Pelacur mahal milik Wali Kota. Kisah Rhaelle Lussya, pelacur metropolitan yang menjual jiwa dan raganya dengan harga tertinggi kepada Arlo Pieter William, pengusaha kaya raya dan calon pejabat kota yang penuh ambisi.
Permainan berbahaya dimulai. Asmara yang menari di atas bara api.
Siapakah yang akan terbakar habis lebih dulu? Rahasia tersembunyi, dan taruhannya adalah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arindarast, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyamanan yang terancam
Mentari Minggu pagi menyelinap lewat celah tirai gorden tipis berwarna putih, menerangi debu-debu kecil yang menari-nari di sinar matahari. Hari Minggu, hari untuk bermalas-malasan dan Rhaell akan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Setelah suara pisau beradu dengan kayu, sekarang gantian aroma sedap yang mengusik indranya. Bukan aroma sembarangan, ini aroma roti gandum yang sedikit gosong di tepinya ‘ciri khas Edgar’ berpadu dengan wangi telur dadar yang dibumbui sedikit oregano kering.
Rhaell mengerjapkan mata, masih setengah mengantuk, bulu matanya yang lentik bergetar pelan. Aroma itu semakin kuat, menggelitik perutnya yang mulai keroncongan.
Dengan malas ia meregangkan tubuh, seprai katun terasa dingin di kulitnya yang hangat, meraih kaca mata bening di meja kecil sebelah kasur.
Senyum tipis langsung saja mengembang, membayangkan sarapan lezat yang sudah menunggunya.
Di dapur mungil apartemen mereka, Edgar menata omelet di atas meja makan. Sambil menunggu roti panggang matang, ia membersihkan dapur dan mencuci alat-alat masaknya.
“Pagi, Cia.” Edgar, dengan rambut sedikit berantakan dan mengenakan celemek biru tua yang sudah pudar, sedang membalik roti terakhirnya.
“Pagi, Chef.” Jawab Rhaell, menghampiri adiknya dan menghirup dalam-dalam aroma sarapan. "Wangi banget! Oregano ya, Chef?" Tanyanya, mengetahui kebiasaan Edgar yang suka bereksperimen dengan bumbu.
“Iya dong. Kita jadi manusia itu harus berevaluasi.” Bangganya. "Telur dadar oregano, pake kornet, pake cabe biar hot, sama roti panggang garlic… spesial buat Cia."
Rhaell tertawa kecil, “Maksud kamu inovasi kali?!”
“Lah, emang pake kata berevaluasi gak bisa ya, Ci?”
“Bisa kok, Gar.” Rhaell membuka kulkas, memperlihatkan isinya yang cukup sederhana: beberapa botol minuman, sisa sayuran, dan beberapa bungkus makanan siap saji.
“Nah. Iya kan bisa kan.”
“Iya. Bisa gila!” Sebotol susu segar diambil Rhaell dan kopi hitam panas dia buatkan untuk moodboster kesayangannya yang tak tahan laktosa.
Rutinitas pagi yang selalu mereka jalin: Edgar sang koki andalan dan Rhaell penikmat setia masakannya.
Wangi kopi dan roti panggang hangat, menemani obrolan ringan mereka. Edgar bercerita tentang kejadian-kejadian lucu di sekolah, suaranya riang dan banyolannya selalu berhasil menggelitik tawa Rhaell.
Namun, di balik senyum dan tawa itu, sebuah bayangan kecil dari kejadian semalam masih menghantui pikiran Rhaell. Perasaan sedikit mengguncang, tapi ia berhasil menutupinya dengan baik dari Edgar.
Ia tak ingin mengusik ketenangan pagi mereka dengan kekhawatiran yang hanya akan membebani adiknya.
Apartemen lantai sebelas dengan segala kesederhanaannya adalah pelarian mereka dari dunia luar yang terkadang terasa begitu jahat dan kejam.
Di tengah aroma kopi dan roti panggang, di antara tawa dan cerita, Rhaell menemukan kedamaian dan kenyamanan yang tak tergantikan. Ia bahagia diberi adik yang penyayang dan sarapan pagi yang penuh cinta.
Ponsel Edgar bergetar pelan di atas meja, matanya sekilas melirik layar yang menampilkan pesan masuk.
“Cia, ini kata Rayan, semalem dia nitipin barang-barang Cia di satpam. Ntar habis makan aku ambil, deh.” Setelah membaca pesan itu, jemarinya membalas pesan Rayan dan meletakkan kembali ponselnya.
Mulut Rhaell yang masih penuh dengan potongan roti panggang dan omelet membuatnya tampak lucu saat ia mencoba berbicara.
“Cia aja yang ambil,” ujarnya. Suaranya teredam dan terdengar sedikit cadel. “Itu paling tas sama HP doang.”
“Oke kalo gitu. Cia ambil tas ke bawah, aku cuci piring.”
Rhaell dengan semangat mengacungkan kepalan tangannya, sisa-sisa remahan roti masih menempel di sudut bibirnya.
Kepalan tangan Edgar menyambutnya dengan cepat, kuat namun tetap lembut. Tabrakan dua bogem itu menghasilkan bunyi gedebuk kecil yang menyenangkan. Seolah-olah dalam benturan singkat, mereka saling berbagi energi.
...****************...
Dengan langkah ringan, Rhaell melangkah keluar dari apartemen mungil mereka. Udara pagi yang masih sejuk membelai kulitnya.
Ia menuju lift, menekan tombol panggil. Pintu lift terbuka dan ia masuk, menikmati ketenangan pagi hari yang kontras dengan hiruk pikuk kehidupan malamnya.
Kenangan samar-samar tentang kejadian di klub malam masih berputar di kepalanya, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Prioritasnya sekarang adalah mengambil tas dan ponselnya yang dititip Rayan.
Lobi apartemen tampak sepi. Hanya ada seorang satpam yang sedang duduk di meja resepsionis, membaca koran. Rhaell tersenyum ramah dan menyapa satpam tersebut.
“Pagi, Pak Bento…” sapa Rhaell.
“Selamat pagi, kakak manis. Mau ambil tas kah?”
Rhaell mengiyakan dengan senyum kikuknya dan menggaruk kepala yang tidak gatal.
Pak Bento security apartemen yang sedikit gembul itu berdiri dan berjalan menuju ruang penyimpanan barang-barang.
Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan sebuah tas jinjing berwarna beige dan sepatu hitam yang salah satu haknya patah.
Rhaell menatap nanar heels kesukaannya dan mengambil napas dalam. “Semalem aku habis jatoh, Pak. Makanya gini.” Dia menenteng sepatunya keatas, menunjukan seberapa parah hal itu terjadi.
Pak Bento mengamati dengan saksama, “Tapi kaki kakak cantik gak sakit kan?”
Pertanyaan satpam itu membuat Rhaell baru menyadari keadaannya. Ia gantian melihat kakinya yang ternyata sedikit membiru di sekitar pergelangan kaki. Rasa nyeri yang samar mulai terasa.
“Aman aja sih, Pak.”
Tepat saat Rhaell mengecek kakinya, ia mendengar derap langkah mantap yang mendekat dari belakang. Ia merasakan sebuah firasat, namun memilih untuk tetap tenang.
Rhaell berbalik, ingin melihat siapa yang mendekat, tetapi sebelum ia sempat berbalik sepenuhnya, ia merasakan sebuah tangan menyentuh bahunya.
Wanita yang masih menggunakan baju tidur karakter Shinchan itu menoleh dan mendapati seorang laki-laki tinggi, berpakaian rapi berdiri di belakangnya.
Dengan dasi panjang berwarna hitam, laki-laki itu tersenyum ramah. Senyum yang tampak tulus. “Selamat pagi. Perkenalkan, saya Atlas. Sekretaris dari Pak Arlo.” Suaranya lembut, bernada rendah dan menenangkan.
Rhaell sedikit terkejut, ia tak menyangka akan bertemu seseorang di sini, apalagi sekretaris dari seseorang yang bahkan namanya saja belum pernah ia dengar.
Pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan, apakah ada hubungannya dengan kejadian semalam?
Aksi spontan dan bodohnya meludahi wajah pria itu, tergambar di luar kepalanya. Itu bukan hanya tindakan tidak sopan, tapi juga bisa berujung pada masalah hukum.
Apakah pria itu akan menuntutnya? Apakah ia akan menghadapi hukuman? Apakah hidupnya akan hancur hanya karena satu tindakan impulsif?
Deheman lelaki itu menarik Rhaell kembali ke kenyataan. Wajah Atlas terlihat sabar menunggu respon dari Rhaell.
“Sorry, sorry… aku lagi mikirin sesuatu.” Rhaell meletakkan tas dan sepatunya di atas meja resepsionis dan memegang pipinya yang terasa panas.
Atlas mengangguk pelan, “Saya mengerti, Ibu Rhaell. Kejadian semalam… cukup mengkhawatirkan.” Ia berkata dengan nada yang lembut, namun ada sorot tajam di matanya yang menunjukkan bahwa ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan Rhaell.
“Pak Bento, emang aku kelihatan kaya ibu-ibu ya?” Rhaell mengalihkan pembicaraan dengan melibatkan Pak Bento yang sedang asik menyerutup kopinya.
Atlas tersenyum tipis, “Pak Arlo telah memberitahu saya semuanya. Beliau ingin bertemu dengan anda untuk menjelaskan beberapa hal.”
Rhaell mengerutkan kening, berusaha mencerna kata-kata Atlas. “Jadi, Pak Arlo ingin bertemu saya? Kenapa dia tidak menghubungi saya langsung? Atau lebih baik, kenapa dia tidak mengurus urusannya sendiri?” jawab Rhaell dengan nada sedikit sarkastis, berusaha terdengar santai meski hati kecilnya berdebar.
Atlas menatapnya dengan tenang, tetapi Rhaell bisa merasakan ketegangan di udara. “Ibu Rhaell, ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Pak Arlo sangat ingin menyelesaikan masalah ini dengan baik.”
“Masalah? Masalah apanya? Saya tidak merasa ada masalah,” Rhaell menjawab dengan nada menantang, matanya menyipit. “Kalau dia mau ngomong, dia bisa langsung ke saya. Saya bukan anak kecil yang perlu diajari.”
Pak Bento, yang mendengar percakapan tersebut, menatap Rhaell dengan sedikit terkejut. “Eh, kakak cantik… tenang-tenang. Coba ketemuin dulu Pak Arlo-nya. Siapa tahu penting?” katanya, berusaha menengahi.
“Tapi kenapa harus lewat dia?” Rhaell menunjuk Atlas dengan sedikit kesal “Saya tidak butuh pengacara atau sekertaris untuk menjelaskan sesuatu yang seharusnya bisa dibilang langsung. Pak Arlo bisa saja datang sendiri, kan?”
Atlas tetap tenang, meski nada Rhaell semakin tinggi. “Ibu, saya hanya menyampaikan pesan dari Pak Arlo. Dia ingin Anda tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menyelesaikan segala kesalahpahaman.”
“Kesalahpahaman? Kesalahpahaman apa?” Rhaell membalas, suaranya penuh tantangan. “Apa dia pikir saya akan merasa tertekan hanya karena dia mengirimkan sekertarisnya untuk berbicara dengan saya?”
Melihat sikap Rhaell, Atlas berusaha tetap sabar. “Saya paham jika Anda merasa tidak nyaman, namun ini sangat penting bagi Pak Arlo dan situasi yang terjadi semalam.”
Rhaell melipat tangan di depan dada, berusaha menunjukkan ketidakpeduliannya. “Well, saya tidak ingin terlibat lebih jauh. Biarkan Pak Arlo urus sendiri masalahnya. Saya tidak punya waktu untuk drama ini.”
Atlas menatapnya dengan serius. “Ibu Rhaell, saya menyarankan Anda untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini. Ini bisa berdampak lebih besar daripada yang Anda kira.”
Rhaell tidak mengindahkan ucapannya. “Terserah, saya tidak tertarik. Saya punya lebih banyak hal yang perlu dipikirkan daripada menghadapi orang yang tidak saya kenal. Dan jangan sekali lagi sebut saya 'Ibu'.”
Dengan semangat yang menggebu, Rhaell meringkus barang-barangnya dan berbalik melangkah pergi, meninggalkan Atlas dan Pak Bento yang masih tertegun dengan sikapnya.
Ia merasa puas meskipun di dalam hati, keraguan mulai muncul. Apakah ia telah mengambil keputusan yang tepat?
Namun, saat ini ia lebih memilih untuk tetap pada pendiriannya. Semalam dia hanya menuntut haknya dan apa salahnya membalas perlakuan pria yang melemparinya uang?
Rhaell sudah mendapat jawabannya. Bahwa yang semalam itu, impas.
Bersambung…
tu kan mo arah ke ❤❤ gituu 😅🤗