Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telegraf
Kinanti tidak bisa tidur malam itu. Pesan morse yang dia terima melalui radio tuanya terus menghantui pikirannya.
"AKU MENUNGGU DI TEMPAT BIASA"
Tapi siapa? Dan dimana tempat biasa yang dimaksud?
Pukul lima pagi, dia menyerah mencoba tidur dan membuka kembali foto-foto yang mereka ambil di percetakan. Arya mengiriminya hasil analisis semalam. Susunan huruf di mesin cetak ternyata adalah sistem enkripsi yang digunakan untuk menyamarkan pesan-pesan perjuangan. Setiap huruf disubstitusi dengan simbol tertentu, menciptakan cipher yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang memiliki kuncinya.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Reza
"Sudah bangun? Jangan lupa sarapan sebelum try out."
Kinanti tersenyum. Sejak kemunculan Arya, perhatian Reza padanya semakin intens. Dia bahkan mulai mengirim pesan setiap pagi untuk memastikan Kinanti tidak melewatkan sarapan.
Try out Bahasa Inggris hari itu terasa seperti blur. Kinanti menyelesaikan soal-soalnya secara otomatis, pikirannya masih berkutat pada penemuan mereka kemarin. Saat bel berbunyi, dia bahkan tidak yakin sudah mengisi semua jawaban dengan benar.
"Bagaimana hasilnya?" Reza menunggunya di luar kelas, seperti biasa.
"Entahlah," Kinanti mengangkat bahu. "Pikiranku tidak fokus."
"Hey," Reza menyentuh bahunya lembut. "Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri. Bagaimana kalau kita makan siang dulu? Ada tempat baru di dekat—"
"Kinanti!" suara Arya memotong kalimatnya. Pemuda itu setengah berlari menghampiri mereka, wajahnya berseri-seri. "Aku menemukan sesuatu. Kalian harus lihat ini."
Reza mengerutkan kening, jelas tidak senang dengan interupsi ini. Tapi Kinanti sudah terlanjur penasaran.
"Apa yang kamu temukan?"
"Bukan disini," Arya merendahkan suaranya. "Temui aku di museum jam dua. Bawa yang lain juga."
Museum kota terletak di bangunan kolonial yang megah. Di bagian belakang museum, tersembunyi dari pandangan umum, ada sebuah ruangan yang jarang dikunjungi pengunjung. Di sinilah mereka berkumpul siang itu.
"Jadi," kata Dimas tidak sabar, "apa yang kamu temukan?"
Arya mengeluarkan sebuah kotak kayu dari tas ranselnya. "Ini. Aku menemukannya tadi pagi saat sedang membantu katalogisasi koleksi museum."
Di dalam kotak itu, terbaring dengan rapi, sebuah alat telegraf model Morse yang masih dalam kondisi sempurna.
"Tunggu," kata Nadia. "Bukankah ini mirip dengan yang ada di foto-foto lama yang kita temukan?"
"Exactly," Arya mengangguk bersemangat. "Dan yang lebih menarik..." dia mengeluarkan sebuah buku catatan usang, "ini log pesan-pesan yang pernah dikirim melalui alat ini."
"Tapi bukankah telegram dan telegraf itu berbeda?" tanya Kinanti.
"Benar," jawab Arya, dan Kinanti bisa melihat kilatan familiar di matanya - kilatan yang selalu muncul saat dia akan menjelaskan sesuatu tentang sejarah. "Telegraf adalah alatnya - perangkat yang digunakan untuk mengirim dan menerima pesan. Sementara telegram adalah pesannya sendiri. Seperti... well, seperti handphone dan SMS."
"Dan telegraf ini masih berfungsi?" tanya Reza skeptis.
"Surprisingly, yes," Arya menghubungkan beberapa kabel. "Sistem telegraf di kota ini tidak pernah benar-benar mati. Beberapa stasiun masih memeliharanya secara rahasia, terutama untuk komunikasi darurat."
"Seperti radio tua di kamarku," gumam Kinanti.
Semua mata tertuju padanya.
"Radio apa?" tanya Reza dan Arya bersamaan.
Kinanti menceritakan tentang pesan morse yang dia terima semalam. Wajah Reza mengeras.
"Kenapa kamu tidak memberitahuku?"
"Aku... tidak ingin membuatmu khawatir," jawab Kinanti pelan.
"Well, aku khawatir sekarang," kata Reza tajam. "Bagaimana kalau itu jebakan? Bagaimana kalau—"
"Hey," Arya memotong, "kita semua khawatir tentang Kinanti. Tapi sekarang kita punya petunjuk baru."
Reza menatapnya dingin. "Oh, jadi sekarang kamu yang paling peduli pada keselamatannya?"
"Guys," Nadia menengahi, "focus. Kita punya masalah lebih besar disini."
Kinanti menghela napas lega saat kedua pemuda itu kembali fokus pada telegraf di hadapan mereka. Tapi dia tidak bisa mengabaikan tatapan protektif Reza atau cara Arya selalu memposisikan diri untuk melindunginya.
Mereka menghabiskan jam berikutnya mempelajari log pesan-pesan lama. Kebanyakan dalam kode, tapi ada pola yang mulai terlihat.
"Lihat ini," kata Dimas, menunjuk serangkaian pesan dari tahun 1948. "Mereka menggunakan sistem yang sama dengan mesin cetak di percetakan."
"Dan koordinatnya," tambah Nadia, "mengarah ke..."
"Benteng Vredeburg," Arya menyelesaikan. "Tempat penyimpanan arsip militer Belanda."
"Yang sekarang jadi museum," kata Kinanti. Mendadak semuanya mulai masuk akal. "Karena itu mereka mengincar arsip museum!"
Tepat saat itu, telegraf tua di hadapan mereka mulai berdetak. Arya secara otomatis menerjemahkan kode Morse yang muncul:
TEMUKAN ARSIP SEBELUM MEREKA. RAHASIA ADA DI BALIK LUKISAN PANGERAN. HATI-HATI PENGKHIANAT.
"Lukisan Pangeran?" tanya Dimas bingung.
"Pangeran Diponegoro," jawab Arya dan Kinanti bersamaan. Mereka bertukar pandang, membuat Reza berdeham keras.
"Ada lukisannya di lantai dua museum," jelas Kinanti cepat. "Tapi bagaimana kita bisa memeriksanya tanpa menarik perhatian?"
"Leave that to me," kata Arya. "Aku kenal kepala kurator museum. Bisa minta izin special untuk 'penelitian sejarah'."
"Aku ikut," kata Reza tegas.
"Tidak bisa terlalu banyak orang," Arya menggeleng. "Akan mencurigakan."
"Aku tidak akan membiarkan Kinanti pergi sendiri denganmu."
"Guys," Kinanti menghela napas frustasi. "Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Biar aku yang pergi dengan Kinanti," kata Nadia diplomatis. "Kalian berdua terlalu mencolok."
Akhirnya diputuskan Nadia dan Kinanti yang akan memeriksa lukisan besok, sementara yang lain bersiaga di berbagai titik museum. Arya akan mengurus izin, dan Reza..., Reza masih tidak senang tapi setidaknya dia setuju dengan rencana ini.
Saat mereka berpisah sore itu, Reza menahan Kinanti sejenak.
"Maaf soal tadi," katanya pelan. "Aku hanya... aku tidak bisa membayangkan sesuatu terjadi padamu."
Kinanti merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. "Aku mengerti. Tapi kamu harus percaya padaku."
"Aku percaya padamu," Reza tersenyum tipis. "Pada orang lain? Tidak terlalu."
Dari sudut matanya, Kinanti melihat Arya mengamati mereka sejenak sebelum berbalik pergi. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Kinanti merasa bersalah, meski dia tidak yakin kenapa.
Malam itu, radio tuanya berbunyi lagi. Kali ini pesannya berbeda
BAHAYA SEMAKIN DEKAT. JAGA DIRIMU, NAK.
Kinanti menatap radionya lama. Siapapun yang mengirim pesan ini, mereka jelas tahu lebih banyak dari yang terlihat. Pertanyaannya: apakah mereka teman atau musuh?
Di mejanya, foto-foto dari percetakan tersebar berantakan. Salah satunya - foto mesin cetak tua - menarik perhatiannya. Ada sesuatu yang familiar dengan susunan hurufnya...
Mendadak Kinanti teringat sesuatu. Dia mengeluarkan telegram tua yang mereka temukan minggu lalu dan membandingkannya dengan foto mesin cetak.
"Oh Tuhan," bisiknya.
Tangannya gemetar saat mengetik pesan untuk grup
"Guys, I think I found something. Telegram tua itu... polanya sama dengan mesin cetak. Dan kalau tebakanku benar... kita punya masalah besar."
Ponselnya langsung bergetar dengan balasan dari Reza: "Jangan lakukan apapun. Aku kesana sekarang."
Diikuti pesan dari Arya: "Stay where you are. Dan Reza benar - tunggu backup."
Kinanti tersenyum getir. Setidaknya ada satu hal yang bisa membuat kedua pemuda itu sepakat, kekhawatiran mereka padanya.
Tapi waktu mereka semakin sempit. Dan besok... besok mereka harus menemukan apa yang tersembunyi di balik lukisan Pangeran Diponegoro sebelum orang lain menemukannya.
Yang lebih mengkhawatirkan: bagaimana jika pengkhianat yang dimaksud ada di antara mereka?n
aku selalu suka sama orang yang yg jago menempatkan diksi dalam tulisan, jadi suka sama narasinya gak monoton
Penyampaian katanya bagus, alurnya apalagi😭
susah ditebakkk, daebak!!
Semangat update ya thor! Awas aja kalo sampe hiatus lagi😭