NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Persahabatan / Romansa / Bad Boy
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rian

Setelah selesai mandi, Rian masuk ke kamar tanpa mengatakan apa-apa. Raya mengetuk pintu kamarnya pelan. "Rian, aku masuk ya," ucapnya sebelum membuka pintu. Raya mengubah bahasa gue menjadi aku.

Di dalam, Rian duduk di pinggir tempat tidur, menatap tangannya sendiri. Wajahnya yang masih terlihat lelah membuat Raya semakin yakin ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Rian," panggil Raya pelan, duduk di samping adiknya. "Aku tahu kamu bilang nggak papa, tapi lebam dan kotor kayak tadi itu nggak mungkin cuma jatuh biasa. Cerita ke aku, ya. Kakak janji nggak akan marah."

Rian tetap diam, menggigit bibirnya, seolah ragu untuk bicara. Akhirnya, ia mendesah pelan. "Aku... berantem, Kak," ucapnya lirih.

Raya mengerutkan kening. "Kenapa? Kamu nggak pernah suka cari masalah, Rian. Apa yang terjadi?"

Rian menghela napas panjang, seolah sedang menimbang-nimbang kata-katanya. "Ada anak kelas sebelah... dia suka ngebully teman sekelasku. Hari ini mereka dorong-dorongan, terus hampir jatuhin barang-barang di lab sekolah. Aku cuma coba nahan dia biar nggak kasar, tapi malah jadi ribut."

Raya memandang adiknya dengan campuran rasa khawatir dan kagum. "Kamu bela temanmu?" tanyanya, suaranya mulai melunak.

Rian mengangguk pelan. "Iya... aku cuma nggak suka lihat dia diperlakukan nggak adil. Tapi aku tahu caraku salah. Aku nggak mau bikin Bunda atau Kakak khawatir."

Raya menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum berbicara. "Rian, aku ngerti kamu niatnya baik. Tapi lain kali, coba cari cara yang lebih damai, ya. Bunda pasti sedih kalau tahu kamu kenapa-kenapa."

Rian menunduk, tampak menyesal. "Iya, aku tahu, Kak. Aku cuma nggak tahan aja tadi."

Raya menepuk bahunya lembut. "Aku bangga kamu peduli sama orang lain, Rian. Tapi kamu juga harus jaga diri. Kita nggak mau kehilangan kamu karena sesuatu yang bisa dihindari."

Mata Rian berkaca-kaca mendengar kata-kata kakaknya. "Makasih, Kak," ucapnya pelan. "Aku nggak tahu kalau aku bakal ngelakuin itu lagi, tapi aku janji akan lebih hati-hati."

Raya tersenyum tipis, merasa lega melihat adiknya mulai terbuka. "Nah, gitu dong. Kalau ada masalah, cerita aja sama aku atau Bunda. Kita di sini buat kamu, Rian."

Setelah pembicaraan itu, suasana sedikit mencair. Meskipun masih merasa khawatir, Raya yakin adiknya akan belajar dari pengalaman ini. Sementara itu, di luar kamar, Bunda diam-diam mendengar percakapan mereka, tersenyum lega karena tahu hubungan mereka begitu erat.

"Yaudah, gue mau tidur dulu," kata Rian sambil merebahkan dirinya di kasur.

"Oke," balas Raya pelan, melangkah keluar kamar adiknya.

Saat pintu tertutup, Rian menarik selimut hingga ke dagu, memandangi langit-langit kamarnya yang temaram. Meski tubuhnya masih terasa lelah, hatinya sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan kakaknya.

Di sisi lain, Raya berdiri sejenak di depan pintu kamar Rian, menarik napas panjang. "Semoga dia baik-baik saja," gumamnya dalam hati, sebelum melangkah kembali ke kamarnya.

Flashback on

Lyra, gadis lugu yang baru pindah sekolah kemarin, awalnya menarik perhatian banyak siswa. Kecantikannya membuat semua orang terpesona, tetapi semuanya berubah ketika mereka mengetahui kekurangannya—ia gagap. Hal itu dengan cepat menjadi bahan ejekan bagi beberapa siswa nakal.

Siang itu, Lyra berjalan sendirian di lorong sekolah menuju perpustakaan. Tangannya memeluk sebuah buku yang baru saja ia pinjam dari guru. Langkahnya hati-hati, seolah ingin menghindari tatapan siapa pun.

Tiba-tiba, beberapa siswa laki-laki muncul dari arah berlawanan. Salah satunya, seorang siswa berambut gondrong, melangkah mendekat dan menghadangnya.

"Hei, gadis gagap!" seru seorang siswa berambut gondrong dengan nada mengejek, menghalangi jalannya.

Lyra terdiam, menggenggam erat bukunya. Matanya menghindari tatapan mereka, tubuhnya gemetar.

"Eh, senyum doang? Nggak bisa ngomong ya?" ejek siswa lainnya sambil terkikik, berdiri di samping gondrong.

Tiba-tiba, salah satu dari mereka menjulurkan tangan dan merebut buku di tangan Lyra.

"Ini apa nih? Buku cerita? Atau ini panduan ngomong yang bener?" ledeknya, memegang buku itu tinggi-tinggi.

"Ka... ka... kasih... balik," Lyra berusaha berbicara, tapi kata-katanya terhenti di tengah. Kekagapan yang ia benci membuatnya semakin sulit untuk berbicara di depan mereka.

"Eh, nggak jelas banget ngomongnya!" ujar yang lain sambil tertawa terbahak-bahak.

Mereka mulai melempar buku Lyra ke udara, mengoper-operkannya ke teman-teman mereka. Lyra hanya bisa berdiri di tengah mereka, matanya berkaca-kaca.

"Tangkap, kalau bisa!" seru salah satu siswa, melempar buku itu terlalu tinggi hingga akhirnya jatuh ke lantai dengan suara keras.

Lyra bergegas membungkuk untuk mengambilnya, tapi salah satu siswa menendang buku itu menjauh. Ia menggigit bibirnya, menahan tangis yang mulai mengalir.

"Udah, udah. Kasian, tuh!" ujar siswa gondrong, meski jelas masih dengan nada mengejek. Mereka pergi sambil tertawa, meninggalkan Lyra sendirian di lorong.

Lyra memungut bukunya yang kini sampulnya terlipat dan kotor. Ia memeluk buku itu erat-erat sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Namun, dalam hatinya ia berjanji, Aku nggak akan biarin ini terus terjadi.

Dari kejauhan, seseorang mengamati kejadian itu dengan tatapan tajam. Ia adalah Rian Attarfan, ketua OSIS SMP Nusantara, yang terkenal dengan sikap dingin dan pendiam. Mengenakan seragam yang selalu rapi dengan emblem OSIS di dadanya, Rian bersandar di dinding lorong sambil memperhatikan Lyra yang berusaha menahan tangis.

Wajahnya tetap tenang, tapi kedua tangannya mengepal di balik saku celananya. Ia tidak menyukai apa yang baru saja dilihatnya.

Saat para siswa yang membully Lyra berlalu, Rian melangkah maju dengan langkah mantap. Tanpa banyak bicara, ia berhenti di depan Lyra yang masih memeluk bukunya yang rusak.

"Kenapa kamu diam saja?" tanyanya, suaranya dalam namun tegas.

Lyra mendongak, terkejut melihat sosok Rian berdiri di hadapannya. Ia ingin menjawab, tetapi seperti biasa, ia sulit merangkai kata-kata saat gugup.

"Aku... a-aku..." Lyra tergagap, matanya berkaca-kaca.

Rian menghela napas panjang, lalu berjongkok agar sejajar dengannya. "Jangan biarkan mereka menginjak harga dirimu. Kalau ada masalah, lapor ke guru atau aku."

Lyra hanya bisa mengangguk pelan, meskipun ia merasa sulit untuk percaya bahwa seseorang seperti Rian, yang dikenal dingin, benar-benar peduli padanya.

Rian berdiri kembali dan menatap buku di tangan Lyra yang sudah lusuh. Ia meraih buku itu dengan lembut dari pelukannya. "Besok aku bawakan yang baru. Gausah nangis," ucapnya sebelum melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.

Lyra tertegun, menatap punggung Rian yang menjauh. Ia tidak tahu harus merasa lega atau bingung dengan sikap Rian yang tiba-tiba muncul dan membantunya.

" Di... Dia ng.. ngo.. ngomong s..s..sama aku?" Lyra berbicara sendiri.

Sepulang sekolah, Rian berjalan santai di parkiran sekolah, siap pulang seperti biasa. Namun, langkahnya terhenti ketika Angga, siswa gondrong yang suka membuat ulah, dan gengnya menghadangnya.

"Lo jangan mentang-mentang OSIS, songong lo!" seru Angga dengan nada penuh provokasi.

Rian berhenti, menatap Angga dengan dingin tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sikap tenangnya hanya membuat Angga semakin kesal.

"Lo yang ngaduin gue ke kepala sekolah, kan? Cemen banget ngadu-ngadu! Kalau lo emang berani, nentang gue duel aja, sini!" tantang Angga sambil menunjuk-nunjuk dada Rian.

Geng Angga tertawa, memprovokasi suasana agar lebih tegang. Beberapa siswa yang masih ada di sekolah mulai memperhatikan dari kejauhan, penasaran dengan apa yang terjadi.

Rian tetap diam sejenak, tatapannya tidak goyah. Akhirnya, dia membuka mulut. "Ngaduin? Gue nggak perlu buang waktu ngelaporin orang kayak lo. Tapi kalau lo masih bikin ulah, kepala sekolah pasti tahu sendiri. Lo yang nyari masalah."

Angga menggeram marah. "Lo pikir lo siapa? Main aman aja lo. Gue udah muak sama muka lo yang sok pahlawan!"

Tanpa menunggu jawaban Rian, Angga mencoba mendorongnya. Tapi sebelum tangannya menyentuh Rian, Rian dengan sigap menangkap tangan Angga dan menahan gerakannya.

"Jangan cari perkara, Angga," ucap Rian dingin. "Gue nggak takut sama lo, tapi gue juga nggak sebodoh itu buat ngeladenin lo."

Angga terdiam sejenak, terkejut dengan kekuatan dan ketenangan Rian. Namun, gengnya mulai mengerubungi mereka, mencoba memberi tekanan.

"Beraninya lo ngelawan gue!" seru Angga lagi, mencoba menarik tangannya dari genggaman Rian.

Rian melepaskannya dengan tegas. "Lo boleh main-main sama teman lo, tapi jangan sama gue." Suaranya rendah tapi penuh peringatan. "Atau lo mau nambah masalah lagi di sekolah ini?"

Namun, provokasi itu justru membuat Angga semakin emosi. Dengan gerakan cepat, Angga langsung mengayunkan tinjunya ke arah Rian. Pukulan itu mengenai pipi Rian, membuatnya sedikit mundur ke belakang.

Keributan pun dimulai.

Rian, yang selama ini dikenal tenang, kini terlihat serius. la mengusap pipinya yang memerah, menatap Angga tajam. "Lo udah cari masalah yang salah," ucapnya dingin.

Angga mencoba melayangkan tinju lagi, tetapi Rian dengan sigap menghindar. Dalam waktu singkat, Rian membalas dengan sebuah tendangan rendah yang membuat Angga kehilangan keseimbangan.

Geng Angga tidak tinggal diam. Mereka maju untuk membantu, mencoba mengeroyok Rian. Namun, Rian sudah siap. la bergerak lincah, menghindari serangan demi serangan sambil menjatuhkan satu per satu anggota geng dengan gerakan yang terlatih.

Siswa-siswa yang menyaksikan mulai bersorak, terkejut melihat kemampuan Rian yang tidak hanya berani tetapi juga tangguh.

"Berhenti!" terdengar suara tegas yang memotong suasana gaduh. Kepala sekolah dan beberapa guru muncul, wajah mereka menunjukkan kemarahan.

"Rian! Angga! Semua yang di sini, ikut saya ke ruang kepala sekolah sekarang juga!" perintah kepala sekolah, suaranya penuh otoritas.

Semua yang terlibat, termasuk Rian dan Angga, menundukkan kepala. Pertarungan itu berhenti begitu saja.

Di ruang kepala sekolah, Rian tetap tenang meski wajahnya menunjukkan bekas pukulan. Angga dan gengnya yang tampak ketakutan mencoba mencari alasan, tetapi kepala sekolah langsung menegaskan, "Saya tidak peduli siapa yang memulai, kalian semua akan mendapatkan konsekuensi dari tindakan ini."

Rian hanya mengangguk pelan, menerima apapun keputusan yang akan diambil. Namun dalam hati, ia tahu bahwa ia hanya membela dirinya dan prinsipnya untuk melindungi yang lemah, seperti Lyra.

Di sisi lain, Lyra, yang mendengar tentang kejadian itu, merasa bersalah. "Itu semua gara-gara aku..." gumamnya, matanya mulai berkaca-kaca. Namun, dalam dirinya muncul tekad untuk berterima kasih kepada Rian dan menunjukkan bahwa ia juga bisa melindungi dirinya suatu saat nanti.

Flashback off

Rian memberikan surat panggilan orang tua kepada bunda yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Bunda langsung membacanya.

" Maaf bun, " Lirih Rian.

Bunda menatap Rian, ekspresinya sulit ditebak. "Kenapa kamu nggak cerita apa yang sebenarnya terjadi di sekolah, Nak?" tanyanya, suaranya lembut tapi tegas.

Rian menghela napas panjang. "Aku nggak mau Bunda khawatir... Aku cuma... mau bantu teman yang diganggu."

" Yaudah nanti jam 10 an bunda ke sekolah mu, sarapan dulu sana, " Kata bunda.

Rian merasa sedikit lega mendengar Bunda tidak langsung marah. "Iya, Bun," jawabnya pelan, sebelum akhirnya duduk di meja makan untuk sarapan, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi nanti.

Di sekolah...

Rian meletakkan tasnya di meja dan duduk di kelas yang masih sepi. Belum ada satupun teman sekelas yang datang di jam segini. Tak lama, Lyra baru saja masuk dan menaruh tasnya di bangku yang tak jauh dari Rian.

Lyra ingin mengucapkan terima kasih, tapi ia merasa ragu bagaimana cara menyampaikannya.

"Tri...tri...makasih," suara Lyra terdengar gugup.

Rian menoleh sekilas, bingung dengan ucapan Lyra yang terputus-putus. "Buat?"

"K...kemaren...Ka...Kamu..." Lyra terdiam, canggung.

Rian mengalihkan pandangannya, tidak ingin terlalu lama menatap Lyra. "Itu tugas gue, gausah bilang makasih," jawabnya singkat, tanpa ekspresi.

Seperti yang dijanjikan, jam 10 pagi, bunda sudah tiba di sekolah dan sedang menghadap kepala sekolah. Rian duduk di ruang kelas, merasa cemas menunggu apa yang akan terjadi setelah pertemuan itu.

Di dalam ruang kepala sekolah, suasana serius. Bunda duduk dengan tenang, mendengarkan penjelasan dari kepala sekolah tentang kejadian yang melibatkan Rian dan Angga. Kepala sekolah terlihat sedikit khawatir, tapi berusaha tetap profesional.

"Maaf, Bu, saya harap kejadian ini bisa diselesaikan dengan baik," kata kepala sekolah, melihat ke arah bunda.

Bunda mengangguk, wajahnya tetap tenang. "Saya paham, Pak. Rian memang kadang terbawa perasaan, tapi dia tidak pernah berniat buruk."

Kepala sekolah menatap bunda, lalu beralih ke surat yang ada di mejanya. "Saya ingin memastikan hal ini tidak terulang lagi. Kami akan memberikan tindakan, tapi saya harap ini menjadi pelajaran bagi Rian juga."

" Baru kali ini Rian berulah, dulu waktu Raya yang sekolah disini dia yang paling rusuh, saya harap Rian tidak mengulangi nya lagi, " Lanjut kepala sekolah.

Kepala sekolah itu sudah sangat akrab dengan bunda. Karena dulu Raya adalah siswi yang bar bar. Bunda mengangguk, mendengarkan setiap kata kepala sekolah dengan hati-hati. "Saya tahu, Pak. Dulu Raya memang seperti itu, banyak ulahnya. Tapi saya yakin Rian berbeda, hanya saja dia terkadang terbawa emosi."

Kepala sekolah menghela napas, tampak berpikir sejenak. "Saya harap begitu, Bu. Kami ingin memberikan kesempatan bagi Rian untuk memperbaiki dirinya. Tapi kami juga tidak bisa menutup mata terhadap kejadian seperti ini."

Bunda menundukkan kepala sejenak, mencoba menyusun kata-kata. "Rian memang memiliki sifat yang lebih tertutup dibandingkan Raya, tapi dia selalu berusaha menjaga orang lain. Mungkin kali ini dia terlalu ikut campur, tapi saya akan pastikan dia belajar dari kesalahan ini."

Kepala sekolah melihat bunda dengan pandangan penuh pengertian. "Kami juga berharap demikian, Bu. Kami akan menunggu langkah-langkah perbaikan dari Rian. Dan semoga tidak ada lagi masalah seperti ini di masa depan."

Bunda mengangguk, merasa sedikit lega meski masih ada rasa cemas di dalam hatinya. "Terima kasih, Pak. Saya akan berbicara dengan Rian setelah ini."

Setelah percakapan itu, kepala sekolah memberikan pandangan terakhir pada bunda, lalu menyarankan untuk segera menyelesaikan masalah ini dengan cara yang bijaksana. Bunda keluar dari ruang kepala sekolah, bersiap untuk berbicara dengan Rian dan memastikan semuanya bisa kembali tenang.

Raya berjalan mondar-mandir di ruang tamu, sesekali melirik jam di dinding yang terasa bergerak begitu lambat. Dia merasa kehilangan arah sejak hari terakhir ujian. Biasanya, di waktu seperti ini, dia sedang dikantin bersama Aqila, Laras, dan Fatimah ngobrol dan gibah, tapi sekarang semuanya terasa kosong.

"Aah, sekolah capek, sekarang gak sekolah bosen," keluhnya, sambil menyandarkan punggung ke sofa. Matanya tertuju pada layar ponsel yang tidak menampilkan notifikasi menarik.

Dia mengambil napas panjang, merasa sedikit frustrasi. "Kapan pengumuman kelulusan ini?" gumamnya lagi, sambil membayangkan bagaimana rasanya menunggu sebuah kepastian.

Raya mengambil buku yang ada di meja dekatnya, namun tak berniat membukanya. Pikirannya kembali melayang ke berbagai kemungkinan yang belum terjawab. Keputusan-keputusan besar yang harus dia ambil, seperti memilih jurusan kuliah dan bagaimana menghadapi dunia yang semakin dekat di depan mata.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!