Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh empat
Sejujurnya, yang ingin Angga lakukan saat ini adalah memutar kemudi dan membiarkannya beristirahat dalam waktu yang cukup. Gadis yang sudah terbalut dengan kemeja tebal miliknya belum juga menghentikan tangisnya meski Fabian dan juga dirinya sudah meyakinkan bahwa keadaan sudah baik-baik saja.
Dewa sudah lebih dulu pergi, katanya Jaya dan juga Praja sudah berada di kantor polisi untuk mengurus masalah ini. Maka dari itu ia diminta oleh Dewa untuk sedikit lebih lama sampai di sana dan setidaknya membuat Kania bernapas dengan sedikit tenang.
Jika saja kesaksian Kania di kantor polisi nanti tidak penting, jelas Angga akan membawa Kania ke rumahnya untuk beristirahat. Tapi karena hal itu penting mengingat Kania yang merupakan seorang korban, maka yang bisa ia lakukan hanyalah menancap gasnya dengan perasaan campur aduk.
"Dingin, bukan, Nia?" Fabian berbisik, suaranya pelan menawarkan kehangatan saat tangannya masih lembut mengusap bahu Kania.
Sejak dirinya bersama Angga membawa Kania menjauh dari pusat bencana itu, tak satu kata pun terlepas dari bibir gadis tersebut. Yang bisa Fabian rasakan hanyalah tubuh Kania yang bergetar terus menerus, dan kadang-kadang suara perutnya yang menggema, sebuah sinyal nyata dari rasa lapar yang menggigil. Dalam keheningan yang menyesakkan, Kania masih terpaku. Tatapannya begitu kosong, hanyut dalam arus pikiran yang belum juga menemukan jalan keluar untuk memproses kejadian yang baru saja menghancurkan hidupnya.
Kepalanya berdenyut dalam kesakitan, perutnya menyiksa bagai ada yang meremas jantungnya dari dalam. Tiba-tiba, Angga beranjak, matanya tertuju pada ponselnya yang memunculkan nama 'Dewa' sebelum menghela nafas dalam-dalam.
"Kita cari makan setelah dari sana saja, ya?" bisiknya, hampir tidak terdengar.
Fabian hanya mengangguk, sebelum berbalik menyampaikan kata-kata yang diresapi harapan, "Sebentar ya, Nia." Seperti mencoba mengadakan perjanjian dengan nasib, berharap situasi membaik meski sebenarnya dia tahu, ada banyak jalan yang masih harus mereka tempuh dalam gelap malam yang mendadak.
Jangan tanyakan bagaimana perasaannya saat ini. Karena sudah jelas, ia rasanya ingin membunuh Karel saat ini juga. Untuk membiarkan dunia jatuh cinta pada seorang Karel yang tidak peduli saja sudah berhasil membuat iman Fabian merasa teruji. Lalu jika kejadiannya seperti ini, di mana Kania kembali merasakan sesuatu yang tidak seharus nya. Bagaimana Fabian tidak marah?
Tidak sampai sepuluh menit, mobil putih milik Angga sudah terparkir sempurna di hadapan kantor dengan empat lantai yang lebar itu. Fabian menghela nafasnya. Ia jelas bisa melihat kehadiran Dewa juga Praja di sana. Apa ia sanggup membiarkan Kania menceritakan semua kejadian tadi?
"Turun sebentar ya?" pintanya pelan pada Kania.
Tidak ada perdebatan, Karena setelah dengan bantuan Angga, Kania lebih dulu turun dari mobil laki-laki itu. Ia menghela nafasnya pelan, Kenapa harus Kania lagi?
"Kalau nggak mau bilang apa-apa, jangan dipaksa ya. Pasti mereka akan mengerti kok," kata Angga dengan tangannya yang kini menggantikan posisi Fabian.
Tidak ada balasan lagi. Kania benar-benar seperti mayat hidup yang hanya mengikuti setiap alur tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
" Di dalam ada Karel lagi diinterogasi."
Ucapan pulang Dewa membuat Angga mengangguk." Gue temenin dia boleh kan," tanyanya meminta persetujuan.
Meski ragu, pada akhirnya Dewa mengangguk menyetujui. Ia kemudian beralih pada Fabian yang baru saja berniat melangkahkan kaki memasuki bangunan tersebut sebelum pada akhirnya Dewa menahan pergelangan tangan laki-laki itu.
"Di sini aja dulu," perintahnya pelan namun pasti.
"Masa gue ninggalin Kania?" Fabian berseru tidak terima.
"Sebentar aja, Bian," Praja ikut memberi pengertian." Biar Angga yang bantu Kania dulu saat ini," lanjutnya pelan.
Wajah Praja jelas menunjukkan wajah lelah. Ia Baru saja sampai di rumahnya ketika Fani menelponnya berulang kali. Pikirannya jelas langsung mengarah pada hal yang negatif ketika nama Fani muncul di sana. Mengingat wanita itu tidak pernah mengganggunya di malam hari.
Dan ketika mengetahui siapa dalang dibalik semua ini, jelas wajah lelahnya saat itu mulai tercampur dengan wajah frustasinya.
Ia sudah tidak mengerti dengan jalan pikir karir yang suka sekali mencari masalah dan menarik orang lain untuk ikut tersangkut di dalamnya.
"Dia ngomong gak di mobil?" Dewa bertanya pelan.
Fabian menggeleng pasti." Dia diam terus dari tadi. Tapi badannya benar-benar bergetar hebat,"sahutnya seakan kembali mengingat keadaan Kania saat itu.
Dewa menghela nafasnya pelan." Gue masuk bentar, Lo tunggu di sini."
Fabian tidak memberikan perdebatan lain. Meski kenyataannya ia ingin sekali melihat keadaan Kania, ia jelas sadar diri, keberadaannya di sana tidak lebih berkuasa dibandingkan Angga dan juga Dewa.
Langkah Dewa berubah pasti ketika ia cari mulai memenuhi matanya. Ia kembali menarik nafasnya dalam, sebelum pada akhirnya memilih untuk mendekati Angga dan juga Kania yang terduduk di salah satu kursi dengan polisi yang ia yakini yang menangani kasus kali ini.
"Kania bisa ditinggal seben-"
"Gak." Angga lebih dulu membalas," saya jadi walinya dia. Jangan memaksa korban untuk mengaku di saat dirinya sendiri belum tenang."
Mendengar jawaban lugas Angga, polisi dengan sebuah bedge nama Randi di bagian dada seragamnya itu menghela napasnya pelan. Ia kembali memperhatikan Kania dalam keadaan mengenaskan itu sebelum pada akhirnya memilih menetap kembali pada komputernya.
"Kania nggak tahu apa-apa?" Pertanyaan Randi yang memelan itu membuatkan Ya perlahan menatap pria paruh baya itu. Wajahnya pucat bukan main, biasanya berantakan dengan kelopak matanya yang terlihat bengkak.
Ia menggeleng pelan. Kejadian hari ini terlalu cepat di otaknya sampai ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu kenal Karel?"
Samar, Kania mengangguk.
" Adrian?"
Kania menggeleng. Ia kembali menari nafasnya dalam sebelum memperhatikan sekelilingnya yang terasa menyeramkan di matanya.
"Kamu tahu wajah orang yang bawa kamu?"
Lagi, Kania menggeleng.
"Coba lihat yang ini,,," Randi mengeluarkan sebuah foto berukuran 4R ke hadapan Kania." Kamu kenal dia?"
Sesaat tubuh Kania kembali menegang. Ia mengenal laki-laki yang berada di dalam foto itu. Laki-laki yang mengganggu Karel di depan kompleknya malam itu.
"Ini- siapa?"
"Ini Adrian."
Dan saat itu napasnya kembali tercekat. Ia pikir, kejadian malam itu berakhir saat itu juga. Ternyata tidak. Kepalanya kembali tertunduk dalam, dengan kedua matanya yang seketika terpejam erat. Apa iya diizinkan untuk menyesal karena menolong Karel malam itu?
Ia menarik nafasnya dalam ketika rasa sakit di kepalanya itu seketika kembali menjalar dan menyiksa dirinya. Ia mengepalkan tangannya, berusaha sekuat mungkin menghilangkan rasa sakit tersebut.
"Kak Angga," cicit Kania pelan.
"Iya?" Angga membalas cepat.
"Kania pusing," ringisnya yang kemudian membuat Angga kembali menarik nafas dalam
"Kita selesaikan di sini dulu boleh Pak Randi?" Dewa berujar tegas.
Meski kenyataannya apa yang Randi lakukan belum bisa dikatakan selesai. Kamu melihat keadaan korban di hadapannya, mau tidak mau Randi mengangguk.
"Ayo, kita pulang ya?" Ajak Angga yang kemudian membantu Kania untuk kembali berdiri. Jika tahu interogasi malam ini bisa dijadwal ulang, sudah pasti Angga tidak akan membiarkan hanya berada di tempat ini saat ini.
Ia beralih, menatap pada kehadiran karya dengan kedua mata laki-laki itu yang menatap pasti ke arah Kania. Tidak ada siratan jelas yang bisa anda temukan dari tatapan Karel saat ini. Tapi setidaknya, ia berharap. Karel menyesali perbuatannya barang sedetik saja.