Dibalik Dinding Semu
Aku menyambut tangan dan senyum Arbian dengan ekspresi datar. Pun takkala tangannya melingkar melilit pinggangku. Namun, saat berhadapan dengan orang ramai di pesta itu aku memamerkan senyum paling indah yang pernah kumiliki.
Terlebih banyak mata yang memandang ke arah kami yang berjalan saling bergandengan. Diantara senyuman indah yang menyambut kehadiran kami tentunya ada beberapa senyum menyambut sinis.
Aku merapatkan tubuh ke sisi Arbian sehingga posisi kami semakin tanpa jarak.
Dengan sudut ekor mataku, aku melihat wajah itu. Wajah yang telah lama selalu tersenyum kecut saat melihatku. Wajah yang selalu berusaha menggoda lelaki disampingku. Lelaki bergelar suamiku yang telah hampir setahun ini hidup bersamaku sebagai pasangan suami istri.
Pernikahan yang terpaksa dijalani tanpa ikatan cinta. Kami adalah pasangan suami istri karena perjodohan keluarga.
Aku merasakan tubuh Arbi menciptakan jarak saat melintas di depan perempuan itu. Meski tidak seorangpun yang menyadari hal itu, tapi ada tusukan ratusan jarum menembus hatiku. Namun, aku harus kuat untuk menahan emosi. Kuabaikan sikap Arbian, aku tetap memamerkan senyum seolah tak terjadi apa-apa.
Aku memang tidak pernah berharap banyak atas pernikahan ini. Meski telah setahun menjalaninya kami tetap saja merasa jadi orang asing satu sama lain. Hanya didepan orang atau kedua orang tua kami masing-masing kami bersikap mesra. Menjaga sikap agar tidak seorang pun yang mencurigai hubungan kami yang berselimut sandiwara.
Terkadang aku heran sendiri, sampai kapan kami bisa bertahan seperti ini. Hidup serumah tanpa cinta. Hidup sebagai sepasang suami istri tapi seperti dua orang asing. Saling sapa hanya bila ada perlunya saja. Selebihnya saling tidak peduli satu sama lain.
Bagaimana sikap kedua orang tua kami seandainya mereka mengetahui hubungan kami selama ini. Tentu gelombang tsunami akan menghantam hubungan antar kedua keluarga.
Entah siapa yang hebat diantara kami berdua, karena bisa bersandiwara setahun lebih dari usia pernikahan kami.
"Jangan melamun, tetap fokus pada tugasmu." Bisik Arbian lirih ditelingaku. Lihatlah betapa lembut ia berbisik di telingaku dengan tubuh yang merapat seolah takut aku menjauh darinya. Tentu akan banyak pandangan yang salah mengartikan bahasa tubuhnya itu. Sementara hatiku seolah tersiram air es yang paling dingin, membekukan hati dan jantungku. Untuk tidak menyalah artikan sikapnya.
"Aku tidak melamun. Aku hanya merasa tidak enak karena sepasang mata yang terbakar cemburu." Sahutku tidak kalah dingin.
Sekejap bola mata Arbian mengeryit, alisnya membentuk bulan sabit yang terbalik mencerna kalimatku.
"Dia tepat dibelakangmu searah jarum jam sembilan," dengusku. Aku sengaja menyebut posisi perempuan itu agar kepala Arbian tidak berputar mencari sosok Gladys. Kekasih hatinya.
"Dia ada disini?" ucapnya dengan nada kaget. Aku sedikit heran dengan eskpresinya. Apakah dia benar-benar tidak melihat Gladys yang duduk dibaris ketiga urutan tamu undangan? Apa itu hanya eskpresi pura-puranya? Padahal aku sudah melihat Gladys begitu kami memasuki pintu dan jalan bersisian.
"Dia tidak seharusnya berada disini." Aku mendelik ke arah Arbian. Merasa heran atas ucapannya. Ada apa? Tidakkah dia seharusnya senang melihat keberadaan mantan tunangannya itu.
"Aku takut mama akan bersikap kasar padanya," lanjutnya lagi penuh rasa khawatir, dan kata itu kembali menancapkan duri di hatiku. Arbian masih peduli pada Gladys. Perempuan yang telah lima tahun bersamanya sebagai kekasih, bahkan diam-diam mereka telah bertunangan. Namun, karena aku adalah pariban-nya terpaksa harus dia nikahi karena adat kebiasaan di daerahku.
Wajar memang kalau Arbi begitu khawatir. Takut kalau Inang atau mama mertua akan melabrak kembali, Gladys. Mengingat kejadian enam bulan yang lalu.
Saat itu aku dan Inang mau beli lauk di sebuah restoran langganan Inang sehabis belanja di pasar tradisional. Tanpa curiga aku ikuti saja langkah inang menuju restoran itu.
Setelah pesanan Inang selesai dibungkus kami menuju tempat parkir. Tiba-tiba langkah kaki Inang yang berjalan didepanku terhenti. Hampir saja tubuhku menabrak ibu mertua dan tas kresek hitam berisi lauk ditanganku terlepas.
"Ada apa Inang?" tanyaku keheranan.
"Itu mobil Arbi 'kan? Kok ada parkir disini?" Keryit kening ibu mertua penuh keheranan.
"Mungkin lagi makan siang dengan relasi, Nang." Ucapku memutus kecurigaan ibu mertua.
"Kalau cuma bersama relasi, kejauhan kesini. Kan ada kantin perusahaan." Delik Inang curiga berlipat. Kami yang tadinya hendak pulang malah batal masuk mobil. Ibu mertua putar langkah dan kembali memasuki restoran.
Kuikuti langkah Inang dengan perasaan kacau. Aku takut kalau Inang akan berbuat sesuatu dan Arbian akan menuduhku yang bukan- bukan.
Didalam ruangan ibu mertua mengedarkan pandangannya, menyapu setiap orang yang duduk menikmati hidangan di meja. Nun, dipojok menghadap kolam aku melihat punggung kekar itu. Aku mengenalinya dari kemeja yang dia kenakan.
" Sudahlah Inang, buat apa kita samperin Bang Arbi?" Aku berusaha membujuk inang agar mau pulang. Arbi duduk membelakangi jadi tidak menyadari kalau mamanya juga berada di restoran ini.
"Bentar Rania, Inang cuma ingin melihat siapa temannya kemari."
"Eh, itu Arbi! Siapa perempuan yang bersamanya itu?" Ibu mertua menunjuk ke arah tempat duduk Arbi.
Duh, gawat! Perasaanku mulai tidak enak. Aku memang belum jelas melihat siap wanita dihadapan suamiku itu. Karena terhalang vas bunga di atas meja.
Belum sempat aku menarik tangan ibu mertua untuk keluar, langkah beliau sudah melesak mendekati meja tempat Arbi makan.
"Oh, kamu rupanya ya? Berani-beraninya kamu menggoda putraku. Padahal kamu tau dia sudah menikah!" labrak ibu mertua mengagetkan keduanya.
"Mama!" ucap Arbi terlonjak. Wajahnya merah padam menahan rasa malu karena banyak mata yang melihat ke arah mereka. Terlebih lagi Gladys, wajahnya memucat karena kepergok ibu mertua. Buru-buru aku mendekati inang dan berusaha menenangkannya.
"Kamu Rania, apa-apaan ini!" bentak Arbian saat melihatku. Raut wajah gusar nampak jelas tercetak seolah menuduhku kalau semua ini ulahku.
"Jangan hardik Rania. Harusnya kamu malu, Arbi!" Inang meradang mendengar bentakan Arbi padaku.
"Kamu masih menemui perempuan gat*l ini ya."
"Mama, kami cuma makan siang. Tolong Mama jangan bikin malu, Arbi." Arbi berusaha menenangkan Inang yang menatap buas pada mereka sambil berkacak pinggang.
"Kamu tidak tahu malu, Arbi. Dan kamu juga, buat apa masih berhubungan dengan putraku. Kamu tau kan dia sudah beristri."
"Maaf Tante, a-ku tadi tidak sengaja bertemu. Arbi mengajak aku kemari." sahut Gladys terbata. Aku kasihan juga melihatnya karena telah dipermalukan ibu mertua.
"Inang, mari kita pulang. Ini cuma salah paham. Malu, semua orang melihat kita." Aku berusaha menarik lengan ibu mertua. Dengan kesal ibu mertua menurut saja.
"Mama ingin kamu jelaskan semua ini di rumah!" bentak ibu mertua sebelum pergi. Arbi menyugar kasar rambutnya. Menghela napas berat dan tatapannya tajam mengarah padaku.
"Apa lagi yang kau lamunkan, hah!" suara dingin itu menyadarkanku. ***
Catatan.
Pariban : saudara sepupu.
Inang : Panggilan untuk ibu mertua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Irma
untuk pertama kalinya aku baca novel dengan cerita yg gini
semangat Thor
2025-02-07
1