Hijrah Raya Dan Gus Bilal
“Astaghfirullah!” seru seorang wanita paruh baya setengah berteriak saat mencium aroma gosong yang memenuhi dapur dan melihat asap yang mulai membumbung ke udara. Sambil terbatuk-batuk, ia segera mematikan kompor.
"Ya Allah, Bunda ini kenapa?" tanya seorang anak laki-laki yang masih mengenakan seragam putih biru, berdiri di ambang pintu dapur.
“Assalamualaikum!” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis yang baru datang sambil membawa sesuatu. Dengan panik, ia langsung berlari ke arah wajan.
“Yah, kok gosong sih,” gumamnya sambil mengamati telur yang sudah menghitam di dalam wajan.
“Jadi ini kerjaan kamu?” tanya Bunda sambil menatap tajam ke arah anak gadisnya. Gadis yang ditatap hanya cengengesan.
"Kenapa kamu tinggal?" lanjut Bunda dengan nada tinggi.
“Itu, garamnya habis, Bun. Kan nggak enak kalau telur goreng hambar, jadi aku beli dulu garamnya,” jelas Raya dengan polos.
“Harusnya telurnya jangan ditinggal begitu! Kalau memang harus pergi, ya matikan dulu kompornya! Untung Bunda cepat datang. Kalau enggak, bukan cuma telurnya yang gosong, tapi dapur Bunda ini juga bisa ikut terbakar,” omel Bunda panjang lebar.
“Hehehe, maaf ya, Bun,” sahut Raya sambil buru-buru membersihkan wajan yang penuh dengan sisa-sisa telur gosong.
Sementara itu, Rian hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan kakaknya yang ceroboh. Baru saja pulang dari sekolah, sudah disambut dengan aroma gosong dan omelan Bunda karena kecerobohan Raya.
Raya Altaresha, gadis berusia 17 tahun itu, memang memiliki sifat yang ceroboh dan bar-bar, berbeda dengan adiknya, Rian Attarfan, yang pendiam, penurut, dan sangat berprestasi di sekolah. Meski begitu, keduanya saling menyayangi dan menjaga satu sama lain.
Raya memiliki wajah yang cantik, bertubuh tinggi, dan rambut panjang yang ikal. Namun, sikapnya yang sulit diatur sering kali membuat Bunda kewalahan. Sejak usia sepuluh tahun, Raya dan Rian tinggal bersama Bunda mereka, setelah ayah mereka pergi meninggalkan keluarga.
Meskipun sang ayah masih hidup, bagi Raya, ia sudah lama "mati." Pengkhianatan yang dilakukan oleh ayahnya membuat Raya tak ingin lagi berhubungan dengannya. Sementara Rian, meski lebih tenang dan tidak pernah berbicara banyak tentang masalah ini, tetap merasakan kegetiran yang sama.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Bunda mengelola usaha kue kering, dan Raya membantu dengan bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga. Namun, di tengah segala kesulitan dan tantangan hidup, mereka bertiga berusaha menjalani hari-hari dengan kekuatan dan kasih sayang yang tersisa.
Raya berjalan santai, menikmati angin sore yang sejuk. Suasana tenang di sekitar membuatnya merasa rileks setelah perdebatan kecil dengan Bunda. Tiba-tiba, deru mesin motor sport terdengar semakin dekat. Seorang laki-laki sebaya menghampirinya, senyum lebar di wajahnya.
“Mau gue anter?” tawar Leo, teman sekolahnya, sambil menepuk helmnya yang berada di stang motor.
Raya meliriknya sebentar, lalu tersenyum lebar. “Boleh juga,” jawabnya tanpa berpikir panjang. Baginya, Leo sudah seperti teman lama yang selalu ada, meskipun hubungannya lebih banyak diisi oleh keisengan dan canda.
Dengan lincah, Raya duduk di belakang Leo, memegangi bagian belakang motor tanpa banyak bicara. Leo menyalakan mesin, dan mereka segera melaju di sepanjang jalan desa yang berangin. Suara angin dan raungan mesin motor mengiringi perjalanan mereka.
Leo, yang sudah terbiasa dengan gaya Raya yang santai dan terbuka, mengobrol tanpa ragu. “Lo pulang kerja jam berapa hari ini?” tanyanya sambil melirik ke spion.
“Paling sekitar jam delapan. Nggak terlalu sibuk kok di toko bunga sekarang,” jawab Raya sambil membiarkan rambutnya berkibar tertiup angin.
Leo mengangguk, lalu memamerkan senyum jahilnya. “Nggak ada cowok yang naksir lo di toko itu?”
Raya mendengus, menggeleng. “Cowok? Di toko bunga? Mereka lebih tertarik sama bunga daripada gue,” jawabnya dengan nada menggoda.
Sebenarnya, Raya memang gadis yang tidak pernah membatasi pertemanan. Di sekolah, dia bisa berteman dengan siapa saja—baik laki-laki maupun perempuan. Dia tipe yang mudah bergaul dan jarang merasa canggung. Bahkan, banyak teman-temannya mengagumi keberaniannya. Selain terkenal karena sikapnya yang ceria dan tak kenal takut, Raya juga pernah memenangkan kejuaraan karate di desanya. Kemampuan bela diri itu membuatnya semakin disegani, terutama oleh teman-teman laki-lakinya.
Motor mereka berhenti di depan toko bunga, dan Raya segera turun dengan gerakan lincah. “Thanks, Leo. Besok kalo gue gajian, lo gue traktir es krim,” katanya sambil bercanda.
Leo tertawa. “Siap, jangan lupa traktir yang mahal!” balasnya sebelum berlalu dengan motornya, meninggalkan Raya yang melambaikan tangan.
Setelah itu, Raya melangkah masuk ke toko, bersiap untuk menjalani sisa hari dengan semangat yang sama seperti biasa—berani, ceria, dan tak peduli apa yang dipikirkan orang lain.
Raya bekerja dengan giat, dia memang sering ceroboh dan bar bar tapi saat ditempat kerja dia berusaha tidak melakukan kesalahan. Saat dirinya sedang asyik merapikan bunga di taman tiba-tiba..
" Gyuuuuurrrr!! " Sebuah siraman menyiram nya.
" HUJAN!! " Teriak nya mengira itu hujan. Dia menoleh ke belakang terlihat seorang pemuda bersarung sedang memegang ember.
Pemuda itu terkejut dia tak melihat kalau ada orang dibalik tanaman bunga itu. "Kenapa lo siram gue? " Tanya Raya prontal.
Yg ditanya malah diam menatap gadis didepan nya. Baju gadis itu basah, dan tampak lekuk tubuhnya terlihat jelas. Ia meneguk saliva nya dengan susah payah. Tapi seketika itu iya tersadar.
" Astaghfirullah, " Liriknya langsung menundukkan pandangan dari gadis itu.
" Gue tanya, kenapa lo siram gue? Lo gk denger ya? " Raya mengulang pertanyaan nya. Lagi lagi pemuda yang mengenakan peci dan sarung itu malah berbalik membelakangi nya.
"Maaf ukhti, saya tidak tahu, " Katanya sebelum berlalu.
Raya terpaku mendengar nya. Setelah membuat dirinya basah, orang itu dengan santai meninggalkan nya. " Emang masalah selesai apa dengan kata maaf doang "
Raya berdiri diam, menatap punggung pemuda bersarung yang perlahan menjauh setelah membuatnya basah kuyup. Wajahnya memerah, antara marah dan bingung. "Apa-apaan, ya? Cuma bilang maaf terus kabur gitu aja? Emang masalah selesai apa dengan kata maaf doang?" gumamnya sambil menghempaskan napas panjang.
Raya menggigit bibirnya, mencoba menahan kekesalannya. Baju putihnya yang kini basah membungkus tubuhnya dengan tidak nyaman. Dia menoleh ke arah tanaman bunga yang sedang ia rawat, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, namun rasa kesal masih tersisa.
Beberapa saat kemudian, seorang rekan kerjanya, Karin, datang menghampiri. “Raya, lo kenapa basah gitu? Hujan?” tanya Karin, menahan tawa saat melihat kondisi Raya.
“Bukan hujan, tapi disiram sama cowok aneh!” jawab Raya, menggelengkan kepalanya dengan kesal. “Gue lagi rapihin bunga, eh tiba-tiba dia muncul dan nyiram gue gitu aja. Terus dia bilang maaf dan langsung pergi!”
Karin tertawa kecil. “Ya ampun, kasian banget lo. Tapi siapa sih cowok itu?”
Raya mengangkat bahu. “Nggak tau, dia pakai sarung dan peci. Kayaknya anak pondok yang suka lewat sini.”v
Karin tersenyum jahil. “Mungkin dia malu gara-gara lo basah. Mungkin baju lo jadi... ya gitu deh.”
Raya menatap Karin dengan tatapan tajam. “Ya jelas malu, tapi tetep aja nyebelin!”
Setelah itu, Raya memutuskan untuk mengganti bajunya di ruang ganti karyawan. Namun, sepanjang sisa sore itu, pikirannya masih sesekali melayang ke pemuda bersarung tadi. Ada sesuatu tentang sikapnya yang membuat Raya penasaran, meski dia mencoba mengabaikannya.
Saat pekerjaannya selesai, Raya keluar dari toko bunga dengan perasaan campur aduk. Hari itu, meskipun sederhana, meninggalkan jejak yang tak terduga di pikirannya. Raya tersenyum kecil, lalu melangkah pulang, siap menghadapi kejutan lain yang mungkin datang di hari berikutnya.
Tepat pukul 8 malam, Raya akhirnya pulang ke rumah. Baju yang tadi basah kuyup sudah kering dengan sendirinya di tubuhnya. Sepanjang sore, pikirannya dipenuhi oleh kekesalan terhadap pemuda aneh yang telah merusak suasana hatinya. "Orang nggak jelas," gumamnya, mengingat kembali kejadian itu sambil mengerutkan alis.
Saat masuk ke rumah, wajahnya masih menampilkan ekspresi kesal. Satu-satunya hal yang ia inginkan sekarang adalah tidur, melupakan pertemuan menyebalkan dengan pemuda yang tak sengaja menyiramnya dengan air. "Entah siapa dia, gue nggak peduli. Mungkin orang baru dari desa sebelah. Semoga besok gue nggak ketemu dia lagi," pikir Raya sambil melepas sepatunya dan berjalan lesu menuju kamar.
Raya membanting tubuhnya ke atas kasur, mencoba menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif tentang kejadian hari ini. "Udah, lupakan aja," gumamnya sebelum akhirnya menarik selimut, berharap esok hari berjalan lebih baik tanpa gangguan dari orang-orang yang mengacaukan harinya.
Di sisi lain, Muhammad Bilal Aljazair bergegas masuk ke dalam rumah dengan wajah penuh penyesalan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat, duduk di atas sajadah, dan dalam hati terus beristigfar. "Astaghfirullah, bagaimana mungkin aku tak melihat ada orang di sana?" gumamnya sambil mengusap wajahnya yang penuh kebingungan.
Bilal adalah anak dari pemilik toko bunga tempat Raya bekerja. Namun, banyak orang tidak tahu hal ini karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya mondok di Tarim untuk menuntut ilmu agama. Dengan kepribadian yang baik, ramah, sopan, dan dingin, Bilal sering dianggap misterius oleh orang-orang yang jarang mengenalnya. Wajahnya yang tampan dan pembawaannya yang tenang membuatnya disegani, namun ia juga dikenal sangat menjaga pandangan terhadap lawan jenis. Selain mama dan adik perempuannya, Bilal tidak pernah berinteraksi dengan perempuan lain.
Tadi, insiden tak terduga itu membuatnya terkejut. "Kenapa aku begitu ceroboh?" Bilal masih memikirkan bagaimana ia tanpa sengaja menyiram air ke gadis yang bekerja di toko bunga keluarganya. Ia merasa bersalah, terutama karena pandangannya sempat tertuju pada gadis itu dalam kondisi yang tidak pantas. Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan hatinya yang masih diliputi rasa bersalah.
"Astaghfirullah... aku harus lebih berhati-hati lagi." Ia merapatkan pecinya, mengingat ajaran yang selalu ia pegang tentang menjaga pandangan dan berinteraksi dengan lawan jenis. "Besok aku harus minta maaf lagi secara baik-baik," pikirnya, walaupun ia tahu mungkin gadis itu tidak akan mudah melupakan kejadian tadi.
Bilal menghela napas panjang, menutup mata sejenak. Sore itu, meskipun sederhana, membawa perasaan yang asing baginya. Sesuatu tentang gadis itu—ketegasannya saat protes, keberaniannya yang frontal—membuat Bilal merasa sedikit tersentuh, meskipun ia berusaha keras untuk tidak membiarkan perasaan itu memengaruhinya.
"Jangan terlalu dipikirkan, Bilal," bisiknya pada dirinya sendiri. Lalu, ia melanjutkan kegiatan malamnya dengan berzikir, berharap hatinya kembali tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments