inang memberi pelukan hangat padaku.
"Walaupun kalian sudah bercerai, tapi kamu tetaplah menantu Inang. Jangan sampai hubungan kita putus, kita tetaplah keluarga. Semoga kedepannya semua makin baik saja," ungkap Inang.
Aku mengangguk dalam. Pada dasarnya hubungan kami memang tidak bisa putus. Karena ibu mertua adalah Namboruku, saudari kandung dari Bapakku. Aku belum menemukan cara, memberitahukan kedua orang tuaku kabar perceraian ini.
"Rania, Inang dan Amang akan kerumah orang tua kamu menyampaikan berita ini. Inang harap semua akan berjalan baik-baik saja. Apakah kamu sudah pernah cerita masalah ini?" Aku menggeleng.
Jujur aku memang tidak pernah cerita masalah rumah tanggaku ini kepada kedua orangtuaku. Aku tidak ingin membebani pikiran mereka dengan masalahku.
"Minggu depan kami akan pulang kampung. Inang ...." belum sempat ibu mertua menyelesaikan ucapannya Arbian dan Gladys serta teman-temannya muncul di lobi. Gladys melepas lengannya yang terus menempel manja pada tubuh Arbian. Gelak mereka spontan berhenti.
Seketika wajah itu memucat saat melihat kami masih di lobi. Terlebih Arbian, jadi serba salah melihat kemunculan keluarganya. Bergegas Arbian mendekati kami.
"Papa dan Mama datang juga tapi kenapa tidak masuk?" ucapnya merasa kikuk.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah itu. Semua kaget terlebih lagi aku yang tidak menduga tindakan Bapak mertua.
"Kamu bangga sekali ya, telah mencoreng nama keluarga kita. Dan perempuan itu yang telah membutakan matamu sungguh tidak punya adab. Beraninya muncul disini. Mau apa dia, hah!" Bapak mertua tidak mampu menahan emosinya. Ibu mertua mengelus elus lengan suaminya untuk bersabar.
"Sudah Pak, sabar. Tidak ada gunanya menuruti emosi. Ayo, kita pulang." Ibu mertua mengajak pergi suaminya. Diikuti Mery yang sebelumnya menatap tajam ke arah Gladys. Arbian berdiri membeku. Wajahnya memerah bekas tamparan Bapak mertua. Dia mengusapnya perlahan lalu menatapku penuh curiga.
"Ngomong apa kamu sama orangtuaku." decihnya tidak suka.
Aku tersenyum, balas menatapnya. "Menurutmu aku ngomong apa. Capek sekali membicarakanmu pada beliau. Harusnya kamu tau sendiri apa yang membuat beliau marah. Bukannya asal tuduh."
"Bilang saja kamu cemburu dan ingin memperkeruh masalah." tiba-tiba Gladys nimbrung. Menghampiri Arbian dan kembali menggelendot manja.
"Cemburu? Buat apa? Bukannya kamu yang selama ini selalu kepanasan. Yang benar sajalah, pamer kemesraan padahal gak bakalan dapat restu. Makan tuh cinta peok mu." makiku merasa jijik. Segera kutinggalkan tempat itu.
Hari ini juga aku berencana akan mengambil semua barang-barangku dari rumah yang selama ini kami tempati bersama. Walaupun Inang telah mengatakan kalau rumah itu adalah milikku, tapi aku ogah menempatinya.
Mendadak langkahku terhenti. Kunci rumah pasti ditangan Arbian. Bagaimana aku bisa ambil barangku kalau begitu. Aku kembali mundur menemui Arbian.
"Huh, mau apalagi kamu dengan kekasihku," sindir Gladys begitu aku didepan Arbian.
"Bang, aku minta kunci rumah. Abang yang akan mengeluarkan barang-barang Abang atau aku sendiri yang lakukan." Aku menadahkan telapak tanganku. Manik mata Gladys mengerjap heran.
"Ih, kok Abang yang keluar dari rumah itu?" protesnya.
"Rumah itu memang milik Rania." Arbian menyerahkan kunci itu ke tanganku.
"Biar aku saja yang membereskannya. Aku takut malah berantakan kau susun."
"Memang, aku tidak janji akan rapi menyusunnya." Aku berbalik. Masih sempat kulihat sorot mata Gladys yang kecewa. Apa dia mengincar rumah itu? Aku berniat akan menjual rumah itu kelak.
***
Hari pertama setelah aku resmi bercerai. Seperti janjinya tempo hari akan membantuku pindahan ke tempat kost. Bastian muncul bersamaan dengan dengan Uly dan calon suaminya.
"Kalian janjian ya!" seruku sedikit kaget karena tidak menduga kedatangan Uly dan calonnya.
"Gak lah. Tapi kok bisa datang bareng ya." kekeh Uly heboh. Dia mengenalkan calonnya yang ternyata sesuku dengan Bastian.
"Ra, kenalin calon suami aku, namanya Mas Bimas. Yuk Mas, ini teman baik aku orang paling gokil sedunia." Bacotnya ngawur tidak lupa tawa cemprengnya yang memekakkan telinga.
"Apaan sih, kok malah buka aib aku sih. Ntar aku juga buka aib kamu lo, biar tau rasa."
"Eh eh," Uly membekap mulutku saat dia liat aju mau ngomong, padahal aslinya mau nguap. Ada rahasia dirinya yang selalu membuatnya mati kutu kalau aku singgung.
Batian dan Bimas tertawa melihat kami yang bertingkah seperti anak kecil. Aku melepaskan diri dari Uly dan pura-pura mau buat pengumuman.
"Ra, stop!" serunya mengejarku. Aku berlari sekencangnya, menghindar. Tapi sial langkahku malah kesandung kaki sendiri. Tubuhku limbung dan hendak menabrak lemari. Kututup kedua mataku. Tapi, seketika tubuhku seolah ditarik dan membentur sesuatu.
Aku menjerit lirih saat membayangkan diriku membentur tembok. Saat kubuka mataku ternyata aku berada dalam dekapan Bastian. Lagi lagi Bastian menyelamatkanku. Seperti terhipnotis, aku tidak mampu melepaskan diriku dari pelukannya. Malah terdiam takjub dan menikmati aroma maskulin dari tubuhnya.
"Ek hem hem," suara batuk yang dibuat-buat itu memulihkan kesadaranku. Spontan aku mendorong tubuh Bastian. Rona merah menjalari seluruh wajahku. Malu sekali, terutama karena ada Bimas dan Uly.
Perlahan Bastian merenggangkan pelukannya.
"Lain kali hati-hati ya." ucapnya lirih membuatku candu. Aku mendongak, pandanganku terperangkap oleh manik legam matanya. Makin sulit bagiku melepaskan diri. Duh, perasaan aneh itu lagi-lagi hadir. ***
di bab sebelumnya itu pram lho thor
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor