Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Ghariel’s day
...****************...
Gerbang sekolah terbuka perlahan, dan seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun berlari kecil dengan senyum cerah menghiasi wajahnya. Ghariel. Dengan langkah penuh semangat, ia langsung menghampiri sosok perempuan yang berdiri di dekat mobil.
“Mama!” serunya riang.
Araya tersenyum lembut, merentangkan tangan untuk menyambut putranya. Ghariel memeluk pinggang sang ibu sebentar sebelum melepaskan diri. Biasanya, ia akan langsung masuk ke dalam mobil dan mendapati Bastian—supir pribadi mereka—menunggu di balik kemudi. Namun, hari ini berbeda.
Saat menaiki mobil, matanya tertumbuk pada sosok yang duduk di kursi pengemudi. Seorang pria dengan jas yang rapi, sorot mata tajam, dan ekspresi datar yang sulit ditebak. Ayahnya.
Ghariel seketika terdiam, kebingungan menyergapnya. Kenapa bukan Bastian yang datang bersama mama? Pikirnya.
Araya membuka pintu belakang, hendak duduk bersama putranya. Namun, suara Gevan terdengar sebelum ia sempat melangkah lebih jauh.
“Duduk di depan.”
Araya menoleh, menatap pria itu. “Aku ingin menemani Ghariel di belakang.” Jawabnya.
Gevan menghela napas pendek, lalu melirik spion atas sekilas. “Aku bukan sopir kalian, Araya.”
Seperti biasa, Gevan selalu berbicara dengan suara rendahnya. Dengan sedikit enggan, Araya menurut, ia menutup pintu belakang dan berpindah ke kursi penumpang di depan.
Setelah mesin mobil dinyalakan, Araya menoleh ke belakang, tersenyum lembut. “Bagaimana sekolahnya hari ini, sayang?” tanyanya lembut.
“Menyenangkan, Mama. Hari ini ada pelajaran menggambar,”
Ghariel langsung menceritakan berbagai hal tentang harinya—tentang tugas menggambar yang ia buat, tentang teman-temannya, dan tentang betapa gurunya memuji tulisan tangannya yang semakin rapi.
Araya mendengarkan dengan penuh perhatian, menanggapi di sana-sini, sementara Gevan seperti batu yang tetap diam, laki-laki itu fokus mengemudi.
Namun, di tengah percakapan, Ghariel menyadari sesuatu. Jalan yang mereka lalui bukanlah jalan menuju mansion mereka.
Alisnya mengernyit. “Ma, kita mau ke mana?” tanyanya polos.
Bukan Araya yang menjawab, melainkan Gevan.
“Kamu akan tahu nanti,” katanya singkat.
Suara pria itu terdengar tenang, tapi menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ghariel menoleh pada mamanya, seolah meminta jawaban, namun Araya hanya diam menatap jalan sembari menahan senyum kecilnya.
Sementara di sisi lain, Viena menatap penasaran pada sang ayah
Sementara di sisi lain, Viena menatap penasaran pada sang ayah yang menatap rumit mobil keluarga Ghariel yang baru saja meninggalkan pekarangan sekolahnya.
Romeo mengepalkan tangan, sudah dua hari ini ia tidak melihat Araya ikut menjemput Anaknya. Dan sekarang, saat ia memiliki kesempatan untuk mendekati gadis itu, Romeo menyadari ada Gevan di dalam mobil itu.
Ia tidak bisa menghampiri Araya barang sedikit saja, Gevan tidak akan bermain-main pada ancamannya jika ia ketahuan mencoba mendekati Araya lagi.
Dan Romeo tidak seberani itu untuk menentang lelaki itu.
***
Ghariel menatap pemandangan di depannya dengan mata membulat tak percaya. Di hadapannya, berdiri gerbang megah wahana bermain Dunia Fantasi—Dufan. Suasana di sekitarnya riuh dengan suara anak-anak tertawa, orang tua yang menggandeng tangan buah hati mereka, dan musik ceria yang mengalun di berbagai sudut.
Ia masih sulit memproses kenyataan bahwa hari ini, kedua orang tuanya benar-benar membawanya ke tempat ini. Sesuatu yang bahkan tidak pernah ia bayangkan, mengingat bagaimana watak mama dan papanya.
Semuanya terasa seperti mimpi bagi Ghariel yang hanya menghabiskan waktu di dalam mansion selama ini.
Di dalam mobil tadi, ia sudah berganti pakaian karena Araya membawakannya baju ganti yang lebih nyaman untuk bermain. Tapi pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Kenapa mereka ke sini?
Saat Araya tiba-tiba mengangkat tubuh kecilnya ke dalam gendongan, Ghariel tersentak. Ia menatap mamanya dengan ekspresi tidak suka, menggembungkan pipinya sebal.
“Mama! El udah besar, nggak perlu digendong!” protesnya.
Araya terkekeh pelan, lalu mengangkat satu alisnya. “Memangnya udah sebesar apa?” tanyanya menggoda.
Ghariel mendengus pelan. “Tentu saja! El kan sudah—”
Ucapannya terhenti di tengah jalan. Mata kecilnya membesar saat menyadari sesuatu.
Hari ini…
Hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Araya tersenyum manis, menatap sang putra dengan penuh kasih sayang. Lalu dengan lembut, ia membisikkan sesuatu yang berhasil membuat hati Ghariel menghangat.
“Selamat ulang tahun, putra Mama yang paling ganteng sedunia.”
Tak lama, sebuah tangan besar mengusap rambutnya dengan lembut. Ghariel mengangkat kepala, mendapati Gevan menatapnya dengan ekspresi yang lebih hangat dari biasanya.
“Selamat hari kelahiran kamu, Rayvandra” kata pria itu, suaranya rendah tapi jelas ada ketulusan di sana.
Ghariel tak bisa untuk tak menatap sang ayah dengan takjub. Ia tidak pernah menyangka bahwa papanya yang mengerikan bisa menjadi sosok yang sedikit hangat seperti ini.
Ghariel masih merasa tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi ia tidak ingin menghabiskan waktu untuk berpikir. Hari ini, ia ingin bersenang-senang.
Wahana pertama yang mereka naiki adalah Istana Boneka. Ghariel duduk di samping mamanya dalam perahu kecil yang mengapung pelan melewati berbagai diorama penuh warna. Lagu khas wahana itu mengalun lembut, menemani boneka-boneka kecil yang menari dengan gerakan mekanis.
“Lihat, Ma! Itu bajak laut!” seru Ghariel sambil menunjuk sebuah boneka bajak laut kecil yang mengibarkan bendera.
Araya terkikik. “Iya, sayang. Lucu, ya?”
Gevan yang duduk di belakang mereka hanya diam, tapi Ghariel bisa melihat ada sedikit senyum di wajah papanya. Sesuatu yang jarang ia lihat.
Setelah menyelesaikan wahana satu itu, Araya ingin kembali menggendong sang putra tapi anak itu langsung menjauh.
“Mamaaa, El sudah besar. Pasti mama berat menggendong El,” Ujar Ghariel.
Bibir Araya sedikit tertekuk, padahal ia ingin mengganti saat-saat di mana tak bisa memomong Ghariel ketika kecil. Tapi sepertinya putranya benar-benar menolak.
Gevan yang menyadari sang istri merasa sedih, mengalihkan tatapan pada putranya. Ghariel langsung menggeleng seolah mengatakan ‘aku tidak melakukan apapun pada Mama’. Mengingat papanya sangat mudah memberi hukuman jika itu menyangkut mamanya.
Yang Ghariel dapat adalah tubuhnya melayang oleh tangan besar sang ayah. Gevan membawa anak itu ke gendongannya, cukup membuat Ghariel nge freeze.
“Rayvan benar, dia berat. Jadi biar aku yang membawanya.” Ujar Gevan.
Araya langsung tersenyum senang, wajah ternganga sang anak seolah tak ia lihat. Mereka melanjutkan perjalanan bersama.
Setelah itu, keluarga kecil Araya mencoba Kora-Kora, kapal ayun raksasa yang membuat perut terasa melayang. Awalnya, Ghariel sedikit ragu, tapi ketika kapal mulai bergerak naik turun, ia tertawa lepas.
“Seru banget!” serunya ketika turun.
“Ayo naik lagi?” Araya menggoda.
Ghariel menggeleng cepat. “Nggak, cukup sekali aja!”
Mendengar itu Araya meletakkan tawanya.
Lalu, mereka menaiki Halilintar, roller coaster yang membuat jantung berdebar. Araya memilih menunggu di bawah, sementara Ghariel dan Gevan duduk berdampingan. Saat kereta melaju cepat, Ghariel menjerit antara takut dan senang, sementara papanya hanya tersenyum tipis, terlihat tenang seperti biasa.
Setelah puas bermain, mereka beristirahat sejenak di sebuah kedai makanan. Ghariel menikmati sosis bakar dan es krim sebagai pengganjal perut. Ia menggigit sosisnya dengan lahap, sementara es krimnya mulai sedikit meleleh di tangannya.
Sesuatu yang belum pernah Ghariel dan Gevan makan, Araya mencekoki mereka dan berhasil membuat keduanya berselera. Ayah dan anak yang biasa makan makanan buatan chef itu mana pernah mencoba makanan rakyat seperti ini.
“Pelan-pelan makannya, nanti belepotan,” kata Araya sambil mengelap sudut bibir putranya.
Ghariel hanya tertawa kecil.
Hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya.
Dan untuk pertama kalinya, bocah tujuh tahun itu merasa bahwa keluarganya benar-benar utuh.
...****************...
tbc.