"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jihan Marah
Aku harusnya udah tahu dari awal. Enggak seharusnya aku berharap banyak dari seseorang sekaku Om Lino.
Iya, sih, kami jadi jalan-jalan. Tapi tahu enggak ke mana?
Ke Gramedia.
Yup, Gramedia.
KENCAN PERTAMAKU SEBAGAI ISTRI BERAKHIR DI TOKO BUKU.
Aku menatap rak buku di hadapanku, mencoba mengalihkan rasa kecewa. Harusnya aku udah paham kalau Om Lino bukan tipe orang yang suka jalan ke tempat-tempat kekinian. Bukannya aku enggak suka ke toko buku, tapi … ya ampun, masa iya satu-satunya kencan kami cuma begini?
Aku menghela napas pasrah. Ya udah, sih, coba dinikmati aja. Itung-itung bisa minta dibeliin novel.
Aku berjalan ke rak best seller, mulai memilah beberapa buku. Sesekali aku melirik ke sekeliling, mencari sosok Om Lino. Dia tadi pergi entah ke mana, katanya ada buku yang mau dia cari.
Aku menarik satu novel dan membolak-balik halamannya. Tapi setelah membaca novel sastra lama kemarin, rasanya aku lagi enggak mood baca novel lagi.
Ya udah, batal beli aja deh.
Aku meletakkan buku itu kembali, lalu berjalan ke bagian lain toko buat mencari Om Lino.
Setelah melewati beberapa rak buku, akhirnya aku menemukannya. Dia berdiri di depan rak bahasa, memegang dua buku tebal sambil membaca sampul belakangnya.
Aku melipat tangan di dada, berdiri di sampingnya. “Om, serius kita kencannya di sini?”
Om Lino menoleh, tampak sedikit bingung. “Kencan?”
Aku mendengus pelan. “Iya, kencan. Memangnya bukan, ya?”
Dia menatapku beberapa detik sebelum bergumam, “Eum ... jadi kamu maunya kencan, ya.”
Aku menatapnya tanpa ekspresi. Hanya bisa membatin, Ya ampun, ya jelas lah, Om!
Tapi aku enggak mengatakannya. Aku cuma mendesah pelan. “Om beli buku apa?” tanyaku, mengalihkan topik.
Om Lino menurunkan buku yang dipegangnya, memperlihatkan sampulnya kepadaku. “Kamus Besar Bahasa Indonesia dan buku Linguistik Umum.”
Aku mengerutkan kening. “Lah, buat apa? Bukannya Om udah menguasai semua itu?”
Dia menatapku dengan ekspresi datarnya yang khas. “Ini untuk kamu.”
Aku refleks membelalak. “Anj*r?!”
Om Lino menaikkan sebelah alis. Aku langsung menutup mulut dan meralat, “E-eh, maksudnya ... kok buat saya?”
Dia menutup bukunya dengan tenang sebelum menjawab, “Supaya kamu mudah belajarnya nanti.”
Aku terdiam. Jujur, aku enggak tahu harus ngomong apa. Ada perasaan aneh yang menggelitik dadaku. Dia perhatian memang, jadi aku gak sepenuhnya jengkel.
Om Lino enggak hanya membelikan buku, tapi dia juga peduli sama perkembangan akademikku.
Aku menunduk, menggigit bibir. “Om ....”
Dia menatapku dalam diam, menunggu. Tapi aku juga bingung mau balas apa.
“Kamu tidak mau?”
Aku menarik napas pelan sebelum mengangguk. “Mau. Iya, mau.” Aku mengusap tengkukku, masih sedikit canggung. “Makasih, Om ....”
Dia hanya mengangguk kecil, lalu bertanya lagi, “Kamu mau membeli buku lain? Jika tidak ada lagi, kita bisa pulang.”
Aku mengangkat kepala cepat. “Langsung pulang?!”
Om Lino tampak semakin bingung. “Memangnya kamu mau ke mana lagi?”
Aku memelototinya. “Om tuh enggak asik!”
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung berbalik dan berjalan keluar dari toko.
Sial. Mood-ku yang tadi bagus banget gara-gara kejadian tadi malam, sekarang hancur total.
Om Lino emang enggak bisa romantis sama sekali, ya?
Aku berdiri di depan Gramedia, bersedekap sambil sesekali melirik ke dalam. Seharusnya sekarang dia sudah di kasir, bukan malah keluyuran mencari buku lain. Sebenarnya aku sudah menduga dari awal kalau ngajak dia jalan-jalan enggak bakal menghasilkan sesuatu yang seru. Tapi kencan ke toko buku? Boring banget, deh.
Sambil menunggu, aku mengeluarkan ponsel dari tas, berniat scrolling media sosial. Tapi belum sempat aku buka aplikasi apa pun, layar menampilkan panggilan masuk dari Kak Hans.
Aku langsung mengangkatnya. “Halo, Kak?”
“Akhirnya diangkat juga.” suara Kak Hans terdengar santai. “Oy, kakak ipar, lo tau kan ya hari ini Bang Lino ultah?”
Aku mengerutkan kening. “Hah? Serius?”
“Lah, beneran lo enggak tau?” terdengar tawa kecil di seberang sana. “Gila sih, istri macam apa lo?”
Aku menegakkan punggung. “Eh, gue cuma tau tahun lahirnya doang, bukan tanggalnya!”
“Bisa-bisanya,” ujar Kak Hans, terdengar geli. “Pantes aja pagi tadi lo enggak ada.”
Aku semakin bingung. “Enggak ada di mana?”
“Di rumah mertua lo lah. Kita ngerayain ultah Bang Lino tadi pagi.”
Aku terbelalak di tempat. “KOK GAK BILANG-BILANG?!”
“Ya tanya laki lo lah.” Kak Hans tertawa makin kencang. “Dia bilang lo ada kelas pagi, jadi enggak bisa datang. Tapi katanya enggak papa, soalnya kalian mau ngerayainnya pas sore.”
Aku mencengkeram ponsel lebih erat. “Ih, Om Lino tuh enggak bilaaang!”
“Pasti dia enggak mau bikin lo repot.”
“Tapi tetep aja! Terus gue harus gimana, Kak? Gue enggak nyiapin apa-apa!”
“Ya kasih aja hadiah diri sendiri.”
Aku mendengus. “Anjir lo.”
Kak Hans terkekeh puas. “Haha, bercanda. Bang Lino tuh biasanya enggak butuh hadiah macem-macem. Cukup lo nemenin dia aja, dia udah seneng.”
Panggilan berakhir, tapi aku masih terdiam beberapa saat. Lalu, dengan buru-buru, aku berbalik masuk lagi ke Gramedia.
Namun, baru beberapa langkah, seseorang dari arah berlawanan nyaris menabrakku. Aku mendongak, dan tentu saja—siapa lagi kalau bukan Om Lino?
Dia menatapku dengan ekspresi datarnya. “Ada apa, Jihan?”
Aku menatapnya tajam. “Om! Om kok enggak bilang sih kalau Om hari ini ulang tahun?!”
Dia diam sejenak, lalu menjawab pelan, “Kamu ... tau dari mana?”
“Dari Kak Hans!” Aku melipat tangan di depan dada, masih kesal. “Kalau Kak Hans enggak ngasih tau, sampai hari berganti juga saya enggak bakal tahu kalau umur Om baru aja nambah!”
Om Lino tetap diam, seolah membiarkanku meluapkan semua uneg-unegku.
“Om tuh ngeselin banget, sih! Kasih tau kek! Apa susahnya?”
Aku mengambil napas, lalu lanjut, “Katanya mau jadi suami-istri beneran? Lah ini apa? Masalah ulang tahun aja ditutup-tutupi dari saya!”
“Maksudnya apa coba enggak ngajak saya pas ultah Om dirayain di rumah Mama?!”
Om Lino tiba-tiba melirik ke sekitar, ekspresinya sedikit tegang. Kayaknya dia agak panik gara-gara aku ngomong pakai nada kencang di depan umum.
Dia mendekat dan berbisik, “Jihan—”
Tapi aku enggak peduli. “Om Lino tuh—”
“Baiklah, baiklah.” Dia buru-buru memotong, lalu menghela napas. “Maafkan saya. Tapi kita keluar dulu dari sini, ya?”
Aku mendengus kesal, tapi enggak menolak saat dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari Gramedia.
Bukan cuma keluar dari toko buku itu, tapi kami juga keluar dari mall.
Begitu sampai di parkiran, aku masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa. Masih kesal, aku memilih memasang mode ngambek. Sementara itu, Om Lino duduk di sampingku, memposisikan tubuhnya menghadap ke arahku.
Dia menatapku sejenak sebelum akhirnya membuka suara.
“Jihan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud menyembunyikan hal seperti itu dari kamu.”
Aku tetap diam, menatap lurus ke depan.
“Saya sebenarnya sudah ingin mengatakannya tadi malam ...,” lanjutnya, suaranya terdengar lebih pelan. “Tapi saya ragu.”
Aku menghela napas, masih enggan merespons.
“Karena kamu bilang ada kelas pagi, saya tidak mau mengganggu.”
Aku melirik ke arahnya sekilas.
“Saya tidak mau kamu tidak masuk kuliah hanya untuk merayakan ulang tahun saya,” katanya lagi, nada suaranya tetap tenang seperti biasa meski kini tersirat kecemasan. “Lagipula, sore harinya kamu pergi bersama saya, kan? Itu—”
Aku menoleh tajam. “Om tuh kenapa gak ngerti juga, sih?!”
Dia mengerutkan kening, mungkin terkejut dengan nada suaraku yang sedikit meninggi.
“Bukan masalah saya ikut ngerayain atau enggaknya, Om! Tapi Om sendiri kenapa gak bilang dari awal?” Aku menatapnya dengan frustrasi. “Cuma karena saya ada kelas pagi?”
Aku menghela napas kasar sebelum melanjutkan, “Kan Om bisa bilang, ‘Jihan, saya besok ulang tahun. Tidak apa-apa kalau kamu ada kelas pagi. Kita bisa merayakannya sore hari atau malam.’”
Aku lagi-lagi melipat tangan di dada. “Kan bisa gitu! Lah ini?”
Aku menatapnya penuh kekecewaan. “Bahkan sampai sorenya pun, pas kita lagi jalan, Om tetap gak bilang kalau Om ulang tahun?”
Kedua alisnya tampak turun.
“Saya malah tahu dari orang lain!” Aku mendengus. “Om tau gak sih? Saya malu banget sama Kak Hans karena gak tau kalau Om hari ini ultah. Pasti dia mikir, saya ini istri macam apa?”
Om Lino masih terdiam, tetapi matanya sedikit mengerjap.
“Belum lagi Mama dan Papa. Apa kata mereka kalau saya gak hadir di perayaan ulang tahun suami sendiri?” Aku mengusap wajah dengan kasar. “Kalau Kak Hans bilang ke mereka saya sebenernya gak tau ulang tahun Om gimana? Ah, malu-maluin banget!”
Om Lino akhirnya bersuara, “Itu tidak akan terjadi. Nanti saya akan melarang Hans berkata apa pun pada orang tua saya.”
Aku tertawa sarkastik. “Terus? Om pikir dengan gitu saya bakal lega?” Aku menatapnya dengan tatapan tajam. “Sekali lagi, Om. Kenapa Om Lino gak bilang sama saya kalau Om lagi ulang tahun?!”
Aku sudah emosi banget saking gemasnya. Tapi ... tuh Om-om kayaknya masih belum sadar kesalahannya sama sekali.
“Saya hanya tidak mau kamu bolos kuliah karena saya ...,” ucapnya lagi. Itu saja terus yang dikatakannya masih dengan ekspresi datarnya.
Aku refleks menepuk dahi. Om Lino tuh emang sepolos ini apa gimana sih?!
“Kan udah saya bilang, Om bisa—”
“Baiklah, Jihan.” Dia tiba-tiba memotong, nada suaranya terdengar lebih memelas. “Saya salah. Maafkan saya.”
Aku meliriknya curiga.
“Tidak perlu bertengkar untuk masalah seperti ini, oke?” lanjutnya.
Aku menyipitkan mata. “Om udah ngerti gak kenapa saya marah sekarang?”
Dia menatapku sejenak sebelum menjawab, “Karena saya tidak memberitahu kamu kalau hari ini ulang tahun saya?”
Aku tetap diam, menunggu kelanjutannya.
“Kamu malu pada keluarga saya karena tidak ikut merayakan pagi tadi,” tambahnya.
Aku menghela napas, lalu menatapnya serius. “Ya, itu emang membuat saya marah. Tapi ada yang lebih dari itu.”
Om Lino menatapku bingung.
“Karena ini saya sadar, saya emang gak berarti apa-apa buat Om.”
Dia langsung mengerutkan kening. “Jihan ....”
“Untuk masalah kayak gini aja Om gak mau terbuka sama saya.” suaraku sedikit bergetar. “Gimana masalah besar?”
Aku menelan ludah sebelum melanjutkan, “Saya tau Om emang tertutup orangnya. Tapi gak segininya juga, Om! Saya tuh istri Om, kan? Om bilang sekarang kita suami-istri sungguhan, kan?”
Aku menatapnya dalam, menunggu responsnya.
“Terus ini apa? Om masih aja gak mau terbuka sama saya!”
Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membalas dengan suara rendah, “Baiklah, maafkan saya, Jihan.”
Aku memalingkan wajah, berusaha menenangkan diri. Kenapa sih, Om Lino tuh gini banget?!
“Saya masih belum terbiasa. Saya sudah terlalu lama tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. Itu sebabnya saya tidak terbiasa berbagi cerita dengan orang lain.”
Aku mengernyit, dada terasa sedikit sesak mendengar ucapannya.
“Saya bukan orang lain! Saya istri Om!” sergahku, merasa sedikit tersinggung.
Om Lino menoleh ke arahku, ekspresinya terlihat sedikit kaget sebelum akhirnya melembut.
“Iya, kamu istri saya. Maafkan saya, saya tidak bermaksud menyinggung kamu.”
Aku diam, memperhatikan wajahnya yang sekarang malah kelihatan menyedihkan.
Duh, kenapa dia gini sih? Jadi gemes, kan?
Ah, tidak! Jangan cepet luluh, Jihan!
“Jihan?” panggilnya, suaranya terdengar ragu.
Aku tetap menatap ke depan, pura-pura masih kesal.
“Maafkan saya ...,” lanjutnya dengan nada yang lebih lembut.
Aku mendesah pelan, lalu meliriknya sekilas sebelum akhirnya menjawab, “Iya, iya! Aish ....”
Sejujurnya aku udah gak kesel lagi, cuma gengsi aja buat ngaku. Hanya dengan ekspresi memelasnya aja, amarahku menguap entah ke mana.
Aku menyandarkan tubuh ke jok mobil, menghembuskan napas berat. “Karena sekarang ulang tahun Om Lino, Om saya maafin.”
Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan, tetapi aku buru-buru melanjutkan, “Jangan seneng dulu. Saya cepet luluh karena ini masih hari ultah Om Lino. Jadi, Om mau minta hadiah apa?”
Nada suaraku masih ketus dan tatapanku pun tetap sinis. Tapi ya, cuma pura-pura. Padahal dalam hati udah meleleh lihat Om Lino minta maaf mulu.
“Saya tidak mau apa-apa.”
Aku langsung mengerutkan dahi. “Om, serius dong!”
“Saya serius. Saya tidak butuh apa-apa lagi, Jihan.” Dia tersenyum tipis. “Kamu sudah menemani saya membeli buku tadi, anggap saja itu hadiah dari kamu.”
Aku memutar mata. “Astaga, mana bisa gitu, Om! Mana Om beli bukunya buat saya lagi!”
Om Lino tetap tenang, hanya menatapku dengan sabar.
“Sekarang bilang, Om mau apa? Kalau Om nolak tawaran saya lagi, saya bakal balik ngambek.”
Dia terdiam sejenak, tampak berpikir. Lalu akhirnya, “Kalau saya minta kamu memasak untuk makan malam hari ini bagaimana?”
Aku berkedip. “Hah?”
“Waktu itu kamu pernah memasak untuk saya dan saya suka masakan kamu.”
Aku melongo sebentar, gak nyangka permintaannya sesederhana itu. “Serius itu doang?”
Dia mengangguk. “Iya.”
Aku menghela napas, masih gak percaya. Padahal masakan aku waktu itu sederhana banget. Gak ada apa-apanya dibanding masakan Om Lino.
Tapi melihat matanya yang tenang dan tulus, aku akhirnya menyerah. “Ya udah deh.”
Om Lino tersenyum tipis. “Kalau begitu, pulang sekarang?”
Aku mengangguk. “Iya.”
Dia baru aja mau memasang sabuk pengaman ketika tiba-tiba aku merasa ingin melakukan sesuatu.
“Eh, Om, tunggu deh.”
Om Lino menoleh. “Apa—”
Cup!
Aku buru-buru merapat ke pintu mobil setelah mengecup pipinya dengan cepat. “Selamat ulang tahun, Om Lino ...,” bisikku, nyaris tak terdengar.
Jantungku berdebar kencang. Aku gak berani menatapnya, malah sibuk berpura-pura tertarik dengan pemandangan di luar jendela.
Astaga, aku tadi ngapain, sih?!
Keheningan mengisi mobil beberapa detik sebelum akhirnya suara beratnya terdengar lagi.
“Jihan.”
Aku menelan ludah. Duuuh, dipanggil. Apa Om Lino mau marah, ya?
Dengan hati-hati, aku menjawab, “I-iya, Om?”
Dia diam sebentar sebelum akhirnya berkata pelan, “Terima kasih ucapannya.”
Aku masih gak berani menoleh, tapi lalu dia menambahkan, “... dan untuk yang tadi juga. Terima kasih.”